[[ ꧒꧕ ; Tiga Tamu ]] ✅

30 7 0
                                    

25. Ada 3 tamu yang pasti akan datang; Rezeki, Takdir, dan Kematian. Semoga rezekimu berkah. Takdirmu baik. Kematianmu Husnul Khotimah. Aamiin.

 Aamiin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


 

JIKA Allah sudah menakdirkan seseorang untuk menjadi baik, siapa yang mampu menghalangi-Nya. Allah sangat mencintai pelaku maksiat yang gemar bertobat, dibandingkan saleh atau salihah yang tidak pernah merasa bersalah.
 
Oleh sebab itu, sebagai manusia yang gemar berburuk sangka terhadap makhluk ciptaan Allah adakalanya jangan terus menerus berpikir buruk terhadap sesuatu yang terlihat tidak baik.
 
Fenomena masa kini terkadang ada segelintir orang yang mengira, bahkan berani mengklaim kalau seseorang yang doyan maksiat—judi, minum minuman yang diharamkan agama, zina di luar hubungan pernikahan, dan sederet perbuatan maksiat lainnya, maka akan jelas masuk neraka dan apabila memohon ampunan kepada Sang Pencipta para pendosa itu tidak mungkin mendapat ampunan dari Allah.
 
“Dosanya terlalu banyak, sudah mabuk suka berzina lagi!”
 
“Halah, palingan cuma kedok doang biar terlihat alim.”
 
“Percuma! Tukang judi tidak akan diampuni mau jungkir balik salat berulang kali sekalipun!”
 
Tidak jarang acapkali mendengar kalimat-kalimat seperti itu saat tahu ada pelaku maksiat mengutarakan kalau dia mau bertobat. Sungguh, orang-orang seperti mereka termasuk golongan orang yang celaka, merasa sudah menjadi pribadi yang baik hanya karena memenuhi rukun islam satu sampai empat, bahkan lima. Terkadang menanggap kalau pelaku maksiat, ya, neraka tempatnya mau bertobat sekalipun.
 
Miris.
 
Sebagai sesama manusia terkadang hati teriris hingga ingin ikut menangis saat melihat fenomena seperti itu, merasa paling pintar dan paham ketika bersanding dengan mereka yang baru memiliki bekal sangat sedikit. Apalagi merasa angkuh serasa terbang di atas awan saat bersanding dengan para pelaku maksiat. Tanpa berpikir panjang langsung mengeluarkan ilmu yang sebenarnya belum dipahami dengan baik, mungkin dimengerti dengan baik saja pun juga belum.
 
Sering kali Aryo bertemu dengan golongan orang seperti itu, karenanya belajar ilmu agama itu penting. Belajar sampai benar-benar paham karena yang mengerti belum tentu paham, tetapi yang paham sudah pasti mengerti. Sebab, yang beriman belum tentu taat, tetapi yang taat sudah pasti beriman.
 
Gambaran di atas merupakan sedikit unek-unek di dalam benak Aryo sekaligus takjub dengan apa yang ada di hadapannya saat ini.
 
Hatinya masih berbunga-bunga saat beberapa saat lalu mendengar sebuah cerita menegangkan dari Mbah Gimbal, semakin berbunga-bunga lagi tatkala perempuan yang nyaris pernah menghancurkan mental Ayana, kini sudah menjelma sebagai sesosok yang lebih baik.
 
Dia adalah Windi.
 
Anggota dari Gayatri dan geng—kakak kelas Aryo yang harus pindah keluar pulau Jawa akibat mendapat imbas atas perbuatan Gayatri dan Denting semasa masih sekolah dahulu.
 
Aryo tegak tercengang beberapa saat lalu lantaran mendapati perempuan itu sudah duduk di bangku teras rumah di Kemusuk bersama Ibu dan Ayana.
 
Saat masih di rumah Mbah Gimbal, Ibu sempat memberi kabar kalau ada seseorang yang mencarinya dan kini sudah menunggu di rumah buru-buru Aryo pulang ke rumah. Betapa terkejutnya Aryo melihat seseorang itu adalah Windi, selama duduk bertiga di sana benak Aryo tiada henti menerka-nerka.
 
Sampai pada akhirnya, Ayana pun menjelaskan terlebih dahulu kalau sahabat lama yang dia temui Windi, bahkan Aryo tidak menyangka kalau selama ini Ayana masih berhubungan baik dengan perempuan yang nyaris menghancurkan masa depannya. Memang Ayana pernah cerita kalau Windi sempat meminta maaf melalui direct message di Instagram, tetapi tidak menyangka kalau hubungan mereka masih berlanjut sampai detik ini.
 
Selang beberapa saat, giliran Windi yang angkat suara—terlebih dahulu perempuan itu meminta maaf kepada Aryo kalau mungkin dahulu pernah berbuat salah kepadanya, baik dalam tingkah maupun ucapan sekaligus memberi tahu kalau sekarang Windi pelan-pelan ingin belajar memperdalam ilmu agama, agar segala prosesnya lancar Windi ingin mendapat maaf serta rida dari orang-orang yang pernah dia sakiti di masa lalu.
 
Aryo terharu mendengar cerita tersebut, sementara Ayana menunjukkan ekspresi biasa saja, baginya cerita Windi bukan perkara asing lagi. “Meskipun kamu tidak pernah saya rundung, tetapi saya masih sering merasa gelisah dan risau kalau belum meminta maaf kepadamu. Aryo, saya sungguh minta maaf.” Windi tergugu setelahnya, diraihnya tubuh sedikit berisi itu oleh Ayana, dibiarkan air mata Windi tumpah ruah membanjiri pundak perempuan itu.
 
Windi kembali teringat akan segala dosa dan maksiat yang pernah dilakukannya di masa lalu. Kejahatan yang pernah dia lakukan terhadap Ayana kembali keluar dari memori, seolah berputar-putar dan dia tengah menyaksikan reka adegan dari memori tersebut. Windi semakin tergugu.
 
Ayana sudah tidak bisa menangis lantaran Windi pernah melakukan hal yang sama empat bulan lalu ketika kali pertama mereka bersua setelah empat tahun terpisah oleh jarak. Aryo menunduk, menahan napas sejenak lalu mengembuskan perlahan.
 
Windi yang terkenal bandel bahkan pernah menjadi kurir narkoba, sampai rela datang dari jauh untuk mendapat maaf dari Ayana—sungguh niat mulia, ingin berubah menjadi lebih baik bukan sekadar di mulut saja.
 
Aryo mendoakan dalam hati dengan sungguh-sungguh semoga apa yang diharapkan Windi diperlancar segala prosesnya. Sungguh, Aryo terharu karena sering berharap agar bisa mendapat hidayah seperti Windi.
 
“Saya sudah memaafkan dan tidak pernah sekalipun terbersit perasaan benci kepada Mbak Windi ataupun teman-teman yang lain. Saya juga meminta maaf apabila perbuatan maupun perkataan saya pernah menyakiti hati Mbak Windi,” tutur Aryo, nada bicaranya terdengar lembut dan menyentuh hati Ayana.
 
Lega hati Windi mendengar penuturan Aryo. Seperti ada embusan angin yang begitu sejuk menggerogoti benak,  timbul ketenteraman dalam diri seolah beban yang terus menggerayangi isi pikiran runtuh dan ikut pergi terbawa embusan angin tersebut.
 
Aryo menyodorkan saputangan bermotif bunga sakura yang dia rogoh dalam saku jaket parasutnya kepada Ayana, dengan gerakan dagu sebagai isyarat agar memberikan kain tersebut kepada Windi. Disekalah air mata Windi menggunakan saputangan pemberian Aryo.
 
Teras rumah dilanda suasana hening dalam beberapa saat. Sampai pada akhirnya, Windi kembali membuka suara. “Oh, iya, sampai lupa kalau tujuan menemuimu untuk memberikan ini.” Windi menyodorkan sebuah paper bag berukuran kecil kepada Aryo. Dengan tampang heran Aryo menerima barang yang disodorkan Windi, lalu mengucapkan terima kasih sembari tersenyum tipis.
 
Aryo melongok ke dalam paper bag, wajahnya berbinar lantaran melihat sebuah tasbih kayu kokkah berwarna cokelat tua.  “Sangat bermanfaat sekali hadiah dari Mbak Windi, sekali lagi terima kasih.”
 
“Sama-sama, Ar. Sebenarnya tasbih itu bentuk kenang-kenangan dari saya.”
 
“Kenang-kenangan?” Aryo bertanya dengan raut heran. Menoleh ke arah Ayana yang tersenyum lalu mengangguk kecil kepada Aryo.
 
“Iya, mungkin sudah sangat terlambat kalau saya menyampaikan berita bahagia ini. Jadi, tiga bulan lalu saya dipersunting oleh lelaki baik hati yang mau menerima masa lalu saya. Dia seorang WNA. Saya sudah memutuskan untuk ikut bersama dia dan membangun kehidupan yang baru di sana.
 
Kemungkinan saya tidak akan kembali lagi ke sini karena orang tua saya sudah tidak ada dan sanak saudara belum sepenuhnya mau menerima masa lalu saya.
 
Saya masih dianggap aib bagi mereka, meskipun ada sanak saudara yang mau menampung, tetapi saya tidak mau merepotkan mereka lagi, saya tidak mau digerayangi rasa bersalah apabila terus berada di sini. Mungkin ini memang jalan hidup saya, bukan berarti saya tidak lagi cinta tanah air, tetapi saya yakin bahwa jalan ini pilihan terbaik dari-Nya.”
 
Tidak ada kalimat yang ingin Aryo katakan. Dia tersenyum haru, ikut merasa senang lantaran Windi meraih hidayah-Nya dengan begitu gesit, bahkan kini sudah menjadi Windi versi terbaik menurut-Nya.
 
Tidak akan menyalahkan keputusan yang dia ambil karena setiap orang memiliki hak untuk memilih. Aryo yakin sebelum memutuskan pindah dari sini Windi sudah mempertimbangkan perkara tersebut masak-masak.
 
Aryo memaklumi dan menghargai keputusan Windi. Tidak mau menjadi hakim karena dia tidak tahu bagaimana proses sehingga Windi bisa menjadi Windi yang seperti sekarang.
 
Aryo malah kagum dengan Ayana lantaran tidak menyimpan dendam kepada Windi, padahal Aryo tahu betapa jahanamnya Windi dan kawan-kawan kala memperlakukan Ayana dahulu, tetapi perempuan itu menyambut Windi dengan senyuman, mengulurkan tangannya untuk ikut membantu serta sangat tulus berkenan memaafkan kesalahannya.
 
Dari Ayana, Aryo belajar bahwa mau seburuk apa pun perlakuan orang lain di masa lalu terhadap diri, balas dendam versi terbaik adalah bersikap ikhlas dan tawakal serta pasrah, bahwa Allah maha membolak-balikkan hati manusia.
 
Dari Windi pun, Aryo belajar bahwa siapa pun berhak mendapat kesempatan kedua, sebagai manusia tidak seharusnya menghakimi hanya karena dahulunya dia seorang pendosa.
 
Bukankah manusia sarangnya dosa? Manusia tempatnya salah, bahwa di atas ilmu masih ada adab.
 
“Lantas kapan Mbak Windi akan berangkat?” Aryo bersuara memecah keheningan.
 
“Insya Allah dua minggu lagi, sedang menunggu beberapa dokumen yang belum siap.”
 
Aryo beroh ria sembari mengangguk-angguk kecil.
 
“Oh, iya, bagaimana kabar Mbak Gayatri dan Mbak Denting, apa Mbak Windi masih sering bertemu dengan mereka?” Sebenarnya Aryo mau bersikap tak acuh, tetapi merasa penasaran.
 
Spontan Windi menampilkan mimik wajah sebiasa mungkin ketika Aryo menuturkan pertanyaan tersebut, kendati sebenarnya jauh di dalam lubuk hati dia menahan sejuta luka apabila mendengar nama kedua sahabat tercintanya.
 
Ayana menahan napas, lalu mengembuskan perlahan. Memberi kode kepada Aryo dengan melambai-lambai kecil, tetapi bukan mengerti Aryo malah bingung dibuatnya. Sempat ada permainan mata antara Windi dan Ayana, Aryo mengamati dengan memandang mereka secara bergantian. Sampai pada akhirnya, Windi mengangguk sambil tersenyum kecil kepada Ayana.
 
“Sudah tidak apa-apa, Ay,” ujar Windi sambil memegangi punggung tangan Ayana—perempuan berjaket denim itu memejam sejenak, lalu menurut saja kalau memang Windi tidak apa-apa dipersilakan untuk bertutur kata. Aryo masih dengan tampang bingung ketika Windi mengalihkan pandangan menatap wajahnya.
 
“Mungkin sudah sangat terlambat saya memberi kabar ini. Sejak dua tahun lalu Gayatri mendekam di Nusakambangan terkait kasus narkoba, masih seperti dulu bahkan lebih parah karena dia bukan hanya pengedar dan pemakai, tetapi juga bandar kelas kakap. Kalau Denting—“  Windi menunduk dan bahunya tampak naik turun. Ayana merangkul ke dalam dekapannya lagi, lalu menatap Aryo dengan pandangan mengintimidasi.
 
Suasana kembali diam ketika pikiran Aryo begitu berisik oleh terkaan.
 
“Denting sudah meninggal, satu tahun setelah Gayatri dibawa ke Nusakambangan. Dia meninggal karena overdosis.” Bukan Windi yang bersuara, tetapi Ayana. Sakit rasanya melontarkan kalimat tersebut, Ayana terpaksa karena tidak mau Aryo terus dilanda rasa penasaran.
 
Terperangah Aryo mendengar penuturan Ayana. Dia ikut menunduk, lalu melafalkan kalimat istirja dengan lirih.
 
Aryo memang tidak pernah mendengar kabar mereka lagi karena setelah kasus di sekolah terungkap, keluarga Gayatri dan Denting meninggalkan Kemusuk. Tidak menyangka kalau ternyata mereka masih menggeluti bidang haram tersebut, bahkan Gayatri harus mendekam di Nusakambangan.
 
Perasaan Windi sudah jauh lebih lega, keluarlah dia dari dekapan Ayana. Menyeka air mata menggunakan punggung tangannya sendiri.
 
“Kami memang sempat berpisah.” Windi kembali bersuara, Aryo mendongak lalu kembali mendengarkan. “Saya memilih untuk lepas dari mereka, lepas dari barang haram yang telah merenggut masa depan saya. Awalnya memang sulit, bahkan keluarga sempat mendapat ancaman dari Gayatri, tetapi saya bertekat dan atas pertolongan Allah saya diberi jalan. Sampai pada akhirnya, Allah mempertemukan  dengan laki-laki yang baik sekali.
 
Saat keluarga saya sendiri menjauhi karena mereka malu memiliki putri dan sanak saudara teman dari bandar narkoba, tetapi lelaki itu mau membimbing saya sampai bisa terlepas dari semuanya. Demi Allah, saya belum pernah sekalipun memakai barang haram itu. Saya akui memang pernah menjadi pengedar, dan saya sudah diberi hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
 
Kamu mau tahu, bukan orang tua atau sanak saudara yang berani memberi jaminan dan menebus saya, tetapi dia, laki-laki yang saat ini menjadi suami saya.”
 
Apakah semua perempuan memiliki sifat seperti Windi, yang berterus terang padahal lawan bicara sebenarnya tidak ingin tahu terlalu jauh mengenai perkara pelik yang sedang dia hadapi.
 
Selang beberapa saat Windi malah meminta maaf karena berbicara melantur, melihat ekspresi Aryo yang tampak tidak nyaman karena tiba-tiba dia menceritakan hal tersebut. Tahu seperti ini lebih baik menuruti saran Ayana untuk tetap bungkam dan tidak menceritakan apa pun kepada Aryo.
 
Nasi telah menjadi bubur. Windi sudah terlanjur berterus terang di hadapan Aryo.
 
Aryo tidak menanggapi apa pun karena dia tahu semakin ditanggapi, hati Windi semakin hancur. Aryo hanya melontarkan beberapa patah kata yang isinya tidak jauh dari mendoakan Windi agar tetap istikhamah.
 
Setelah bercerita panjang lebar, Windi izin undur diri karena harus mengunjungi beberapa kawan di daerah Sleman. Sempat bertanya kenapa Windi pergi tidak bersama suaminya—kakak kelasnya itu menjawab kalau perihal masa lalu biarkan dia sendiri yang menyelesaikannya.
 
Ayana dan Windi saling berpelukan, melepaskan rasa rindu karena sebentar lagi mereka akan kembali dipisahkan oleh jarak dan waktu. Aryo menatap kepergian Windi dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
 
Ayana tertawa kecil melihat tampang Aryo seperti bocah yang mau ditinggal pergi oleh ibunya ke pasar. “Jaga pandangan, Ar, ingat dia sudah bersuami.”
 
“Saya memandangi kepergian Mbak Windi lantaran terharu bukan nafsu,” protes Aryo tanpa menoleh ke arah lawan bicara. Setelahnya mereka kembali saling bungkam.
 
Aryo banyak belajar dari kisah Windi dan geng. Sebaik-baiknya seseorang pada saat ini dia yang memiliki masa lalu, sebaliknya seburuk-buruknya orang pada saat ini dia masih memiliki masa depan. Jadi, sebagai manusia jangan seenaknya memvonis seseorang dari apa yang dilihat dari mata, manusia tidak pernah tahu rahasia apa yang dimiliki Allah untuk setiap hamba-Nya.
 
Kepergian Windi membuat Ayana dan Aryo menjadi canggung satu sama lain. Mereka masih duduk di teras dan membisu dalam beberapa menit, bingung apa yang ingin dikatakan karena sekonyong-konyong diri menjadi malu untuk saling bertegur sapa. Padahal belum ada 15 menit mereka sempat melemparkan gurauan.
 
Atas permintaan hati dan dorongan rasa membuncah dari dalam diri, mau tidak mau Aryo harus menghalau perasaan canggung ini.
 
“Jadi, selama ini Mbak Aya berhubungan baik dengan Mbak Windi?” Pertanyaan konyol, setelah mengatakan hal tersebut Aryo merutuki diri sendiri. Bagaimana kalau Ayana lantas menganggap selama ini dia tidak mengindahkan ketika dia bercerita.
 
Ayana agak tercengang tampak kerutan di dahi begitu kentara. “Bukannya saya pernah cerita kalau Windi meminta maaf melalui DM di instagram?”
 
Aryo terkekeh sembari menggaruk tengkuk. “Iya, tapi saya tidak menyangka kalau hubungan kalian masih berlanjut hingga sekarang.”
 
“Ya, begitulah. Awalnya saya tidak mau berhubungan lagi dengan dia, tetapi menyimpan dendam terlalu lama tidak baik. Ngeri saja kalau tiba-tiba meninggal membawa perasaan dendam.”
 
Ayana mengedik bahu seolah benar-benar sedang membayangkan sesuatu yang sangat mengerikan.
 
“Jangan meninggal dulu, belum juga saya lamar,” celetuk Aryo dengan nada bercanda. Kontan pipi Ayana bersemu merah, lalu mengalihkan pandang ke arah lain. Terkejut saja karena Aryo tiba-tiba bergurau seperti itu.
 
Ayana berdeham, lalu bertanya, “Berarti kamu setuju dengan rencana Bapak?” Ayana tidak suka basa-basi, perasaan canggung memang bisa mengubah suasana begitu saja. Sampai perkataan tidak bisa difilter terlebih dahulu.
 
Aryo terdiam beberapa saat, hingga beberapa detik setelahnya dengan lantang dia menyahut,
 
“Memangnya Mbak Aya tidak setuju kalau dijodohkan dengan saya?”
 
“Malah saya sempat berpikir kamu yang tidak mau.” Ayana menjawab dengan posisi menunduk, sehingga samar-samar Aryo bisa mendengar suaranya.
 
“Kenapa Mbak Aya berpikir seperti itu?”
 
Ayana hanya bergumam tidak jelas, enggan menanggapi pertanyaan Aryo, terlalu panjang apabila harus mengeluarkan segala isi hati. Rasanya sudah cukup dia melampiaskan kepada Mbah Gimbal pagi tadi, cukup lelah kalau harus mengulang kalimat yang sama.
 
Aryo paham, mungkin pertanyaannya tadi terlalu frontal. Tidak seharusnya dia bertanya demikian.
 
Ayana mendongak, lalu memberi perintah agar Aryo membalas tatapannya, setelah bisa memandang sepasang mata masing-masing, Ayana kembali membuka suara.
 
Memang lelah, tetapi dia harus mengutarakan agar tidak terus mengusik pikiran.
 
“Aryo, sebelum kamu melangkah dan menjadikan saya sebagai tujuanmu, sebelum kamu memilih saya menjadi satu-satunya wanitamu. Saya tidak menginginkan yang neko-neko, saya hanya berharap semua bekal dan persiapan sudah ada di tangan. Jangan kamu memutuskan begitu saja tanpa doa dan keyakinan yang kuat karena dengan kamu, saya tidak ingin hanya sekadar bersama.”
 
“Jadi, Mbak Aya setuju dengan rencana perjodohan ini?” tanya Aryo dengan sangat hati-hati.
 
Sedikit malu-malu Ayana mengangguk pasti. “Saya harap kelak kamu mampu membimbing saya dengan imanmu, menyayangi saya dengan cinta dan kasihmu, jaga saya dengan tanggung jawabmu, serta bahagiakan saya dengan kesederhanaanmu. Begitulah betapa saya ingin disandingkan bersamamu tanpa ragu, tanpa mau mengulur waktu.”

The Last SecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang