8. Hear me

1.5K 185 17
                                    

Naruto menatap sendu wajah Hinata yang tengah terlelap di sampingnya, setelah mengobati luka di sekujur tubuh gadis itu Naruto memasakan makan lalu memaksa gadis itu tidur. Setidaknya ia butuh istirahat untuk menenangkan tubuh dan pikirannya yang letih. Naruto menyingkirkan helaian rambut Hinata yang menutupi wajahnya, hatinya tercubit ngilu melihat lebam biru yang masih tersisa di sudut bibirnya. Pasti sangat menyakitkan namun Hinata masih bisa tersenyum dan berkata baik-baik saja di hadapannya.

"Kenapa kau tidak memakiku? Atau memukulku? Atau mungkin membunuhku. Kau bisa melakukannya dan aku tidak akan melawannya Hinata. Tapi kenapa kau hanya diam?" gumam pemuda itu, matanya menyendu sambil mengusap-usap luka Hinata. "Aku yang melukaimu, tapi kenapa kau tidak membenciku?" perlahan air matanya jatuh, pemuda itu menyesali hal yang bahkan tidak di ingatnya.

"Jangan memaafkan aku, aku tidak akan pantas untuk itu." Naruto menunduk, dia menangis namun sebisa mungkin ia menahannya agar tidak mengganggu tidur Hinata yang begitu lelap. "Aku akan mengantarmu pulang besok, aku tidak bisa membiarkanmu di sini lebih lama aku takut akan melukaimu lagi." gumam Naruto.

Ia menyelimuti Hinata, ia menunduk sekilas di tatapnua wajah pucat itu dengan senyum tulus. Senyum yang telah lama tidak ia tampakkan. Ia merasa hatinya menghangat saat melihat wajah damai yang tengah terlelap itu, rasa ingin memiliki dan melindungi membumbung tinggi namun sekali lagi Naruto menyadari. Ia adalah bahaya bagi gadis itu, dia tidak boleh memaksakan kehendaknya.

Naruto mengecup kening Hinata dengan lembut mencoba menyalurkan perasaan hangat yang selama ini tidak pernah ia rasakan lagi, "Tidur yang nyenyak," gumamnya lalu beranjak meninggalkan Hinata.

***

Naruto menuju kantornya, entah sudah berapa hari ia absen yang jelas ada banyak pekerjaan yang belum ia selesaikan. Kaki jenjangnya melangkah menuju ruangan kerjanya, ia tersenyum tipis ketika para karyawannya menyapa.

Bunyi dentingan lift memberhentikannya di lantai atas tempat dia bekerja, ia memasuki ruangan itu dan melihat kalender yang terletak di mejanya. Sudah 5 hari, itu artinya Hinata telah berada di apartemennya sejak saat itu. Entah seberapa banyak pukulan atau makian yang ia lontarkan pada gadis itu, Naruto tidak mengingatnya.

"Naruto, kau datang?" seorang pemuda berambut panjang mencuat yang di kucir tinggi memasuki ruangan, ia membawa beberapa dokumen di tangannya.

"Hm." balas Naruto, pemuda itu mulai membaca lembaran-lembaran kertas di hadapannya mencoba mengusir perasaan gundah yang sedari tadi menguasai pikirannya.

"Apa terjadi sesuatu?" tanya pemuda itu lagi.

"Iya dan sepertinya kali ini sangat buruk, aku- argh aku sangat pusing." Naruto mengacak-acak rambutnya frustrasi, ia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi sambil menggerutu tak jelas. "Shika apa jadwalku hari ini?" tanyanya.

"Tak ada, aku sudah menyelesaikan semuanya kemarin hari ini tinggal kau mengecek dokumen ini." ujar Shikamaru.

Naruto mengangguk ia mengecek kertas-kertas itu. "Shika aku memperkosa wanita, tapi aku tidak mengingatnya apa yang harus aku lalukan?" gumam Naruto, matanya masih terfokus pada kertas-kertas itu.

Shikamaru mengerutkan kening, "Bagaimana bisa kau tau jika kau memperkosanya tapi kau sendiri tidak mengingatnya?" Benar, pertanyaan tersebut terasa rasional namun harusnya Shikamaru ingat kondisi Naruto.

"Aku terbangun dalam kondisi masih menyentuhnya hanya sekali lihat saja aku sudah bisa menebaknya," ujar Naruto.

"Itu kecelakaan Naruto penyakitmu itu memang sangat merepotkan, kenapa kau tidak berusaha untuk sembuh sih?!" kesal Shikamaru, ia mendudukan diri di kursi yang berhadapan dengan Naruto. "Apa dia gadis baik? Bagaimana kau bisa melakukan itu? Apa kau menculiknya, atau bertemu dengannya di bar?" lanjut Shikamaru.

"Aku tidak tau dia berada di apartemenku sejak 5 hari yang lalu entah apa sebabnya, dia bilang Ibunya yang membawanya kesana." Shikamaru manggut-manggut mendengar penuturan Naruto. Naruto menghela nafas pelan kemudian melanjutkan ceritanya, "Dia gadis baik dan sialnya aku menyukainya." imbuh Naruto.

"Aneh, saat aku sadar dia bahkan tidak memakiku. Dia hanya diam dan tidak berniat memukul atau bahkan membunuhku, padahal jika dia melakukan itu aku tidak akan melawan.." Naruto memutar kursinya menghadap jendela kaca besar yang langsung menunjukan pemandangan langit yang indah siang itu. "Dia masih tersenyum saat aku benar-benar tidak tau apa yang harus ku lakukan," gumam Naruto lagi.

Shikamaru hanya diam, dia mendengarkan semua keluh kesah Naruto. Dia tau pemuda itu tengah gundah dan butuh seseorang untuk mengungkapkan isi hatinya. "Apa dia masih suci sebelum kau memperkosanya?" pertanyaan Shikamaru itu sukses membuat tubuh Naruto menegang, ia mengingat sebuah noda darah yang ada di seprai kamarin. Noda darah yang Naruto yakin berasal dari selaput dara gadis itu. Naruto mengangguk lesu meng-iyakan pertanyaan Shikamaru.

"Kalau begitu bertanggung jawablah, jika dia gadis baik pasti dia sedang terpuruk sekarang karena bagi beberapa wanita keperawanan itu hal yang sangat penting." Shikamaru beranjak dari tempatnya. Membiarkan Naruto sendiri untuk merenungkan pilihannya.

Ia tau itu sulit karena penyakit itu benar-benar membelenggunya.

Naruto terdiam, matanya menerawang jauh ke langit dengan hati gelisah. Apakah dia harus melakukan itu? Memang benar ia menyukai gadis itu tapi bagaimana jika dia akan melukainya lagi? Naruto terlalu berbahaya untuk gadis itu.

***

Hinata membuka matanya perlahan tubuhnya terasa remuk bahkan untuk duduk saja rasanya sangat sakit. Hinata menatap ke sekelilingnya kemudian matanya terhenti di meja sebelah tempat tidur di mana terdapat secarik kertas di sana, Hinata meraihnya lalu membaca tulisan itu.

Aku pergi ke kantor sebentar ada beberapa hal yang harus ku urus, tetaplah di sana hingga aku kembali aku takan lama.

Maaf, aku benar-benar menyesal.

Naruto Uzumaki.

Hinata tersenyum tipis, di sebelah kertas itu ada beberapa helai roti dan juga minum, Naruto menyiapkan itu untuk Hinata. Jika itu gadis normal, Hinata yakin tidak akan sudi untuk memakannya namun Hinata berbeda.

Entahlah, nalurinya memaksanya untuk tetap tersenyum dan memaafkan perlakukan pemuda itu.

Ketimbang menyesalinya Hinata lebih memilih untuk mensyukurinya, lagi pula sekarang ia bisa apa? Dia tidak lebih dari gadis tak di inginkan.

Pulang? Ia harus kemana sedangkan Ibunya saja tidak mengharapkan keberadaannya. Harapannya telah hancur sejak memasuki apartemen ini, daripada menangisi semuanya bukankah lebih baik menjalani hidupnya?

Dia terluka luar dalam dan dia percaya kalaupun dia mati di sini, dia takan mati sia-sia. Ibunya akan tetap bahagia dan Hinata akan jadi anak yang berbakti hingga ahir hayatnya.









Tbc gan!

Jangan lupa vote dan komen yak!

Next tunggu vote 60 yak!

Ayo kerja samanya gaes biar aku gak ngambek! Komen yang banyak biar aku seneng.

Papay cemua😘😘

Because You | Namikaze Naruto✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang