32. Fight

32 6 0
                                    

"Jun, kamu di tempat kerja? Ada yang aneh sama Calla. Dia bilang kamu dalam bahaya, tapi habis itu teleponnya mati," kata Raihan di dalam telepon.

Juna bergegas melepas apron dan menggantung benda itu di tempat biasa. "Han, dengarkan aku baik-baik. Cepat kembali ke sekolah. Calla sepertinya dijebak. Dia sempat menyebutkan gudang, tapi gak tahu gudang yang mana. Aku akan segera pergi juga."

"O-oke."

Juna menutup telepon, menyandang tas, dan keluar dari ruang ganti. Akan tetapi, dia berhenti saat Pak Lukman mengadangnya.

"Kamu mau ke mana lagi?" tanyanya.
"Saya harus segera pergi, Pak. Maaf. Saya izin lagi hari ini."

Pak Lukman membuang napas. "Jun, kamu pikir ini tempat apa? Kamu datang dan pergi seenaknya. Kalau begini, saya bisa cari pengganti kamu."
Juna menelan ludah. "Kalau begitu Bapak boleh mencari pengganti saya."

"Apa?"

"Saya benar-benar harus pergi. Teman saya dalam bahaya. Maaf."

Juna segera pergi dari kedai martabak. Alih-alih memesan secara online, dia lebih memilih lari ke panggkalan ojek yang tidak jauh dari sana. Lebih cepat daripada menunggu ojek jemputannya datang. Juna meminta agar tukang ojeknya ngebut. Kecemasannya sudah sampai ubun-ubun. Apalagi teringat Pak Hari ketika mendorong Calla. Pak Hari masih sempat memperlihatkan kondisi Calla yang tergeletak lemah di antara kursi-kursi rusak sebelum menutup panggilan videonya.
Setelah beberapa lama, Juna tiba di sekolah. Dia berlari setelah membayar dan mengembalikan helmnya, tetapi teriakan Mang Dadang mengalihkan perhatian.

"Den Juna!"

"Raihan mana?"

"Sudah manjat pagar. Ada apa, sih, Den?"

Juna berlari menghampiri Mang Dadang, tetapi bukan untuk menjawab. Dia menitipkan tasnya.

"Tunggu di sini, jangan ke mana-mana," kata Juna kemudian bergegas pergi.

Juna tidak bisa memanjat pagar gerbang karena di atasnya terhalang teralis yang dipakai rambatan tanaman thunbergia. Dia memilih tembok pagar samping dan memanjat dari sana.
Tembok itu ada celah kotak-kotak yang bisa dijadikan pijakan, tetapi di atasnya ditancapi beling panjang-panjang dan runcing sehingga Juna harus hati-hati. Tangannya yang hanya berkaus lengan pendek tergores beling saat mendarat di atas tembok untuk menjaga keseimbangan sebelum melompat turun. Meski begitu, dia tidak memedulikan lukanya dan berhasil mendarat di taman. Dia berlari ke halaman sekolah melewati tugu. Ponselnya berdering di saku celana. Raihan meneleponnya.

"Jun, kamu masih di jalan?"

"Aku di halaman. Baru sampai."

"Aku di gudang belakang sekolah. Cepat ke sini. Pintunya dikunci. Aku gak bisa dobrak sendirian."

"Oke."

Juna berlari cepat-cepat sambil memasukkan kembali ponselnya ke saku. Raihan sudah menunggunya di depan pintu gudang sambil mondar-mandir. Dia bahkan belum mengganti seragamnya. Sepertinya Raihan belum sampai rumah, atau tidak sempat ganti baju.

"Apa ini satu-satunya gudang?" tanya Juna sambil mengatur napasnya yang terengah.

"Entahlah. Aku cuma tahu yang ini. Kita coba aja dulu di sini."

Juna menggedor pintu dan memanggil nama Calla, tetapi tidak ada jawaban. Mungkin karena gadis itu pingsan.
Tanpa membuang waktu lagi, mereka mendobrak pintunya. Beberapa kali percobaan, pintu dengan dua daun itu masih belum mau terbuka. Juna sudah mencoba mencongkel kuncinya dengan paku bekas yang dia temukan. Masih belum berhasil juga.

"Tunggu dulu," kata Raihan sembari berjongkok memeriksa pintunya. "Yang sebelah sini sepertinya dikunci langsung ke lantai."

"Coba kita dobrak yang ini aja." Juna menunjuk daun pintu yang satunya lagi.

ANONYMOUS CODE [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang