[[ ꧒꧔ ; Mereka Adalah Sampah ]] ✅

28 10 0
                                    

24. Orang yang Mencerca Orang Lain Tanpa Memberi Solusi, Mereka Adalah Sampah.

KEMARIN, Ibu meminta tolong Ayana untuk menemani pergi melihat matahari terbenam di Pantai Parangtritis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KEMARIN, Ibu meminta tolong Ayana untuk menemani pergi melihat matahari terbenam di Pantai Parangtritis. Agak heran karena selama hidupnya itu kali pertama Ibu mengajak Ayana pergi ke pantai. Sempat berpikir apa Ibu sedang mengujinya sebelum resmi menjadi menantu, pasalnya momen tersebut terjadi setelah Bapak mengutarakan rencana perjodohannya dengan Aryo.
 
Ayana langsung menerima tawaran Ibu karena diberitahu Aryo juga akan ikut. Ayana harus menelan kekecewaan lantaran justru Mas Yudis yang ikut pergi bersama mereka. Teringat situasi begitu canggung ketika Ibu membiarkannya bersama Mas Yudis ketika membeli es kelapa muda di gerobak Pak Tua.
 
Kalau dipikir-pikir padahal dia sudah memutuskan menyelesaikan masalahnya dengan Mas Yudis, tetapi tetap saja bagi Ayana perihal perasaan tidak mudah  menghilangkan rasa canggung begitu saja.
 
Hingga pada akhirnya, Mbah Gimbal melihat Ayana yang sedang duduk termangu di gazebo sebelah timur, setelah memarkirkan sepeda motornya di dekat jalan menuju gudang penyimpanan gerabah pria tua itu kemudian melangkah menghampiri perempuan itu.
 
Isih isuk, kok, yo ngalamun. Ora ilok! Mengko rezekine ditotol pitik loh, Ay.
 
Sontak Ayana tersadar dari lamunan, menoleh ke sumber suara dengan tampang terkejut. Tersenyum kikuk melihat kehadiran Mbah Gimbal secara tiba-tiba.
 
“Itu kalau bangun kesiangan, Mbah,” sanggah Ayana, lalu menggeleng kecil sembari tertawa singkat.
 
“Oalah, sudah ganti, tho?”
 
“Tidak, Mbah. Dari dulu memang seperti itu kalau bangun siang-siang nanti rezekinya dipatok ayam.”
 
“Mbah kurang up to date berarti.” Mbah Gimbal cekikikan membuat Ayana ikut tertawa, kemudian Mbah Gimbal mengambil tempat di sisi kanan Ayana. “Lantas, kalau pagi-pagi melamun rezekinya dipatok siapa? Dipatok ular?”
 
Ayana tergelak mendengar jawaban Mbah Gimbal. “Mbah Gimbal ini ada-ada saja,” timpal Ayana dibarengi dengan rona semringah pada wajahnya.
 
“Nah, kalau ketawa, ‘kan jauh lebih cantik, daripada mbesengut seperti baju yang belum disetrika. Biasanya perempuan kalau sudah duduk seorang diri sambil melamun pasti sedang bertengkar dengan isi pikirannya sendiri.”
 
“Tidak semua perempuan yang duduk sambil melamun sedang bertengkar dengan isi pikirannya sendiri, Mbah.  Termasuk saya.” Suara Ayana agak lesu ketika mengatakan dua kata terakhir.
 
“Sejak kapan kamu pandai berbohong, Nduk?” Mbah Gimbal menaikkan satu alis ketika melihat Ayana menunduk dan mendengkus beberapa kali.
 
“Ketahuan juga akhirnya,” terang Ayana. Dia mendongak lalu menatap wajah keriput lelaki yang sudah menyelamatkan hidupnya dulu.
 
Ayana mengembuskan napas kasar beberapa kali seketika mengundang rasa penasaran yang menggebu-gebu dalam benak Mbah Gimbal. Mbah Gimbal pun mempertanyakan kepada diri sendiri gerangan apa yang sedang cucunya pikirkan, sampai-sampai pagi hari seperti ini sudah melamun padahal burung-burung di langit sana sudah sibuk mencari makanan.
 
Mula-mula Ayana tidak mau bercerita, menjawab dengan kalimat seadanya dan mengatakan kalau sedang tidak memikirkan sesuatu yang penting. Mbah Gimbal terus mendesak mengingat tadi Ayana sudah menunjukkan respons kalau pikirannya sedang tidak baik-baik saja.
 
