16. Tequila or Whisky

2.4K 474 33
                                    

SEDICI

Jeffrey mungkin bisa saja tak ikut serta dalam acara traktir mentraktir Rose, dengan alasan malas atau lelah. Semangatnya benar-benar telah hilang entah kemana begitu melihat mahluk asing berwajah tampan berada di antara dirinya dan Rose, serta Vernon dan Shanon. Mungkin ia bisa menikmati dinner--yang ramai seperti makan malam keluarga ini--jika saja tak ada pria Italia bernama Maxi Gerardo di samping Rose. Bukan! ini bukanlah tentang ia yang cemburu pada Maxi yang kini tengah menaruh satu potong cannoli di piring Rose. Bukan juga tentang Maxi yang tiba-tiba mengambil alih membayar semua ini untuk Rose. Bukan tentang itu! Jeffrey hanya merasa dirinya tak nyaman bersama dengan satu orang asing yang sedari tadi terus mencari perhatian pada gadis yang tengah duduk di sebelahnya.

"Jeff, kamu kenapa gak makan?" tanya Rose.

Jeffrey menghela nafas, ia lapar dan ingin makan. Namun gengsi tentu menguasainya. Jika saja semua makanan ini Rose yang membayar, mungkin ia akan berakhir dengan menyantap semangkuk risotto seperti yang dimakan oleh Vernon.

"Gak lapar."

"Bukannya kamu belum makan sejak tadi, kamu cuma minum soft drink. Perut kamu pasti kosong."

Maxi menggeser sepiring ayam parmigina ke depan Jeffrey. Pria itu tak memesan apapun tadi, selain coffee latte dan Maxi dengan inisiatip memesankan makanan tersebut.

"Mungkin kamu akan suka ini." kata Maxi yang mencoba untuk ramah pada Jeffrey. Maxi tahu, sejak awal ia sudah bisa melihat sorot ketidak sukaan dari mata Jeffrey. Ia tak tahu kenapa? Dan ia tidak ingin tahu kenapa?

Kakak beradik, Vernon dan Shanon Hanya memperhatikan hubungan triangle di antara ketiga orang tersebut. Mungkin ketiga orang itu tak peka, Rose tak menyadari ketaknyamanan Jeffrey terhadap Maxi, Maxi yang tak tahu alasan kenapa Jeffrey bersikap sedemikian.

"Kak, you know... boys always competed about love life and girl, right?"

Vernon menyetujui, kenapa juga suasana dinner gratis yang harusnya menyenangkan dengan segelas tequila serta whisky ini menjadi menegangkan akibat sikap kompetitip Jeffrey. Pria itu tak pernah bisa menyembunyikan rasa ketidak sukaannya, serta tak bisa berpura-pura bahwa ia senang. Benar-benar sikap apa adanya yang menyebalkan. Dan saat Vernon kembali melihat sikap Jeffrey yang tiba-tiba menepis tangan Maxi, saat pria Italia itu hendak mengelap sudut bibir Rose yang sedikit kotor karena saus. Saat itulah Vernon berdecak sambil memutar bola matanya. "Oh, i hate this moment!"

"Dia punya tangan," balas Jeffrey dingin.

Oh oke, Maxi langsung menjauhkan tangannya saat itu. Sedangkan Rose menatap Maxi dengan tak enak hati. Lalu beralih pada Jeffrey dan tersenyum lembut.

"It's oke, Jeff."

"Hhhh, lo punya tangan... dan ngapain si bule ini cari kesempatan buat nyentuh lo." Jeffrey berbicara dalam bahasa Indonesia, agar Maxi tak bisa mengetahui apa yang ia bicarakan pada Rose.

"Jeff, ini bukan suatu masalah. Niat Maxi baik karena cuma mau bantu, kenapa kamu sensi begitu?"

"Heh bayi marshmallow, lo itu bener-bener polos atau pura-pura polos. Jelas-jelas dia--" Jeffrey tak sungkan untuk menunjuk wajah Maxi dengan jarinya. Hal tersebut tentu tidak sopan, dan Maxi dengan pelan menyingkirkan jari Jeffrey. "Dia itu caper, niat dia ya mau deketin elo." lanjutnya.

Rose mengedikan bahu, so what? Ada masalah jika Maxi mendekatinya? Lagipula Rose tidak sepolos itu untuk tidak mengetahui apa maksud dari Maxi, yang dalam beberapa hari ini tak gentar menghubunginya via telepon atau bahkan mengajaknya sekedar jalan-jalan santai.

Juliet's House Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang