part 13 : ditodongkan senjata?

44 1 0
                                    

Lelaki itu menarik tubuh Heaven, memeluknya dan segera membawanya menuju ke arah kamar milik Heaven. Gadis itu tampak tidak berdaya, bahkan tidak mungkin memberontak saat sedang pingsan seperti ini. Ia meletakan tubuh kecil itu di atas ranjang, bahkan sampai menyelimutinya.

Ia duduk di kursi dekat ranjang, menangkup wajah tampannya dan mulai menatap Heaven dengan lekat. "Maafkan aku," gumam lelaki itu dengan sendu. "Sekuat tenaga aku akan mencoba melindungimu, meski diriku ini sebenarnya adalah penyebab dirimu berada dalam bahaya."

Mimisan? Lelaki itu terpana, ia segera mengambil beberapa helai tisu dan membersihkan semua darah yang mengalir di hidung Heaven. Mungkin ini adalah efek samping yang di timbulkan dari obat penenang itu, karena obat itu benar-benar sangat keras. Tapi karena sebuah tujuan, lelaki itu mau mengambil resiko.

Untung saja Heaven sedang tidak sadarkan diri. Jika tidak, mungkin gadis itu sudah jatuh pingsan lagi saat melihat darah sebanyak ini. Aku tidak akan pernah memberikanmu obat itu lagi, janji lelaki itu dalam hati.

Untung saja, Dareen menghela nafas lega. Ia menatap Selembar foto milik Heaven yang kini sudah berada di tangannya lagi. Kemudian, ia menyimpan foto itu kembali di dalam dompetnya dan tersenyum, "seluruh isi dompetku ini sama sekali tidak berharga jika tidak ada ini di dalam sana," gumam lelaki itu. Ia menggenggam tangan Heaven dengan erat

***

"Aku akan pergi!" teriak Steve dari arah dapur, bahkan ia sampai berkacak pinggang. "Aku sudah menyiapkan makan siang, dan kau harus memakannya!" tidak ada jawaban, membuat Steve mendengus. Ia melepas celemeknya, meletakkannya dan mulai menunduk untuk memberi hormat pada celemek itu.

"Wahai celemek kebanggaanku. Maaf, aku harus mencampakkanmu dulu hari ini." ia kembali menegakkan tubuhnya dan mulai tersenyum kecut, "mungkin diriku ini benar-benar sudah hampir gila." ia menghela nafas panjang, dan teringat ucapan Edward saat terakhir mereka bertemu. Mencari pengganti Diana? Steve mendengus karena marah. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa mencari pengganti wanita yang sesempurna itu, hidupku benar-benar sudah tiada artinya lagi. Mengingatnya hanya membuat sakit, Steve segera menghempaskan pikirannya kuat-kuat.

Ia mengambil sebuah kaca berukuran kecil yang selalu ia simpan di kantong celananya, dan mulai memperbaiki tatanan rambutnya.

Ah sial, Steve mulai menggerutu kembali. Untung saja wajahku masih terlihat tampan.
Ia melangkah dan membuka pintu keluar, suara bel gerbang yang berbunyi hingga berkali-kali, menarik perhatiannya. Steve segera melangkah ke arah gerbang dengan waspada, dan mulai membuka pintu gerbang besar itu dengan sebuah pistol yang ada di tangannya. Tiba-tiba saja, orang yang berada di balik gerbang itu langsung mematung karena ketakutan dengan tindakannya.

"Siapa kau?" tanya Steve sambil menodongkan sebuah pistol ke arah Aby yang gemetaran.

"Aku.. Aku hanya ingin mengantar makanan." kedua mata Steve bergulir, mengikuti arah telunjuk Aby.

"Letakkan saja di sana. Dan kau, cepatlah pergi dari sini," ancam Steve yang membuat Aby semakin merasa takut.

"Ba-baik," dengan gugup Aby menurunkan sekardus makanan itu dan langsung memutar motornya. Namun, sebelum ia bisa memajukan kendaraannya, lagi-lagi Steve menodongkan pistol itu kembali ke arah kepalanya sambil berkata.. "Jika kau sampai memberitahukan hal ini pada siapapun, maka gadis yang ada di dalam rumah ini akan ku bunuh," ancam Steve lagi yang membuat Aby mengangguk-anggukan kepalanya dengan kaku hingga berkali-kali.
Ia segera memacukan sepeda motornya sedikit kencang, berharap lelaki itu tidak mengikutinya.

Ini aneh, kaki dan tangan Aby masih gemetaran. Ayahnya bilang jika Heaven hanya seorang diri saja tinggal di rumah itu, tapi kenapa ada seorang lelaki di sana sambil menodongkan pistol ke arahnya? Firasat Aby mulai tidak nyaman, ingin sekali ia melaporkan hal ini kepada sang ayah, namun ia tidak ingin Heaven mati.

***

"Ah sial," Steve segera berkaca lagi dan memperbaiki tatanan rambutnya untuk yang kesekian kalinya. "Ya tuhan! Apa kau sedang mempermainkanku? Bahkan saat sudah melangkahkan kaki saja aku masih harus membawa bahan makanan ini ke dalam dapur dan merapikannya di dalam kulkas."

Steve menghela nafas panjang, dan menatap kardus itu dengan perasaan jengkel. Jika sedang berada di negaranya, tidak akan ada satupun dari pengawalnya yang akan membiarkan dirinya yang tampan ini kesusahan sedikit pun, bahkan debu sekalipun engga sekali ia sentuh.

Lagi-lagi Steve menghela nafas panjang. Mau bagaimana lagi, ini semua atas keinginan Dareen, lelaki itu tidak membawa pengawalnya sama sekali meskipun sebenarnya ia bisa membayar orang sampai puluhan untuk menjaga dan melakukan pekerjaan yang rumit seperti ini. Karena keberadaan mereka yang sedang berada di negara orang, membawa pengawal yang banyak justru akan sangat merepotkan.

Dareen, sahabatnya itu tidak ingin terlihat mencolok. Dan pada akhirnya, Steve dan Dareen harus melakukan apapun dengan mandiri.

Steve mengambil kardus besar itu, membawanya ke arah dapur dan mulai membukanya. Banyak sekali makanan instan yang hanya perlu di hangatkan di microwipe, ia mulai meringis karena betapa kurang sehatnya makanan-makanan seperti ini. Sepertinya, lelaki yang mengantarkan makanan tadi masih ada hubungan keluarga dengan Heaven.

Hingga sebuah amplop berwarna coklat yang ada di dalam kardus itu menarik perhatian Steve, dengan tidak sabar ia membuka dan membacanya.

"Ada apa Steve?" tanya Dareen setelah menuruni tangga, dan menemukan jika sahabatnya itu tengah diam terpaku di dekat meja makan.

"Sepertinya.. Heaven nanti bukan lagi menjadi tanggung jawabmu kawan," Dareen mengerutkan alis tajamnya karena bingung, melangkah menghampiri dan merebut Selembar kertas yang sedang Steve pegang sekarang.

Ia membaca isi kertas yang bertuliskan tangan itu dengan ekspresi tidak suka, dan memberikan kertas itu lagi kepada Steve.

"Dasar lelaki tua," umpat Dareen dengan perasaan kesal. "Memangnya dia pikir, dengan menikahkan Heaven dengan orang yang sangat kaya akan membuat gadis itu bebas dan selamat hah!"

"Tapi menurutku, itu ide yang sangat bagus," celotehan Steve yang usil benar-benar membuat Dareen semakin merasa marah.

Namun pada akhirnya, Lelaki itu langsung menghela nafas panjang, mencoba untuk meredakan emosinya. "Tidak akan semudah itu menikahkan Heaven, kau tahu. Tapi.." sorot mata lelaki itu tiba-tiba berubah, menjadi sedikit kejam. "aku tidak akan membiarkan Heaven menikah dengan siapapun meski tujuannya adalah untuk menyelamatkannya."

"Jadi.." Steve mulai bersedekap dada. "apa yang akan kau lakukan dengan surat itu? Apa kau akan membuangnya?"

"Tentu saja tidak," Lelaki itu tersenyum sedikit misterius. "Aku akan biarkan Heaven membacanya."

__________😊_____________

Dangerous Wedding With Billionaire (Sudah Tersedia Di Novelme)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang