...
"Cara?"
"Apa? Aku sedang menggunakan tampon.."
"Kau berdarah?"
Aku tersenyum jahil padanya. Membuat dia memutar bola mata seraya menghela nafas panjang. "Oh Ya Tuhan, kau membuat jantungku hampir terlepas karna penolakan mu,"
Aku tersenyum. "Apa? Kau fikir apa?"
"Aku kira kau menolak ku," Dia terlihat sedikit kesal dan juga lega. Membuatku terkikik.
"Maafkan aku,"
Dia menggeleng seraya mengajakku untuk bangkit. "Jangan meminta maaf." Katanya seraya merengkuh tubuhku. Membuat ku merasakan tonjolan besarnya.
"Kau turn on,"
"Abaikan saja." Balasnya membuatku terkekeh, dia tersipu, menyembunyikan senyumnya di balik bantal.
Tuhan, semoga ini benar-benar bukan mimpi.
"Aku lapar, sebaiknya sekarang kita turun dan makan. Bangunlah, bantu suami mu ini berjalan!" Ujarnya sebelum kami keluar.
Kami bertiga berkumpul dan menikmati makan malam yang telah Nancy dan Jill hidangkan. Dan di sana pula pertama kalinya aku melihat kedua kakak beradik itu sangat akrab. Saling berbagi makanan dan juga minuman. Hal yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Membuatku kembali berfikir, benarkah semua ini nyata?
"Sayang?"
"Hm?" Suara Ethan membangunkan lamunan ku.
"Kau melamun?" Tanyanya yang kemudian menyusul duduk di samping ku, merangkul dan memindahkan ku ke pangkuannya. Senyuman khasnya yang meneduhkan masih terlihat sama. Aku tidak pernah menyangka sebelumnya jika aku akan bisa menatapnya lagi dari dekat seperti ini. Rasa bahagia yang aku rasakan saat ini bahkan sampai membuat ku ingin menangis. Mataku bahkan sudah terasa panas.
Dia menggelengkan kepalanya padaku ketika air mataku meleleh. Ibu jarinya dengan lembut menghapus lelehan air mata ku. "Jangan menangis!" Katanya. Dia mengecup bibirku beberapa kali sebelum kemudian membawaku bersandar di dada bidangnya.
"Aku benar-benar merindukanmu!"
"Ya, sayang. Aku juga sangat merindukanmu! Jangan menangis, ku mohon. Aku datang bukan untuk membuat mu terus menangis seperti ini, bukan seperti itu yang ku inginkan. Tapi aku datang untuk menyempurnakan kembali apa yang sempat ku hancurkan. Membahagiakan mu juga anak kita."
Aku bangkit untuk menatapnya. "Berjanjilah untuk tidak pernah lagi meninggalkan kami,"
"Selama aku masih bernafas. Aku tidak akan lagi meninggalkan kalian. Itu janji ku.." Katanya dan sekali lagi kami saling berciuman untuk beberapa detik.
"Bisakah kalian berhenti berciuman?"
Suara Brian membuat kami menoleh ke arahnya. Dia berdiri dengan sebuah bantal sofa di tangannya. Aku tersenyum sebelum mengistirahatkan lagi kepalaku pada dada bidang Ethan.
"Kau iri?"
"Iri? Aku?"
"Hanya kau satu-satunya orang yang protes di sini. Bilang saja kau iri,"
"Kenapa aku harus sampai iri hanya karna melihat kalian berciuman? Tidak masuk akal."
"Ya, kau iri karna sampai sekarang kau belum juga menemukan gadis yang serius dengan mu!"
"Aku tidak iri! Aku hanya ingin menonton tv dengan nyaman."
"Sudah, cukup. Jangan berdebat lagi.." Suaraku sedikit melengking, berusaha menengahi keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Choices!! - END
Romance⚠ ⚠ +21 Warning!!!! Bijaklah dalam membaca!!! Cerita ini berisi konten dewasa +21!! - Caramell Nathalie Handsend - Ethan Dickson - Grayson Kenneth