TIDAK bisa diterima hanya menggunakan logika semata. Sungguh, Aryo sudah tidak tahan lagi atas takdir yang harus dia emban. Tidak sekalipun menganggap sebagai beban hanya saja itu terlalu berat bagi pemuda seperti dirinya, belum bisa menerima fakta mengenai kodam yang melindungi diri serta sekalipun dia tidak pernah berharap bisa melihat wujud aslinya.
Menelisik prahara dua peneliti dia sudah tidak tertarik lagi, kendati acapkali masih menyentil batin tentang rasa penasaran yang menggebu-gebu siapa sosok Profesor Zain Tojo. Apakah benar beliau sudah meninggal terbunuh oleh waktu seperti yang dikatakan oleh Profesor Abdul? Atau beliau masih terjebak dalam ruang waktu dan tengah berusaha untuk kembali, tetapi bagaimana mungkin.
Banyak spekulasi yang tertanam dalam benak, tetapi saat ini dia tidak ingin berdebat dengan diri masih banyak hal yang mesti segera diselesaikan. Mencari tahu keberadaan arca oplosan dan arti kertas kosong yang ditemukan di dalam amplop cokelat tiga hari lalu. Dia memutuskan tidak memberi tahu Profesor Abdul kalau sebenarnya sudah menemukan amplop tersebut sebelum dikembalikan, dia memutuskan untuk mencari tahu sendiri.
Hari ini Aryo tidak ada kegiatan perkuliahan, dia meminta izin kepada Profesor Abdul untuk pergi menengok Pakde Satya setelahnya dia ingin menemui Nada untuk memberikan titipan cokelat pemberian dari Lintang tempo hari. Profesor Abdul lantas meminjamkan salah satu mobilnya kepada Aryo, dibandingkan menggunakan transportasi umum selain bisa menghemat ongkos juga bisa meminimalkan waktu.
Tepat pukul sembilan pagi pemuda dari dusun Kemusuk itu sampai di depan lobi apartemen Pakde Satya. Selang beberapa saat pria berperawakan tinggi kekar itu keluar dari salah satu lift, Aryo mengekori langkah Pakde Satya sampai unit apartemennya.
“Jadi, liburan semester kamu mau pulang ke Jogja?” Pakde Satya bertanya menanggapi obrolan mereka yang sempat terjeda di dalam lift tadi. Pertanyaannya diangguki oleh Aryo saat tengah menutup pintu unit apartemen.
“Iya, tetapi sebelumnya saya mau ke Malang dulu menemani Profesor Abdul sekaligus mengunjungi tempat wisata yang ada di daerah Trowulan dan Lumajang,” jawab Aryo ketika Pakde Satya hendak mengambil minuman dari kulkas.
Pakde Satya menangguk-angguk, tetapi sorot matanya tampak tengah mengintimidasi merasa curiga dengan keponakannya. Tidak seperti biasa Aryo berkunjung ke mari pagi hari seperti ini, apalagi memberi tahu secara mendadak, meskipun sejak bertemu dengannya Pakde Satya belum mencium gelagat aneh dari pemuda yang kini tengah menikmati panorama di luar sana melalui balkon.
“Kamu sudah sarapan, Le?” kata Pakde Satya sedikit berteriak. Aryo menoleh ke arahnya di mana balkon langsung menjurus ke arah dapur—keponakannya itu mengacungkan ibu jari sembari mengangguk pelan. Aryo kontan melangkah menghampiri posisi Pakde Satya yang kini sudah duduk di ruang makan seraya sibuk dengan laptop, sedang sibuk membuat novel terbarunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Second
Mystery / ThrillerBUKU harian peninggalan Eyang Kakung menyimpan banyak rahasia. Semula hidup Aryo baik-baik saja, hari berikutnya gara-gara tinggal satu atap bersama Profesor Abdul rahasia demi rahasia di masa lalu kembali terkuak, serta beberapa kali mengalami peri...