Empat

54 5 0
                                    

Suara azan maghrib dari musala kecil yang terletak berdekatan dengan pesantren tradisional milik keluarga Aisha terdengar samar-samar, namun tidak menghilangkan kesan merdunya. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun bagi Sarah untuk bisa merenungi dan memahami makna dalam yang terkandung pada setiap bait azan tersebut.

"Dalam pandangan spiritual, azan adalah panggilan suci yang mengajak setiap orang untuk menghadirkan suasana batinnya, mengingat Allah Zat Yang Maha Agung. Suara-suara azan adalah panggilan atau 'suara akhirat' bagi mereka yang hanyut dan fana dengan kehidupannya yang serbaduniawi," kata Aisha terdengar lirih, mendekati Sarah yang sedang memerhatikan suasana gerimis di luar rumah melalui sebuah kaca jendela.

Sarah masih belum menyadari kehadiran temannya. Dia masih merenungi makna setiap bait azan, bersamaan dengan bertemunya air hujan yang jatuh terjerembab ke tanah, dan keduanya tidak saling membenci, malahan saling melengkapi satu sama lain.

Aisha menepuk-nepuk pundak Sarah, dan dia baru tersadar dari renungannya di sore hari itu.

"Jangan ngelamun, Sar. Waktu-waktu azan seperti saat ini, banyak setan yang berlarian sambil terkentut-kentut menjauhi suara azan, dan mencari tempat-tempat persembunyian agar tidak mendengarnya lagi. Azan sangat ditakuti oleh setan, dan orang melamun menjadi salah satu tempat favoritnya."

"Aku nggak melamun. Suara azan ini, meski sering kudengar setiap waktu salat tiba, tapi selalu saja mengingatkanku dengan pelajaran yang pernah disampaikan mamah soal kehidupan ini. Meski mamah sudah mengatakannya hampir 10 tahun yang lalu, setiap kalimatnya masih terekam jelas di benakku."

Aisha diam, sama sekali tidak membalas sepatah kata pun pernyataan Sarah, hanya memberikan sepasang mukena putih bermotif bunga-bunga kecil kepadanya.

"Aku merasa nyaman setiap mendengar lantunan suara azan. Sungguh menakjubkan!"

"Tentu saja. Azan kan memang melembutkan jiwa yang kasar, membersihkan hati yang kotor, dan meluruskan pikiran yang bengkok. Suara-suara azan juga diharapkan dapat menurunkan gelombang otak kita dari beta ke alfa atau mungkin ke gelombang yang lebih rendah, yaitu teta. Penurunan gelombang energi otak bisa membantu seseorang untuk lebih tenang dan lebih khusyuk di dalam salat."

Aisha berdiri beberapa menit di depan pintu menunggu Sarah mengenakan mukena, bersiap menuju musala. Sejurus kemudian, mereka mulai menerobos gerimis yang mulai mereda itu. Sangat singkat. Itu menjadi hujan pertama yang jatuh ke bumi, setelah terakhir kali wilayah itu diserbu air dari langit secara maraton pada beberapa bulan yang telah lewat.

Wajah keduanya nampak becahaya begitu mereka melangkah keluar disambut cahaya remang lampu-lampu bohlam yang membutakan mata di undakan depan rumah. Sebuah plakat terbuat dari kayu di depan jalan setapak bertuliskan Kawasan Pesantren Al-Falah. Tempat yang menjadi perhatian Sarah beberapa menit lalu.

Dalam perjalanan menuju musala, Aisha banyak menceritakan tentang kehidupan di pesantren itu, termasuk pabrik singkong yang dikelola keluarganya. Dalam waktu yang singkat saja, Sarah banyak menerima pelajaran berharga dari Aisha.

"Keluargamu sungguh menakjubkan. Sederhana bukan alasan untuk tidak maju," kata Sarah. "Aku senang bisa mengenal dekat keluargamu. Seperti sebuah anugerah dari Yang Maha Kuasa."

"Begitu juga dengaku," Aisha tak mau kalah. "Abah dan Umi sangat menghormati kedua orangtuamu dan sering bercerita tentang kebaikan-kebaikan mereka kepada kedua orangtuaku, termasuk hibah tanah dari ayahmu. Sungguh langka keluarga seperti itu."

"Apa pun, aku menjadi sangat bersyukur tentang semua yang Allah berikan kepadaku berupa keluarga yang berkecukupan, dan bisa mengenal keluarga sederhana namun hebat."

Keduanya saling melemparkan pujiannya kepada keluarga masing-masing. Suasana penuh kehangatan itu terus berlangsung sampai keduanya sampai di teras musala, yang bahkan keduanya masih tampak berbincang-bincang. (RS)

Purnama Di Palestina (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang