Bagian#16

8 2 0
                                    

"Jangan mempertahankan dia yang sudah kasar denganmu. Tinggalkan saja, carilah orang yang bisa melindungimu bukan melukaimu"
~Annisa Najwa Assyifa~

Author PoV

Setelah menenangkan diri selama kurang lebih satu minggu. Akhirnya Nisa memberanikan diri untuk menceritakan semua kejadian dimasa lalunya dengan Tama. Walau masih berat dan masih sakit jika harus mengingat kembali, tapi orang-orang disekitarnya sudah terlanjur tahu secuil dari kisah itu. Mau tidak mau sanggup tidak sanggup, ia harus jujur kepada mereka terutama sang kakak dan Risky.

Mereka sekarang sudah berada di basecamp anak Gatara. Tidak semua anak Gatara yang menggunakan tempat ini sebagai basecamp, hanya David dan kawan-kawan saja yang menggunakannya. Anisa mulai menceritakan masalalu nya bersama Tama.

"Jadi dulu gue mau deket sama dia waktu gue kelas 7. Karena dulu sering di mak comblang-in sama temen sekelas gue, jadinya kita saling suka beneran. Akhirnya gue ditembak sama dia, gue terima kita pacaran. Kita pacaran udah hampir 3 tahun. Tahun pertama semua baik-baik aja. Enggak ada yang berubah di diri dia. Perhatian, penyayang, lembut, agh pokoknya dia itu dulu bisa dibilang idaman banget. Tapi waktu terus berjalan, gue mulai ngerasa dia berubah. Ngerasa dia mulai kasar sama gue. Awalnya gue anggap itu wajar, hanya kasar karena kesal saja. Tapi lama-lama, bukan hanya kasar ucapan tapi dia mulai berani nampar gue bahkan mukulin gue. Dia selalu ngajak gue ke pantai dan disitulah dia melampiaskan amarahnya ke gue. Sebenernya gue udah nggak tahan.  Tapi gue berusaha ngerubah dia. Saat itu gue yakin dia bakal berubah. Tapi...", Nisa menghela nafas, air matanya mulai turun ketika mengingat kejadian demi kejadian di masalalu.

Ia menatap Cecen, "Kalo nggak kuat, biar gue aja yang ngelanjutin", Cecen sebenarnya tak tega melihat sahabatnya menangis. Tapi Nisa terlanjur bercerita dan cerita itu harus diakhiri saat ini juga. "Enggak, gue kuat kok. Biar gue aja yang cerita biar semuanya percaya.", kata Nisa tersenyum tipis pada Cecen.

"Tapi apa, Dek?", tanya David penasaran.

"Tapi gue gagal ngerubah sikap dia. Tepat tahun kedua kita pacaran. Dia semakin menjadi jadi. Gue sering dipukul, ditendang, dijambak, hingga dicekik sama dia. Gue selalu bohong sama Mama, Papa, karena gue nggak mau mereka cemas. Setiap pulang jalan sama dia pasti gue punya luka lebam dimuka atau tangan atau kaki gue. Gue selalu bilang sama mereka kalau gue habis latihan karate karena waktu itu gue ikut ekskul karate. Gue udah nggak kuat lagi sama kelakuan dia. Sebenernya gue mau mutusin dia. Tapi, gue mikir-mikir lagi akibatnya. Mungkin dia bakal bunuh gue kalo misal gue mutusin dia. Sikap kasarnya semakin menjadi jadi. Puncaknya saat gue diajak sama dia ke pantai yang sering kita datengin dan tempat pelampiasan amarahnya. Gue pikir, gue bakal ditampar atau dipukul seperti biasa. Tapi tanpa diduga dia mau bunuh gue. Saat itu leher gue dicekik dengan tangan kiri sama dia sampai gue mau kehabisan nafas. Gue kira gue bakal dibunuh dengan cara dicekik, tapi ternyata dia bawa pisau lipat ditangan kanannya. Gue nggak tahu dia dapet darimana. Dan gue nggak tau masalah dia apa. Yang jelas disana gue berusaha teriak tapi enggak bisa. Berusaha ngelepasin diri tapi cengkeraman tangan dia semakin kuat. Saat itu gue pasrah sama Tuhan. Gue...", tangisnya mulai pecah, dadanya mulai sesak, Nisa tak kuasa menahan rasa trauma dan sakit dihatinya.

Anelis berusaha menenangkan dan meminta untuk dia berhenti bercerita. David tak tega melihat sang adik menangis seperti ini. Selama ini dia tahu kalau Nisa adalah anak periang, kuat, dan tidak pernah menangis. Dia merasa bahwa dia bisa menjaga sang adik. Tapi ternyata dia salah, dia merasa gagal untuk menjaga sang adik. Risky mulai menampakkan raut muka merah padam. Dia menahan amarah sejak awal Nisa bercerita. Tidak tega rasanya melihat orang yang disayanginya disakiti oleh orang lain walaupun itu masalalu Nisa.

My Perfect GoalkeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang