Ada banyak hal di dunia yang dapat ditemukan dan dijadikan sesuai kehendak. Apa yang dilihat, dihirup, disentuh, atau bahkan dirasakan. Sinar mentari menjadi kehangatan nyata, udara lembut menjadi hiburan, aroma kue menjadi kesenangan, atau tekstur tanah menjadi kerinduan. Peristiwa-peristiwa yang terjadi juga dapat dijadikan sesuai kehendak sebagai dendam, kerinduan, kebahagiaan, atau memori untuk dikenang. Pesta ulang tahun, perayaan berkenang, atau duka. Namun, bagaimana bisa menjadikan duka sebagai inspirasi? Siapa yang memiliki hati luas menggunakan duka dalam pikiran untuk melakukan apa yang direncanakan?
Manusia dapat melakukan banyak di dunia, menemukan, dan menciptakan sesuatu. Namun, tak segalanya dapat dimiliki sesuai kehendak. Aster Edgar memiliki ketidakmampuan dalam hidupnya, yaitu hidup dengan kasih sayang seorang ibu. Bagaimana bisa ia akan menggunakan duka itu untuk inspirasi menggambar di atas kertas? Keningnya berkerut dalam, menghembuskan napas gelisah, sambil melipat kaki.
Tumpukan buku tentang arsitektur di hadapan Aster, diharapkannya menyediakan inspirasi-inspirasi agar ia dapat membuat sketsa indah. Sayang sekali, ia justru meraih buku-buku lain di dalam lemari dengan sampul seragam dan tulisan tangan ibunya. Dari sanalah inspirasi itu datang, tetapi Aster perlu menilai kepantasan menggunakannya. Hatinya tak cukup luas walau dalam tekanan.
Tulisan tangan ibu Aster—Hailey Edgar, di dalam jurnal teramat indah sehingga Aster memiliki banyak waktu untuk mengagumi daripada segera menemukan tujuan. Menit-menit berlalu, kepalanya menyimpan banyak inspirasi terlarang. Tetap salah, karena Aster menggunakan dukanya sendiri dengan membaca jurnal dan mengenang duka secara bersamaan.
Aneh sekali, manusia selalu pandai melakukan hal-hal yang tak semestinya dan gagal melakukan hal yang baik dan benar. Aster menutup jurnal ibunya ketika pintu perpustakaan dibuka. Senyuman miring tersungging selama lampu temaram menyebrangi lantai kayu. Ayahnya—Raegan Edgar, mendekat dan duduk di depan Aster memperhatikan tumpukan buku arsitektur dan buku jurnal di genggaman Aster.
"Ayah pasti sedang memperkirakan seberapa lama aku telah duduk di sini, bukan?"
"Apa yang kau baca?"
Aster menghela napas, meletakkan jurnal ibunya di atas meja agar ayahnya dapat melihat sampul buku tersebut. Senyuman miring ayah Aster meredup, tergantikan senyuman simpul dan anggukan. Kursi yang pria itu duduki berputar, melihat langit malam melalui jendela ruangan.
"Aku sedang mencari inspirasi untuk pameran karya seniku." Aster bergantian melihat tumpukan buku di atas meja dan ayahnya. Mengerjap gelisah. "Aku tidak bisa kehilangan poin atau nilaiku akan turun. Grafik nilainya harus naik atau stabil—tetapi ini susah sekali. Menjadi lebih baik dari sebelumnya."
"Kau tidak pernah mengeluh sebelumnya, Aster." Raegan tertawa halus, menoleh sekilas lalu menunjuk pohon di pekarangan belakang rumah mereka. "Omong-omong, tadi siang Pamela memberitahu Ayah kalau dia menemukan hama. Besok Ayah harus meminta Robert menemukan seseorang yang bisa mengatasinya. Bagaimana kalau kau melihatnya besok pagi? Kau selalu bisa mengusir hama dan merawat tanaman lebih baik dari siapapun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate with Love
DragosteKillian membenci Aster dengan cinta. Siapa yang tahu bahwa manusia dapat melakukannya? Killian tanpa sadar melakukannya terhadap Aster. Bangga sekali ketika selama ini menatapnya dingin, membandingkan kehidupan mereka, dan mengacuhkan ketulusan Aste...