Sampai pada akhirnya, Ayana memberanikan diri buka suara. Menceritakan segala kegundahan yang dirasa selama beberapa hari ini, tepatnya ketika Bapak menginap di Kasongan serta momen di mana tiba-tiba Ibu mengajak ke pantai kemarin sore. Perbincangan dengan Bapak waktu itu terjadi ketika Aryo sudah pulang ke Kemusuk pada siang hari.
 
Ayana berterus terang kepada Mbah Gimbal mengapa justru merasa gelisah setengah mati. Ayana berkata, kalau Bapak menerangkan akan rencana perjodohannya dengan Aryo mendengar hal tersebut Mbah Gimbal cukup tercengang. Bapak memang pernah mengatakan hal serupa kepada dirinya, tetapi tidak menyangka saja kalau rencana tersebut diutarakan kepada Ayana secepat ini, bahkan Aryo juga sudah diberi tahu.
 
Mbah Gimbal merasa heran tidak seperti biasanya Bapak bertindak terburu-buru. Padahal tahu Aryo saja belum menyelesaikan studinya.
 
Ayana juga menerangkan, tentu dia sangat senang akan rencana tersebut. Harapannya kepada Aryo selama ini akan berbuah manis, tetapi rasa gelisah tiba-tiba melanda ketika Ayana mengingat tentang masa lalunya. Tentang keluarganya, tentang cerita-cerita mengerikan sekaligus menjijikkan, bahkan Ayana ingat betul peristiwa di mana ada beberapa warga di Kasongan maupun Kemusuk secara terang-terangan berbicara dengan cara menyindir, kalau dia keluar dari rahim bekas perempuan simpanan lelaki hidung belang.
 
Ayana hanya manusia biasa, meskipun selalu menunjukkan sikap kuat mental dan tahan banting akan segala cemooh, tetapi hatinya buatan Gusti Allah yang akan merasa sedih dan perih apabila mendengar kalimat-kalimat pedas mereka.
 
Ayana sama sekali tidak tersinggung atas ucapan-ucapan tersebut, hanya saja kenapa mereka sampai hati menjadi juri dan hakim mengenai masa lalunya, sedangkan sampai detik ini pun Ayana masih merasa asing dengan dirinya sendiri. Ayana sempat berpikir apakah layak dia bersanding dengan Aryo? Lelaki yang jelas memiliki masa depan cemerlang serta kelak akan menjadi kebanggaan keluarga.
 
“Saya ini perempuan yang tidak jelas asal-usulnya, Mbah. Apakah pantas bersanding dengan Aryo yang lahir dari keluarga terpandang seperti Bapak?”
 
Nduk, semua manusia tampak sama di mata Gusti Allah. Kenapa kamu gelisah dengan pendapat orang lain?”
 
Ayana menoleh, lalu menatap lekat mata sayu milik Mbah Gimbal.
 
“Saya membicarakan diri saya di mata manusia, Mbah.”
 
“Bukankah mereka dilahirkan lewat suatu perbuatan bersama? Barangsiapa merendahkan sesama makhluk, berarti mereka secara tidak langsung sedang merendahkan yang Maha Pencipta, bukan?”
 
Ayana mengangkat bahu acuh tak acuh.  Kontan membuat Mbah Gimbal tertawa pelan. Memperingatkan Ayana agar tidak berpikir seperti itu lagi. “Kamu masih memedulikan omongan warga desa. Nduk, jika perkataan mereka membuatmu sakit hati, menunduklah ketika kamu mendengar ucapan yang menyakitkan agar hatimu tidak lelah.” Mbah Gimbal menjeda kalimatnya sebentar untuk mengubah posisi duduk, semula menghadap ke depan kini bersila dan menghadap ke arah Ayana.
 
Nduk, manusia memang seperti itu kalau hati sudah diselimuti rasa iri dengki, mereka akan menanggap kamu selalu salah, akan menghakimi tanpa mau berkaca kepada diri sendiri, tidak sadar kalau Gusti Allah sedang menutup aibnya, tetapi bisa saja sewaktu-waktu Gusti Allah memberi musibah dari arah yang tidak diduga-duga.”

The Last SecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang