18. Jatuh bangun

2K 177 73
                                    

Naruto mengakhiri ceritanya dengan tatapan sendu, memori tentang kecelakaan yang menimpanya saat berusia tujuh tahun itu masih terekam jelas di kepalanya. Memori kelam yang membuat dia kehilangan Ibunya.

Hinata menatap Naruto dengan matanya yang sudah basah, setelah dia berbicara tentang siapa dirinya Naruto juga menceritakan bagaimana kisah tragis hidupnya sebelum berakhir seperti ini. Dan siapa sangka, hidup pemuda itu jauh lebih miris ketimbang dirinya yang di tinggal lari Ayahnya sejak bayi. Ah tidak tidak ada yang lebih baik, mereka sama-sama terluka.

“Ibu meninggal di kecelakaan itu, dan aku koma selama beberapa bulan” gumamnya pelan, terselip luka dan juga rindu di setiap kalimatnya. Hinata menangis sesak, bukan menangis atas dirinya malainkan menangisi nasip pemuda itu yang menurutnya sangat memilukan. Pemuda yang malang. “Ibu meninggal karena ku,” lanjutnya dengan kepala tertunduk lesu. “Ibu tidak ingin menjagaku lagi, dia marah denganku.” Hinata menggeleng lantas menangkup pipi Naruto dengan tangan mungilnya.

“Hey kau ini bicara apa? Ibumu pasti bangga padamu, jangan menyalahkan  dirimu sendiri Ibumu pasti sedih jika melihatmu seperti ini.” Hinata menghapus jejak-jejak air mata Naruto di sudut matanya. Kisah masa lalu Naruto benar-benar menguras emosi.

“Tapi Ayah bilang aku penyebabnya, Ayah juga membenciku.” gumam Naruto. Hinata menggeleng lantas memeluk tubuh bongsor Naruto erat. Naruto membalas dekapan hangat itu dengan menyusupkan wajahnya di ceruk leher Hinata dan tangan melingkar di pinggan ramping gadis  itu.

“Jangan bersedih, kau tidak sendirian Naruto aku di sini. Aku bangga dan aku mencintaimu.” gumam Hinata di sela isakannya. Dia seperti ikut meraskan sakit yang di rasakan pemuda itu.  Naruto tak menjawab, hanya pelukannya yang mengerat. Dia mencintai gadis itu, sangat. Sampai rasanya dia tak sanggup jika harus berpisah dengan Hinata barang sejenak. Gadis itu sangat berarti untuknya.

Hingga beberapa menit berlalu Naruto masih memeluk Hinata, tiba-tiba suara bel berbunyi menginterupsi kegiatan dua sejoli itu. Naruto melepaskan pelukannya dengan tidak rela, Hinata terkekeh pelan sambil mengusap rambut Naruto lembut. “Biar aku buka pintunya sebentar,” ujarnya sambil berdiri, dia menoleh dan tersenyum gemas ketika melihat wajah Naruto yang mencebik lucu. Pemuda itu merajuk namun mimik wajahnya sungguh sangat menggemaskan, “Sebentar saja sayang,” gumamnya lalu mengecup bibir Naruto yang sedang mengkrucut itu sekilas. Naruto berjengit kaget dengan wajahnya yang setengah memerah.

Hinata tertawa kencang lantas meninggalkan Naruto yang membeku di tempatnya, “HINATA!!” Naruto di cium Hinata? Demi apa rasanya jiwa pemuda itu berulang kali terbang dan jatuh lagi lalu terbang lagi. Hatinya bersorak gembira seolah ada jutaan kupu-kupu yang terbang menggelitik perutnya hingga memancing senyum lebar di bibirnya. Hatinya menghangat karena gadis itu.

Hinata membuka pintu dengan senyum manis masih bertahan di bibirnya, dia mengerutkan kening melihat seorang pria paruh baya yang berdiri menjulang di depan pintu. Pria itu sangat mirip dengan Naruto. Apakah dia Ayahnya?

“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Hinata gugup. Jujur saja dia tidak nyaman dengan tatapan pria itu. Matanya memindai setiap inchi lekuk tubuh Hinata yang kebetulan hanya di balut sebuah kaus milik Naruto yang ukurannya kebesaran hingga membuat bahunya sedikit terlihat lalu celana pendek. “Permisi?” tanya Hinata sekali lagi namun pria baya itu malah tersenyum misterius.

“Cantik,” gumamnya pelan. Hinata meraskan tengkuknya meremang, tatapan itu sungguh membuat hatinya tak nyaman. Tiba-tiba sebuah tangan kekar menariknya cukup kasar lalu menyembunyikan Hinata di balik punggungnya. Itu Naruto, pemuda itu mengcengram erat tangan Hinata dari balik punggungnya.

“Apa yang kau lakukan di sini?!” pertanyaan bernada tajam itu melontar begitu saja dari mulut Naruto, Namikaze Naruto lebih tepatnya.
“Seperti ini kah caramu menyambut Ayahmu yang datang bertamu? Menyedihkan sekali.” ujarnya dengan suara menyebalkan. Sungguh, Naruto ingin mematahan leher pria baya itu sekarang juga.

“Brisik, pergi dari sini jika kau hanya ingin mengganggu!” bentaknya lagi. Hinata tidak tau kenapa, yang jelas Naruto terlihat begitu membenci Ayahnya sendiri.

“Cih, anak tidak tau di untung. Begini caramu memperlakukan orang tua?!” pria baya itu berkata dengan nadanya yang terkesan tajam dan dingin. Jujur saja Hinata meraskan jantungnya ikut berpacu kencang, aura pria baya itu terlalu tajam dan mengintimidasi. Jika kalian kira aura Naruto sudah sangat menakutkan maka aura pria baya yang merupakan Ayah Naruto dua kali lebih mengerikan lagi. Dia sangat dominan.

“PERGI KU BILANG!!” tekan Naruto, dia selalu terbawa emosi ketika melihat Ayahnya. Dia membenci dirinya sendiri yang tak bisa melawan pria itu.

“Aku hanya melakukan kewajibanku sebagai Ayah, melihat keadaan putraku tersayang.” ujarnya lagi. Mulut berbisa itu memiliki dua makna ganda di dalam satu bait kalimatnya.

“Aku tidak butuh, pergilah.” Naruto harus mengusir Ayahnya. Dia tak mau pria rakus itu melihat gadisnya, tidak boleh. Hinata hanya miliknya.

“Baiklah aku pergi, sebelumnya untuk kau gadis cantik,” Hinata menegang di tempatnya saat mendengar Minato memanggil dirinya, “Jika  Naruto terlalu kasar dengamu kau bisa menemuiku kapan saja, aku bisa bermain lembut dengan mu.” cengkraman tangan Naruto menguat hingga tanpa sadar dia melukai Hinata. Gadis itu merigis, merasakan lengan kurusnya yang perih terkena kuku tajam Naruto.

“KELUAR!” tekan Naruto lagi. Minato keluar sesuai perintah Naruto namun sebelum itu dia tersenyum sinis pada anaknya.

“Kau memang bertambah tua, tapi otak dan mentalmu sama. Lemah!” ujarnya lalu pergi begitu saja meninggalkan Naruto yang menatapnya tajam.

Matanya berkilat emosi, jiwanya meletup-letup penuh kemarahan. Dia ingin membunuh seseorang sekarang. Pria itu berhasil membuat emosinya meluap.

“Naruto,” Naruto menoleh dan menatap Hinata tajam. Emosinya masih tak terkendali sekarang dan dia butuh pelampiasan. Naruto mencengram erat tangan Hinata hingga darah segar mengalir dari lengan putihnya. “Naruto, sakit.” rintih Hinata pelan. Matanya berkaca-kaca menahan perih yang kian menusuk legannya. ‘Kumohon jangan lagi,’ batin Hinata menjerit pilu.

Namun sepertinya nasip baik tak berpihak padanya hari ini. Pemuda itu kembali hilang kendali dan mulai menyakitinya lagi.


















Tbc gan!






















Masih gue pantau
















👿

Because You | Namikaze Naruto✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang