[[꧑꧓ ; Sekadar Ilusi Atau Memang Benar Nyata?]]✅

37 15 0
                                    

 MAS Ibra bingung setengah mati ketika tidak mendapati Aryo berjalan di belakangnya padahal dia ingat betul setelah melewati jembatan sukamaju yang menjadi akses satu-satunya apabila hendak melintasi dua wilayah yang terbagi, desa Sumberasih lor d...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

 
MAS Ibra bingung setengah mati ketika tidak mendapati Aryo berjalan di belakangnya padahal dia ingat betul setelah melewati jembatan sukamaju yang menjadi akses satu-satunya apabila hendak melintasi dua wilayah yang terbagi, desa Sumberasih lor dan kidul. Area persawahan itu berada di Sumberasih kidul.
 
Sebelumnya, Mas Ibra meminta Aryo untuk menunggu di jembatan tersebut karena tiba-tiba dia mendapat telepon dari Ahmad kalau harus segera kembali pulang ke rumah. Mau tidak mau Aryo lebih baik menunggu dibandingkan mengikuti langkah Mas Ibra. Sebenarnya bisa saja dia pergi ke area persawahan seorang diri, tetapi Aryo malas kalau harus pergi ke sana tanpa pendamping, pasti akan tampak kikuk dan canggung lantaran tidak ada yang dia kenal.
 
“Apa sebaiknya Mas Aryo ikut dengan saya saja. Kasihan kalau harus menunggu di sini seorang diri.”
 
“Mas Ibra hanya sebentar, ‘kan?” sahut Aryo sembari menunjukkan tampang memastikan. Mas Ibra mengangguk sebagai jawaban. “Yowes, tidak apa-apa kalau saya menunggu di sini, saya suka dengan pemandangan dari atas jembatan ini.”
 
Entah mengapa Mas Ibra merasa ragu kalau harus meninggalkan Aryo seorang diri, tetapi pemuda dari dusun Kemusuk itu memperlihatkan dengan lapang dada kalau tidak apa-apa ditinggal. Setelah percakapan tersebut Mas Ibra berbalik badan lalu mengambil langkah menjauh dari jembatan.
 
Betapa terkejutnya dia tatkala kira-kira sepuluh menit kemudian kembali ke jembatan Aryo sudah tidak ada di sana. Sempat mengedarkan pandangan barangkali Aryo sedang berkeliling di area jembatan, tetapi Mas Ibra tidak menemukan keberadaannya malah yang dia lihat dua bocah yang tengah bermain kelereng di tanah lapang yang berada di sisi barat jembatan sukamaju ini.
 
“Le, apa kalian melihat seorang pemuda lewat sini? Dia memiliki tinggi badan yang hampir setara dengan saya.” tanya Mas Ibra kepada dua bocah itu.
 
Bocah dengan telinga bak kembang kol itu menyahut, “Oh, mas-mas yang pakai jaket abu-abu itu, bukan? Yang tadi berdiri di sana.” Lalu bocah itu menunjuk ke arah jembatan
 
Mas Ibra tidak mengingat dengan baik pakaian yang dikenakan oleh Aryo, tetapi mendapat keterangan kalau Mas yang dimaksud oleh bocah itu berada di jembatan, Mas Ibra pun mengiyakan. “Iya, pemuda yang ada di jembatan itu. Apa kalian melihat dia lewat jalan ini?”
 
Bocah bertelinga seperti kembang kol itu disikut oleh temannya yang memiliki kelopak mata ganda. Mas Ibra memandang secara bergantian kepada dua bocah di depannya itu—mereka tampak sedang berkomunikasi dengan gerakkan tubuh. Sampai pada akhirnya, bocah dengan kelopak mata ganda itu membalas tatapan Mas Ibra kemudian berkata, “Lho, bukannya tadi pergi sama Masnya, ya? Kami tadi melihat kalau Mas yang pakai jaket abu-abu itu jalan sama Mas ke arah area persawahan.”
 
Mas Ibra tegak tersentak merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja si bocah katakan. Dia ingin mendengar sekali lagi guna memastikan. Benar saja dia tidak salah mendengar, bocah itu melontarkan kalimat yang sama. “Mungkin kalian salah melihat, pemuda itu bukan pergi bersama saya.”
 
Bocah dengan kelopak mata ganda itu mendengkus, mungkin kesal karena secara tidak langsung dituduh sudah memberikan keterangan palsu. “Mas,” kata bocah itu penuh penekanan. “Kami memang sibuk bermain, tetapi saya tidak salah melihat, tadi Masnya sempat meninggalkan pemuda itu sendirian tho di jembatan itu, beberapa saat kemudian Masnya balik lagi lalu pergi sama pemuda itu ke area persawahan. Kalian lewat di depan kami, kok. Iyo, ‘kan, Dil?” Bocah bertelinga seperti kembang kol itu mengangguk dan membenarkan apa yang dikatakan oleh temannya benar seperti itu.
 
“Iya, Mas yang pakai jaket abu-abu itu yang bilang sendiri kalau kalian mau ke area persawahan. Kok, aneh sekarang Masnya malah tanya sama kami.”
 
Mas Ibra terdiam cukup lama. Mencerna kembali apa yang baru saja dia dengar berharap semua ini hanya ilusi semata. Rasanya tidak percaya karena dia baru saja kembali, tetapi dua bocah itu mengatakan hal yang sebaliknya. Tidak mungkin salah mengambil langkah mengingat jalanan ini satu-satunya rute tercepat menuju area persawahan.
 
Tidak ingin terlebih dahulu menerka hari semakin sore sebentar lagi senja akan tiba, Mas Ibra mengucapkan terima kasih kepada dua bocah itu sebelum undur diri lalu melangkah menuju area persawahan semoga saja memang benar Aryo ada di sana dan mereka salah melihat kalau tadi Aryo bukan pergi bersama dirinya.
 
Seiring dengan kepergian Mas Ibra, dua bocah itu pun saling beradu pandang salah satu dari mereka mengangkat sebelah alis. “Tadi koe tidak salah melihat, ‘kan, Nu. Mas-mas yang itu memang lewat sini sama mas yang pakai jaket abu-abu?” Bocah bertelinga seperti kembang kol itu bertanya.
 
“Iyo, saya tidak salah melihat. Tadi koe juga sempat ngobrol sama mereka tho?”
 
“Eh, tetapi mas yang itu tadi berjalan dari arah jembatan padahal kita tadi lihat sendiri kalau masnya pergi ke area persawahan. Apa kamu melihat mas yang itu balik lagi?”
 
Bocah dengan kelopak mata ganda itu menggeleng. Dia memang melihat kalau Mas Ibra sudah pergi ke area persawahan sejak tadi. Mereka saling beradu pandang lagi, menerka-nerka seolah bisa mengetahui isi pikiran masing-masing hanya dengan sekadar saling tatap. Bocah bertelinga seperti kembang kol itu menelan ludah pelan-pelan, lalu memberi isyarat dengan mengangguk tanpa bertutur kata lagi.
 
“Halah, mungkin hanya perasaan kita saja. Lebih baik kita pulang saja sebentar lagi magrib,” ujar bocah dengan kelopak mata ganda.
 
Mereka pun membereskan kelereng kemudian segera bergegas meninggalkan tanah lapang yang lambat laun memunculkan aura yang berbeda. Itu hal biasa karena waktu magrib sebentar lagi tiba. Kendati masih satu jam lagi.
 
Di lain sisi, Mas Ibra melihat jajaran tenda biru yang didirikan mengelilingi salah satu area persawahan yang digadang-gadang tempat situs kerajaan Majapahit. Banyak orang dari kelompok situs kuno yang masih melakukan penggalian, sebagian dari mereka ada yang sudah beristirahat di dalam tenda.
 
Sekar—salah satu anggota kelompok yang baru bergabung satu tahun lalu itu menghampiri Mas Ibra, mereka sudah saling mengenal sebelum Sekar bergabung dengan kelompok situs kuno ini karena  keduanya teman satu SMA—berpisah karena Sekar melanjutkan pendidikan di UGM sementara Mas Ibra tetap menetap di Malang.
 
“Lho, Bra sudah sore begini kenapa baru datang. Katanya mau bawa teman yang mau melakukan penelitian di sini? Kenapa datang sendiri?”
 
Sekar melayangkan pertanyaan bertubi-tubi meskipun menyadari pucat menghiasi wajah Mas Ibra. Perempuan itu sama sekali tidak memedulikan kalau ternyata Mas Ibra sedang takut setengah mati.
 
Rasa penyesalan sekonyong-konyong mendominasi, tahu seperti ini tadi dia paksa Aryo untuk ikut kembali ke rumah. Salahnya juga karena mengajak Aryo pergi ke area persawahan saat memasuki waktu senja.
 
Mas Ibra seperti tersihir oleh perkataan Sekar. Lelaki itu terdiam cukup lama sampai pada akhirnya berkata,
 
“Saya boleh minta air minum tidak?”
 
Sekar mengangguk lalu meminta tolong kepada salah satu anggota kelompok untuk mengambilkan satu botol air mineral. “Mas, tolong lemparkan satu botol air mineral!” Tidak lama setelah itu seorang lelaki berjanggut lebat melemparkan botol air mineral ke arah Sekar dengan sigap perempuan itu menerima lemparan tersebut, setelahnya memberikan botol itu kepada Mas Ibra.
 
Sekar memicing dengan tampang tidak percaya melihat Mas Ibra meneguk air dalam botol dalam sekali tandas, padahal dia tahu betul jarak dari rumahnya menuju area persawahan ini tidak terlalu jauh, tetapi sikapnya menunjukkan kalau habis melakukan perjalanan jarak sangat jauh. Terlebih Sekar heran lantaran pertanyaannya tadi belum terjawab, dia pun tersadar dan menduga kalau jangan-jangan sudah terjadi sesuatu.
 
“Kamu kenapa tho, kok, pucat gitu mukanya?” Sekar bertanya tepat ketika Mas Ibra menyeka sisa air yang menempel di sudut bibir menggunakan punggung tangan.
 
Napas Mas Ibra terdengar megap-megap setelah itu padahal tenggorokkan sudah basah, tetapi dia masih merasa kehausan, bahkan jantungnya semakin berdegup kencang. Sekar yang melihatnya semakin heran. “Tadi ada pemuda yang datang ke mari tidak?” Akhirnya Mas Ibra berujar, suaranya terbata-bata seperti habis lari marathon.
 
Sontak Sekar menggeleng. “Belum ada. Dari tadi kami yang ada di sini menunggu kalian, tetapi tidak kunjung datang. Malah saya heran kenapa kamu datang sendiri ke mari, temanmu itu mana, tho?”
 
“Walah.” Mas Ibra berkata sembari menepuk jidat. Rasanya dia ingin menangis di tempat. “Kalau tidak pergi ke sini lantas ke mana dia pergi?”
 
“Dia? Dia itu siapa, Bra? Maksudmu bagaimana, saya malah jadi bingung begini.”
 
Mas Ibra menata napas, semoga ini semua tidak benar tidak seperti yang dia duga. Beberapa detik kemudian, Mas Ibra menatap Sekar lalu menceritakan kronologi kejadian kepada perempuan itu.
 
Sekar yang mendengar cerita Mas Ibra pun tersentak, bahkan sesekali tidak memercayai perkataannya dan menganggap kalau Mas Ibra sedang mengarang cerita. Sekar ingin memahami kata-kata Mas Ibra, tetapi masih sulit untuk dia percaya.
 
“Kamu sudah mencoba menghubungi nomor Aryo? Eh, tetapi dia membawa telepon atau tidak?” Sekar malah bingung sendiri.
 
“Kalaupun membawa saya tidak bisa menghubungi dia.”
 
“Kenapa begitu?”
 
“Lha wong saya tidak punya nomor teleponnya. Saya hanya menyimpan nomor Profesor Abdul.”
 
Sekar mengembuskan napas dengan kasar, lalu memutar sepasang bola matanya ke sembarang arah.
 
“Saya rasa Aryo belum pergi jauh. Lebih baik sekarang kita pulang ke rumahmu barangkali dia sudah berada di sana.”
 
“Kalau tidak ada bagaimana? Kalau ternyata Aryo dibawa dedemit desa, kamu pernah dengar cerita tho dulu ada warga desa yang dibawa dedemit dan ketika ditemukan sudah ada di puncak Semeru.”
 
Tentu Sekar pernah mendengar cerita melengenda yang dia dengar ketika masih kecil, tetapi sampai saat ini cerita tersebut masih dianggap mitos belaka, sehingga Sekar tidak memercayai begitu saja.
 
Ngawur! Kamu masih percaya sama cerita kaya gitu. Kamu pikir temanmu seperti sesepuh desa yang memiliki ilmu tinggi?”
 
Mendengar penuturan Sekar membuat Mas Ibra sedikit jengkel. Perkataannya seperti meremehkan Aryo kalau pemuda itu dengar pasti dia akan tersinggung, tetapi Mas Ibra memaklumi karena Sekar belum tahu siapa Aryo kendati pemuda itu tidak memiliki ilmu tinggi yang Sekar maksud. Mas Ibra rasa Sekar akan terkena serangan jantung mendadak kalau Aryo pernah tidak sadarkan diri selama tiga hari setelah mengunjungi situs istana Trowulan.
 
“Sudah lebih baik kita balik ke rumahmu saja dulu.”
 
Mas Ibra mengiyakan saja berdebat dengan Sekar tidak akan ada ujungnya malah membuang waktu percuma. Sekarang ini dia harus kembali fokus untuk mencari keberadaan Aryo. Perasaannya benar-benar campur aduk apa yang harus dia katakan kepada Profesor Abdul andai kata Aryo tidak ada di rumah.
 
Lamunan Mas Ibra disadarkan oleh tepukkan Sekar, perempuan itu berpamitan kepada anggota kelompok dan akan kembali setelah urusannya dengan Mas Ibra selesai. Mereka pergi ke rumah Mas Ibra menggunakan sepeda motor milik Sekar.
 
Saat di perjalanan menuju rumah Mas Ibra, mereka mengunjungi beberapa tempat yang memungkinkan Aryo ada di sana. Seperti kembali mencari di tanah lapang dan sekitar jembatan sukamaju. Atau bertanya kepada warga desa yang sedang melintas, tetapi mereka tidak mendapatkan hasil apa-apa.
 
Waktu cepat berlalu. Beberapa saat kemudian, setelah melaksanakan salat magrib berjamaah yang diimami oleh Profesor Abdul—Lintang, Ahmad, Mas Ibra, Sekar, dan Profesor Abdul berkumpul di ruang tamu untuk membahas perihal menghilangnya Aryo. Mas Ibra sudah menceritakan kejadiannya tadi sebelum melaksanakan ibadah salat magrib.
 
Rasa terkejut itu masih Mas Ibra rasakan sampai detik ini ketika mendengar keterangan dari orang rumah kalau Aryo sama sekali belum memunculkan diri lagi setelah kepergiannya bersama Mas Ibra tadi sore, bahkan Lintang mengatakan kalau tadi Aryo sempat mengirimkan sebuah pesan yang berisi potret keindahan sungai yang ada di bawah jembatan sukamaju. Lintang pun memberi unjuk bukti tersebut kepada semua orang.
 
Mereka terkejut waktu Aryo mengirimkan pesan tersebut kepada Lintang terjadi lima menit setelah Mas Ibra meninggalkannya. Setelah itu Lintang berkata kalau nomor Aryo sudah tidak bisa dihubungi, melihat dari tanda centang satu yang sedari tadi belum berubah dua atau biru.
 
“Lintang coba kamu hubungi lagi nomor Aryo. Via telepon seluler saja,” titah Profesor Abdul. Panik mendominasi wajah keriputnya. Lintang mengangguk, beberapa saat setelah melakukan perintah Profesor Abdul, dia menunduk lesu karena nomor Aryo masih tidak bisa dihubungi.
 
Semua orang yang ada di rumah Ahmad turut bingung terlebih Sekar di saat semua orang tengah sibuk mencari informasi tentang keberadaan Aryo, perempuan itu terdiam karena tidak tahu harus berbuat apa.
 
Ahmad beranjak bangkit dari tempat duduk sontak seluruh atensi mengarah kepada lelaki paruh baya itu. “Kita tidak bisa terus berdiam diri di rumah seperti ini.” Pandangan Ahmad menyapu satu persatu orang yang ada di ruang tamu. Seketika aktivitas mereka terjeda dan kembali membalas tatapan Ahmad dengan pandangan bervariasi. Lantas lelaki itu meneruskan kalimatnya, “Kita meminta bantuan warga desa untuk mencari Aryo. Jangan-jangan dia tersesat—”
 
“Bagaimana kalau Aryo bukan tersesat, tetapi memang sengaja disesatkan, Pak?” Mas Ibra menyela begitu saja. Berbagai prasangka buruk tengah menggerayangi isi kepala.
 
Ahmad menggeleng pelan sembari menatap datar ke arah putra paling bontotnya itu. “Kita tidak akan pernah tahu sebelum benar-benar mencari. Abdul bagaimana menurut Anda, apakah setuju kalau saya meminta bantuan warga desa untuk ikut membantu mencari Aryo?”
 
“Jika tidak merepotkan warga di sini tidak apa-apa, Ahmad.”
 
“Tentu tidak merepotkan, Abdul. Peristiwa seperti ini bukan kali pertama yang pernah terjadi di desa ini.” Profesor Abdul langsung mengerti arah ucapan Ahmad. Seketika dia menyesal karena telah membiarkan Pak Sosro pergi ke Sragen, seharusnya pemandu wisata itu ada di sini untuk ikut menjaga Aryo.
 
Wajah Lintang pucat pasi. Sama seperti pikiran Mas Ibra beberapa saat lalu, pikiran Lintang pun digerayangi oleh berbagai spekulasi buruk setelah mendengar penuturan Ahmad. Ahmad tidak ingin menjelaskan apa pun meskipun Lintang terus mendesak agar menjelaskan maksud dari perkataannya tadi. Bagi Ahmad menceritakan kisah di masa lalu tidak layak untuk dibahas saat keadaan genting seperti sekarang ini.
 
“Nak Lintang lebih baik kita fokus untuk mencari Aryo terlebih dahulu. Perkara perkataan saya jangan terlalu dipedulikan. Peristiwa tersebut terjadi beberapa puluh tahun yang lalu.”
 
Lintang menoleh ke arah Profesor Abdul seolah meminta persetujuan dari lelaki tua itu. Profesor Abdul mengangguk tanpa melontarkan sepatah kata. Dasarnya saja Lintang memang keras kepala, dia tetap memberontak untuk meminta penjelasan alih-alih mengikuti saran dari Profesor Abdul. “Tidak bisa, Pak, saya juga orang terdekat Aryo. Saya mau mendengar penjelasan dari Pak Ahmad. Apakah hilangnya Aryo kali ini ada kaitannya dengan mitos yang beredar, bahwa Aryo menghilang dibawa oleh makhluk tak kasatmata?”
 
Lintang bukan perempuan bodoh. Kegemarannya membaca dan mencari tahu sampai bisa mengulik tentang mitos yang beredar di desa Sumberasih ini. Tidak dapat dipungkiri zaman yang semakin modern ini tidak membuat orang kesulitan untuk menggali informasi, bermodalkan jari jemari apa saja mudah ditemukan dalam sekejap mata.
 
“Mohon jangan langsung menafsirkan, Nak Lintang,” kata Ahmad mencoba meredakan kegelisahan dalam diri Lintang. “Mitos hanya sebatas mitos, lagi pula kita tidak boleh menduga-duga sebelum mengetahui keadaan yang sebenarnya.”
 
“Benar apa yang dikatakan oleh Pak Ahmad,” sambung Sekar yang sedari tadi hanya duduk sebagai pengamat orang-orang asing ini. “Lebih baik segera beri tahu warga desa untuk membantu mencari keberadaan Aryo. Mengingat malam telah tiba.”
 
Semua orang mengangguk setuju kecuali Lintang—perempuan itu tidak habis pikir dengan jalan kehidupan yang harus Aryo lalui, belum bisa menerima sepenuh hati ketika Profesor Abdul menceritakan kepadanya tentang peristiwa yang menimpa Aryo beberapa hari lalu, kini harus kembali dihadapkan oleh hal mistis yang lain.
 
“Lintang, bagaimana kamu mau ikut bersama kami mencari Aryo atau mau menunggu di rumah saja. Nanti biar ditemani sama Sekar.”
 
Lintang mendongak, melihat Mas Ibra yang tengah menatapnya meminta jawaban. Lintang hendak mengerakkan bibirnya untuk melontarkan kata-kata, tetapi terjeda ketika Profesor Abdul terlebih dahulu membuka suara. Perkataannya membuat semua orang dapat bernapas sedikit lebih lega.
 
“Aryo menelepon,” kata lelaki tua itu sembari memperlihatkan ponsel miliknya yang menampilkan nama Aryo pada layar. Lintang melangkah maju mendekati posisi Profesor Abdul, memberi titah agar segera menerima panggilan telepon tersebut.
 
Lebih dari satu menit Profesor Abdul bercengkerama, mereka tidak sabar menunggu gerangan apa yang dikatakan oleh Aryo karena sepanjang perbincangan berlangsung Profesor Abdul hanya menjawab dengan singkat. Kata yang terlontar sebatas, Iya, baik, lalu, tidak, dan oke.
 
“Ibra apa kamu tahu di mana lokasi air terjun Tumpak Sewu?” tanya Profesor Abdul setelah mengakhiri panggilan teleponnya.
 
Dahi Mas Ibra mengerti. “Di daerah Pronojiwo, perbatasan antara Malang dan Lumajang. Perjalanan dari sini kira-kira dua setengah jam dengan kendaraan pribadi.” Bukan Mas Ibra yang menjawab, melainkan Sekar.
 
“Baiklah, Ibra tolong hubungi Adi suruh dia datang ke mari sekarang, kita akan pergi ke Pronojiwo malam ini juga.”
 
Semua orang menatap Profesor Abdul dengan tampang tidak percaya. Bingung tentu saja terlebih lagi Lintang, di saat seperti ini Profesor Abdul masih memikirkan untuk berkarya wisata ke air terjun.
 
Profesor Abdul melenggang pergi dari ruang tamu, tetapi sebelum benar-benar menuju pintu utama Ahmad menghentikan langkah Profesor Abdul. “Abdul untuk apa kita pergi ke sana?”
 
“Aryo ada di sana,” sahut Profesor Abdul sembari melangkah dan menepis tangan Ahmad yang sempat mencekal lengannya.
 
Empat kata yang mampu menghipnotis semua orang yang ada di ruang tamu rumah milik Ahmad Subagyo.
 

*

 
Note : Mohon maaf atas ketidaknyamanan para pembaca misalkan menemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nalar teman-teman. Silakan lanjutkan membaca cerita ini kalau nyaman, kalau tidak nyaman dan tidak sesuai selera untuk apa membaca? Untuk dihujat di balik kata mengkritik? Lebih baik tidak usah.
 
Saya memang membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca, tetapi kadang merasa gerah sama pembaca yang suka seenak jidat menjatuhkan mental penulis di balik kata mengkritik tanpa memberi solusi, malah kalau sudah jatuh dianggap “Mentalmu lemah, jangan jadi penulis!” kadang suka sedih kalau nemu cuitan kaya gitu. Mengkritik boleh, bahkan saya bukan orang yang anti kritik, tapi, ya, gitu

hehe
 
Sampai jumpa pada chapter berikutnya…
 
 

hehe Sampai jumpa pada chapter berikutnya…  

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Minggu, 22 November 2020.

Bagaimana sudah jatuh cinta dengan cerita ini?

The Last SecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang