BAB 4

43 7 6
                                    

Salam perpisahan Lelaki Bermata Hijau semestinya merupakan hal yang bagus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Salam perpisahan Lelaki Bermata Hijau semestinya merupakan hal yang bagus. Aster semestinya dapat duduk di bangku kayu, memandang laut, dan menikmati kesendiriannya di rumah kaca yang sejuk dan menyenangkan. Bahkan, semestinya salam perpisahan mereka tidak membuat Aster termenung tanpa melakukan apapun. Selama kesendirian di bawah atap kubah rumah kaca, Aster hanya memperkirakan salam perpisahan yang tidak pernah diketahuinya akan terjadi. Bagaimanapun juga mereka adalah orang asing, sekali lagi lupa menanyakan siapa nama Lelaki Bermata Hijau. Kini Aster justru termenung dan memutar salam perpisahan seperti radio dalam kepalanya.

Sepatu hak Aster kembali berketuk di lantai marmer hotel yang mengkilap, memasuki kamar tidurnya. Penuturan tentang inspirasi dan tujuan menjadi seorang arsitektur pernah membuatnya mematung, mengingat Raegan. Pertanyaan Lelaki Bermata Hijau tidak semestinya memiliki dua jawaban, sebab ketika Aster menggoreskan pensilnya dalam membuat sketsa bangunan modern yang memiliki detail pondok kayu, Raegan juga menjadi tujuan mengapa Aster memilih arsitektur.

Kehidupan manusia memiliki berbagai macam detail peristiwa, waktu, suasana, bahkan benda-benda yang terlibat. Aster pantas menjadi serakah ketika menginginkan segalanya. Memori masa lalu sebelum dan sesudah ia lahir, kehidupan masa kecil sebelum otaknya mampu mengingat banyak peristiwa dengan baik, serta pilihan-pilihan hidup dalam menentukan masa depan, digunakan dengan baik untuk mendukung keinginan.

Sebelumnya Aster tidak pernah menghabiskan waktu lebih dari empat jam untuk menggambar di bar, khususnya apabila itu tentang proyek yang penting. Sebanyak apa detail teknisnya, Aster harus melakukan dengan cermat. Namun, lihatlah bagaimana kini ia memperhatikan hasil sketsanya. Hotel dengan tiga lantai yang memiliki dinding melingkar seperti tangkai daun bunga anggrek dan memiliki detail tekstur dinding alami pondok kayu. Penghapus karet hanya digunakan tidak lebih dari lima kali dan Aster tersenyum lebar sampai tangannya gemetar karena kelelahan.

Gaun oranye dan sepatu hak belum Aster lepaskan sama sekali sejak pagi. Rambutnya bergelombang dan berkibar di balik punggung ketika memutuskan menggulung kertas sketsa dan melangkah menyebrangi lorong-lorong hotel.

Hotel Garnation masih menjalankan restorannya hingga pukul 10 malam. Lampu-lampu gantung di dalam ruangan masih menyala sedangkan lampu di teras sebagaimana Killian duduk di sana ketika sarapan bersama gadis asing yang kaya raya, menyala lebih banyak dan indah seperti obor di tepi pantai. Lampu mercusuar yang mengelilingi langit jauh lebih indah dan tiba-tiba membuat Killian begitu gugup. Kaki dan tangannya sedingin lantai, menanti tak sabar klien bisnisnya.

"Tuan. Selamat malam. Aku Killian Vaughn." Killian sigap berdiri hingga kursinya berdecit. Seseorang bersetelan hitam dan berdasi abu-abu menghampiri dengan sorot datar. Mereka berjabatan sebelum Killian mempersilakannya duduk. "Silakan, duduklah. Aku akan memanggil pramusaji. Minuman apa—"

"Aku telah membaca email yang kau kirimkan."

Klien bisnis yang membuat Killian gugup setengah mati memberi penolakannya dengan gelengan kepala tanpa senyuman. Cukup sudah untuk menertawakan harga diri Killian begitu kencang bersama keberaniannya selama dua hari menginap di Hotel Garnation. Tangannya yang dingin mengepal di balik saku celana, mencoba memahami dan mengangguk.

Hate with LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang