Bab 21

709 139 11
                                    

Tengah malam, saat Satria sudah sampai di rumah, keadaan rumah sudah sangat sepi. Sayup-sayup terdengar suara TV dari kamar orang tuanya saat ia tiba di lantai dua. Satria mendekat dan memutuskan untuk masuk setelah mengetuk pelan. Sudah hampir setengah dua belas sekarang. Ternyata mamanya masih belum tidur.

"Kamu akhirnya inget jalan pulang," ucap sang mama. Terdengar helaan napas sebelum wanita paruh baya itu berganti posisi jadi tertidur memunggunginya.

"Assalamualaikum, Ma."

Diam di ujung sana.

Satria mendekat ke ranjang. Ia mematikan TV lebih dulu sebelum berjongkok di depan mamanya. Diperhatikannya gurat kekesalan dan kesedihan di wajah ayu itu walau kedua matanya tampak terpejam. Tangan Satria terulur, dan ia begitu tersentak saat tangannya ditepis bahkan sebelum mendarat di pundak mamanya yang berbalut piyama.

"Maaf.... Satria tidur di Kompas lagi aja kalau Mama nggak mau lihat Satria." Pria itu berkata dengan pelan.

Yang terdengar hanyalah bunyi deru napas. Ditunggunya sebentar. Dan saat mamanya tetap tidak bersuara, ia pun bangkit. Namun, baru sampai dia selangkah berjalan, tangannya diraih, dicekal oleh tangan sang mama dengan cukup kuat.

"Kamu anak Mama satu-satunya, Satria." Isak tangis mamanya yang tertahan mau tak mau membuatnya diliputi rasa bersalah.

Apa perbuatannya sudah kelewat batas?

"Cuma kamu yang Mama punya, kenapa kamu nggak mau menurut dan malah ngejauhin Mama kayak gini? Kamu udah nggak peduli dan udah nggak sayang lagi sama Mama...."

Satria terdiam, terlihat berusaha mencari kata-kata yang tepat. Mamanya tampak sakit dan pucat, dan ia tidak yakin apa pun yang diucapkannya akan membuat sang ibu merasa lebih baik.

"Maafin Satria, Ma...." Satria duduk di pinggir ranjang lalu mengelus lembut punggung tangan yang terasa hangat itu.

"Terus apa? Kamu tetap nggak akan peduli kalaupun Mama malu di hadapan keluarga Tiara kan? Kamu harusnya tahu kalau setiap ibu nggak mungkin ingin anaknya nggak bahagia. Apa susahnya untuk pulang, untuk temui pilihan Mama sesekali? Kamu bahkan nggak mau mencoba. Jadi buat apa minta maaf?"

Lagi, dia kehilangan kata-katanya dan hanya bisa diam.

"Kamu pasti capek." Melati akhirnya mengusap kasar wajahnya, lalu kembali menarik selimut. "Lebih baik istirahat di rumah, jangan keluyuran. Mama juga udah mengantuk."

Suaranya kini terdengar lebih dingin dari sebelumnya. Satria memejamkan matanya erat. Tangannya lalu bergerak menarikkan selimut lebih tinggi lagi untuk sang mama begitu wanita itu memejamkan matanya.

"Good night, Ma," bisik Satria lembut sebelum pergi ke kamarnya sendiri.

***

Ting!

Satu notifikasi muncul dari ponselnya ketika Satria baru saja berbaring dengan nyaman. Mandi air dingin berhasil membuat tubuhnya lebih rileks dan ia hanya butuh tidur sekarang.

Sambil mendesah, diambilnya ponsel itu dengan satu tangan, berusaha sebaik mungkin agar tidak perlu membuang banyak tenaga dan tetap stay di kasur.

Benar, se-mager itu lah dia sekarang.

Satu pesan belum terbaca.

Melodi: Udah sampai di rumah?

Satria melupakan rasa kantuknya begitu saja. Ditekannya segera ikon telepon berwarna hijau pada layar selagi ia mengubah posisinya menjadi duduk. Satu dua detik menunggu respon, sayangnya, usahanya berakhir dengan lagi-lagi ditolak oleh gadis itu.

Melody in Pandemic (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang