[꧘ ; Kukira Soto Ayam, Ternyata Gulai Kambing ]] ✅

56 13 0
                                    

Bab ini agak panjang. Maaf kalau nanti membosankan. Siapkan camilan dan kopi buat nemenin kisah Aryo dan kawan-kawan.

MASA Pra Bakti Mahasiswa atau Mapram Universitas Indonesia akan dimulai satu jam lagi, tetapi lelaki jangkung dari desa Kasongan, Bantul, Yogyakarta itu sudah bersiap diri sejak tiga puluh menit lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

MASA Pra Bakti Mahasiswa atau Mapram Universitas Indonesia akan dimulai satu jam lagi, tetapi lelaki jangkung dari desa Kasongan, Bantul, Yogyakarta itu sudah bersiap diri sejak tiga puluh menit lalu. Antusiasme menjadi mahasiswa ilmu fisika angkatan ke tujuh itu sudah mendarah daging, tekadnya sudah bulat kendati harus meninggalkan kampung halaman untuk beberapa saat.

FIPIA-Fakultas Ilmu Pasti Ilmu Alam yang sekarang ini lebih dikenal dengan FMIPA merupakan cita-citanya sejak dulu. Sebenarnya dia ingin melanjutkan di UGM saja dengan mengambil jurusan yang sama. Akan tetapi, pilihan Gusti Allah justru yang lebih baik-Dia memilih Universitas Indonesia untuk bisa mewujudkan cita-cita.

Suasana kampus masih terbilang sepi, baru beberapa calon mahasiswa/i dengan kemeja putih dan bawahan hitam seperti dirinya yang baru berdatangan, dia belum memiliki seorang pun teman di sini, sehingga tampak seperti anak anjing yang hilang tak tahu arah jalan pulang. Sampai pada akhirnya, lelaki berperawakan gempal berkacamata bulat datang menghampiri.

Dia tertegun, lalu melayangkan seutas senyum kepada lelaki tersebut-penampilan si lelaki sangat modis, kemeja yang dikenakan pun tampak putih bersih dan rapi disetrika tidak seperti kemejanya yang sedikit lusuh serta kusut. "Boleh saya ikut duduk di sini?" kata pemuda itu.

Dia mengangguk lalu tersenyum lagi.

"Tentu boleh, tempat ini 'kan fasilitas umum bukan milik saya."

Lelaki itu mengambil tempat di sisi kanan. Tak lama setelah itu dia menjulurkan tangan, lalu berkata, "Abdullah," katanya lirih.
Alih-alih menjawab atau menerima uluran tangan lelaki bernama Abdullah itu, dia justru tertawa kecil dengan raut semringah. Tentu lelaki bernama Abdullah merasa bingung kedua alis tampak saling bertaut, sontak dia kembali menarik uluran tangan dengan raut sendu.

"Maaf kalau kamu tersinggung," sahutnya dengan intonasi yang terdengar medok. "Saya hanya terkejut karena namamu sama dengan nama belakang saya." Gilirannya yang menjulurkan tangan, lalu meneruskan ucapannya, "Hassan Abdullah."

Abdullah kini mengerti mengapa Hassan sempat tertawa setelah dia menyebutkan namanya, nyaris saja Abdullah buruk sangka atas sikap Hassan. "Wah, suatu kebetulan atau memang takdir?" katanya setengah bertanya sembari membalas uluran tangan Hassan.

"Mungkin takdir," sahut Hassan, lalu keduanya kembali tertawa bersama.

Keduanya terlibat perbincangan. Hassan yang lebih banyak berbicara-menceritakan asal muasal serta menceritakan tentang keindahan desa Kasongan yang tidak banyak diketahui oleh banyak orang. Abdullah merasa senang dari beberapa orang yang mengajaknya berkenalan Hassan merupakan sosok yang berbeda. Lelaki dari dusun Kemusuk itu begitu gamblang bercerita kendati mereka baru mengenal tidak kurang dari lima belas menit lalu itu.

The Last SecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang