[[ ꧖ ; Rumah Editor]] ✅

94 14 3
                                    

6. Akal digunakan bukan untuk mengetahui segalanya, tetapi untuk mengetahui yang memiliki segalanya.

~RumahEditor~

MERASA bosan dengan cat dan kuas perut Nada berdemo ria agar segera diisi amunisi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

MERASA bosan dengan cat dan kuas perut Nada berdemo ria agar segera diisi amunisi. Aryo sebelumnya menawarkan untuk delivery saja, tetapi Nada malah mau dibuatkan omelet.

“Mas.” Nada kembali angkat bicara. Aryo menjawab dengan bergumam kecil. “Mas Aryo kalau diajak omong itu lihat lawan bicara, tidak sopan banget, sih.” Nada merengek sembari mengguncang pelan lengannya, mau tidak mau Aryo menghentikan aktivitas mengocok telur, lalu mengalihkan pandangan ke arah Nada yang tengah mengerucutkan bibir.

Aryo dikejutkan akan penampakan layar ponsel yang sengaja Nada dekatkan hingga cahaya dari ponsel tersebut seperti menusuk kedua bola matanya. Spontan Aryo mendorong lengan Nada agar sedikit menjauhkan benda tersebut dari hadapannya. “Silau, Nada. Kamu mau kasih tahu apa?” katanya seraya melanjutkan mengocok telur.

“Sebagai calon sejarawan dan penganut teori konspirasi level akut, bagaimana menurut Mas Aryo dengan cerita ini?”

Tampang bersungut-sungutnya tampak kentara menghiasi wajah tampannya, dia tidak seperti yang Nada katakan bukan penganut teori konspirasi yang marak beredar.

Aryo memberi perintah agar Nada membacakan saja cerita yang dia maksud. Sontak Nada mulai membaca dua paragraf cerita dari layar ponselnya.

Dahi Aryo tampak mengernyit saat tangannya dengan lihai membuat gulungan omelet, bahkan pelipisnya sedikit berkedut sesaat setelah Nada selesai membacakan dua paragraf cerita dari platform baca online yang tengah booming beberapa tahun belakangan ini.

Tidak lama setelah itu Aryo memerhatikan wajah Nada lebih cermat, kontan Nada melirik Aryo dengan tampang datarnya. “Kamu kalau mau baca cerita fiksi sejarah yang unsur sejarahnya kental dan seperti nyata lebih baik baca karya Zaenal Fanani, Langit Kresna Hariadi, Damar Shashangka, Pramoedya Anantatur, Ahmad Tohari, Gamal Kamandoko, atau Laksmi Pamuntjak saja,” celetuk Aryo sangat antusias ketika menyebutkan nama penulis novel fiksi sejarah kesukaan Mas Yudis. Dia berkata sembari menempatkan omelet di piring makan, lalu menyodorkan piring tersebut kepada Nada.

Gadis berhidung bangir itu sontak menampilkan raut kebingungan. Namun, mengerti nama-nama yang baru saja disebutkannya itu. “Maksud Mas Aryo bagaimana. Aku tidak paham.” Nada menyahut sesaat setelah menundukkan diri di sofa ruang tengah. Aryo mengembuskan napas resah ketika melihat Nada memasukkan suapan omelet pertamanya.

Tidak lama setelah itu Aryo memiringkan badannya menghadap ke arah Nada. “Itu cerita fiksi sejarah, 'kan?" Nada mengangguk sambil bergumam pelan. “Sejarah dan fiksi dua hal besar, penting, ekstrem, bahkan tidak masuk akal. Fiksi sebagai karya seni boleh saja lahir dari ranah imajinasi, tetapi tetap harus menjunjung arti penting fiksi itu sendiri. Jangan sampai salah genre, kalau hanya meminjam nama tokoh dan menciptakan alur sendiri serta melenceng jauh dari fakta sejarah yang pernah ada agaknya kurang tepat kalau disebut fiksi sejarah, malah lebih cocok dikategorikan seperti genre fantasi.”

The Last SecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang