Bab 15

847 169 14
                                    

Tangan Melodi yang bertautan di bawah meja terasa lembab.

"Bukannya semua orang meminta maaf untuk tujuan itu?" Melodi bertanya masih tetap memandang ke bawah.

"Kamu serius lagi minta maaf?"

"Apa masalahnya, Satria?" Melodi mendongak, alisnya seketika bertaut kala melihat pria itu tersenyum. Anehnya Satria terlihat tulus.

"Benar, aku di sini, bukan di bawah sana."

Satria akhirnya memutari meja, lalu mendekat dan berjongkok di samping kursinya.

"Kamu mau apa?"

Kedua tangan Melodi berpindah dalam sekejap. Satria menggeser kursi dengan satu tangan, membuat Melodi duduk menghadap ke arahnya dengan satu tangan yang Satria genggam. Satria lalu mengambil tangannya yang lain, lalu mengarahkannya ke pipinya.

Ini bukan yang Melodi inginkan.

"Aku kesal karena udah salah paham... waktu kamu bilang mau mengulang kembali tadi."

Melodi menelan salivanya susah payah. "Maksud aku..."

"Aku tahu." Satria memamerkan senyumnya yang menggoda lagi.

"Kalau aku yang meminta... untuk kita memulai kembali dari awal, apa kamu mau? Apa... selain kesal, kamu udah nggak menyisakan perasaan apa-apa buat aku?"

"Kamu serius masih nggak tertarik sama aku? Nggak ada niat buat..."

"Enggak."

Melodi berhenti berjalan saat itu, tapi tidak sampai menoleh. Keduanya berdiri di jalan sempit di belakang sekolah, berjalan pulang bersama seperti beberapa hari terakhir.

"Nggak ada rasa sama sekali?" Satria berjalan ke depan hingga mau tidak mau Melodi menatapnya. Gadis itu mundur karena jarak mereka terlalu dekat.

"Satria, minggir."

"Nggak akan, sampai kamu jawab jujur."

"Oke. Ada."

"Apa?" Satria bertanya hampir terlalu cepat. Rautnya perpaduan dari rasa ingin tahu dan senang.

"Kesal. Bisa kamu suka sama cewek lain aja? Aku nggak ada waktu buat yang kaya gitu." Melodi menjawab ketus seperti biasa. Dia tidak tahu apa yang membuat cowok itu bertahan lebih lama dari cowok-cowok lain. Yang lain biasanya akan mundur dua atau tiga hari setelah Melodi menolak dengan tegas.

Satria berbeda. Dia benar-benar batu.

Atau baja akan cocok dengan namanya.

Telepon di meja Satria berdering membuatnya beranjak dengan wajah enggan yang kentara. Wajahnya yang kemudian berubah jadi sangat murung begitu telepon itu diangkat membuat Melodi penasaran. Satria menutupnya kembali setelah hanya mengatakan 'iya' -yang kemudian Melodi tahu, penelepon itu berasal dari lantai satu.

"Kenapa?" Melodi akhirnya bertanya karena dia tidak bilang apa pun.

"Aku nggak mau kamu salah paham soal aku dan Tiara. Kamu yang paling tahu kalau aku nggak menyukai perjodohan itu, Mel."

Melodi malah semakin penasaran dengan siapa yang menelepon pria itu barusan.

Tante Melati kah?

Calon tunangannya?

"Pernikahan kalian nggak ada hubungannya sama aku, Satria. Aku bilang mau berdamai, tapi itu bukan berarti hubungan kita balik lagi kaya dulu."

Entah apa itu disebut berani atau malah sebaliknya. Perasaannya mengatakan bahwa ia seharusnya tidak berkata begitu. Melodi lalu mulai melanjutkan kegiatannya kembali, membuka kotak bekalnya sendiri.

"Aku pikir, kamu harus ke bawah. Mungkin Tante Melati nggak mau naik ke sini karena belum sepenuhnya bisa menerima aku. Aku mau makan cemilan sebelum turun buat brifing nanti."

***

Satria tahu ide itu konyol, dan bisa lebih merusak hubungan mereka. Tapi dia tetap ingin mencoba.

Seperti yang dia bilang, dia sama sekali tidak tertarik dengan perjodohan itu. Satria masih berpikir itu hal salah untuk menikah ketika pikiran dan perasaannya tertuju pada orang lain.

Bayangan Melodi yang tersenyum dengan pria lain kemarin terus mengusiknya. Cowok yang kemarin juga repot-repot menjemput Melodi ke Kompas tampak menatap Melodi penuh cinta. Yang paling mengesalkan, Melodi sangat jarang tersenyum selebar itu pada pria.

Bahkan pada dirinya saat mereka masih pacaran sekalipun.

Melodinya kelihatan bahagia.

"Satria, nungguin apa?"

Satria menoleh ke arah sumber suara. Dia tersenyum lebar, ucapan hatinya telah menang.

"Kamu salah. Mama bilang kamu juga harus turun. Yang lain juga udah kumpul di bawah. Mama mau bagiin undangan."

"Undangan pernikahan?" Melodi hampir memekik walau sebelumnya ia tampak tidak peduli. "Tante Melati ngeri juga ya," gumamnya kemudian.

"Aku sendiri nggak tahu. Aneh, kan? Kaya Mama yang mau nikah tau nggak." Satria tertawa ringan sementara Melodi merasa turut berduka untuknya.

"Yaudah, mau turun bareng nggak?" tanya Satria membuyarkan lamunannya.

"Enggak, aku cari aman aja. Kamu turun duluan, bilangin aku masih di toilet atau apa."

"Mama nggak akan ngapa-ngapain kamu, Mel."

"Kamu nggak tahu aja gimana rasanya. Udah sana turun."

Satria menghela napas dan mengalah. Dia tidak memedulikan rambutnya yang masih setengah basah, handuk yang melingkari lehernya ditaruh asal sebelum dia keluar.

"Jangan lama-lama," ucap Satria sebelum benar-benar menghilang dari pandangan.

Melodi menarik napas berkali-kali lalu ikut turun tiga menit kemudian.

***

"Miss Melodi, kenapa?"

Melodi terkejut karena saat ia turun tidak ada Satria maupun ibunya di sana. Miss yang sudah datang juga hanya ada Miss Dita. Keningnya berkerut dalam selagi ia menuruskan langkahnya menuruni tangga.

"Pak Satria sama Bu Melati ke mana?" tanyanya bingung.

"Bu Melati? Emang ada Bu Melati datang ya? Aku dari tadi di sini cuma lihat Pak Satria aja."

Cowok itu bohong? Kenapa dia iseng banget gitu? Melodi menahan diri untuk tidak menggerutu.

"Tadi aku minta Pak Satria turun karena ada yang aneh di sistem komputernya. Aku mau ngeprint struk bayaran anak-anak."

"Ooh, okee. Ada yang bisa aku bantu nggak, Miss Dita?"

"Ada," Miss Dita menjawab selagi tangannya sibuk bekerja. Jeda sebentar, Melodi pun semakin mendekat ke arahnya.

"Pak Satria barusan bilang mau ke minimarket, minta tolong kamu susulin karena mau belanja banyak katanya. Minimarketnya yang di sebelah kanan, tau kan?"

"Maksudnya, dia minta tolong dibawain apa gimana?"

Miss Dita menyengir. "Tolong ya. Aku masih banyak kerjaan pagi ini soalnya. Si Bapak kalau abis hari gajian emang suka beli banyak cemilan gitu. Stok buat kita-kita kalau lagi nggak sibuk."

Melodi akan memuji kedermawanannya itu kalau saja kondisinya lain. Satria jelas lebih sibuk dibanding Miss Dita dan seluruh karyawannya. Fakta bahwa dia sudah berbohong sekali hari ini membuatnya semakin curiga. Apa yang dia rencanakan?

"Mel, nungguin apa? Cepetan, kena semprot lho lama-lama...."

"Serius harus banget disusulin? Emang si Bos kalau belanja sebanyak apa?"

"Lihat aja sendiri, nanti juga tau."

Melodi nggak punya pilihan selain semakin masuk ke dalam permainannya, kan?

***

Bersambung ya

Sori kalau pendek banget. Makanya aku up sekarang jadi hari ini double up *Sa ae ga tuh?

Ditunggu part berikutnya yaa 

Melody in Pandemic (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang