{Completed} (Tahap Revisi)
"Ayah ingin kalian berdua menikah."
"APA? NIKAH?!! AKU GAK MAU MENIKAH SAMA DIA!!" teriak mereka berdua hampir bersamaan. Ayah mereka hanya geleng-geleng kepala melihat reaksi keduanya.
"Bagaimana pun juga Pah, Adel gak m...
“A-Apa kamu bi-bilang?” Adel kembali bertanya dengan gugupnya. Ia hanya ingin memastikan pendengaran nya tidak salah. Bukan, sebenarnya Adel malah berharap ia salah dengar.
Tidak mungkinkan Rian jatuh hati padanya? Padahal selama ini setiap mereka bertemu yang ada hanyalah pertengkaran saja. Benar, mungkin Rian berbohong.
Rian tidak benar-benar jatuh hati kepada Adel. Semua perkataannya hanya kebohongan saja. Cowok itu hanya ingin menjahili Adel.
“Kenapa? Apa perlu gue ulang?” Rian menatap lekat kedua mata Adel. Mampu membuat jantung cewek itu berdetak kencang.
Melihat Adel yang hanya diam terbeku membuat Rian akhirnya tidak bisa menahan tawanya lebih lama lagi. Ia tertawa lepas.
“Yahahaha harusnya lo liat muka lo!”
Adel jadi kebingungan dengan Rian yang tiba-tiba tertawa seperti itu.
“Tunggu, kamu tadi bohong?”
“Ya iyalah! Lo kayaknya berharap banget ya gue ngomong suka ke lo?”
Adel mencubit lengan kiri Rian geram. Perasaannya seperti dipermainkan oleh lelaki ini. Harusnya ia tahu cowok seperti apa Rian ini, tidak mungkin ia serius dengan ucapannya.
Ah, betapa bodohnya Adel tadi yang sempat berharap Rian serius dengan ucapannya. Tunggu dulu, mengapa ia malah berharap seperti itu?
“Jalan udah! Lampu hijau tuh!” kata Adel ketus.
“Cieee ngambek ya...”
“Ihhh cepet jalan gak?!”
“Iya-iya Nyonya,” Rian menginjak pedal gas mobilnya.
Tak lama Rian memberhentikan mobilnya di dekat sebuah supermarket karena Adel memintanya untuk menurunkannya di sana.
Tanpa diduga Adel keluar dari mobil dan membanting pintu mobil itu dengan kencang sehingga berbunyi. Ia langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih.
“Eh Balok Es! Yah... Beneran ngambek dianya,” kata Rian memandangi punggung Adel yang mulai menghilang.
***
“Loh Adel, kamu kenapa telat pulang?” tanya Diana melihat Adel yang melenggang begitu saja masuk ke dalam rumah.
“O-Oh tadi ada kelas tambahan Mah,” jawab Adel gugup. Dalam hati berharap semoga saja Mamanya tidak menyadari luka di pipinya.
“Oh, yaudah sekarang kamu ke atas, mandi trus siap-siap ya. Kita mau ketemu temen Papa.”
“Iya Mah,” Adel bernapas lega. Untung saja sang Mama tidak menyadarinya.
Adel kembali berjalan menaiki tangga. Dan tak disangka ia bertemu dengan Papanya yang hendak turun.
“Mau ke mana kamu?”
“Ke-Ke kamar Pah...”
“Itu pipi kamu kenapa? Kok merah gitu?” tanya sang Papa curiga.
“Kamu gak bohong kan, Adelia?” Papa semakin curiga dengan putrinya. Apalagi Adel menjawabnya dengan suara gugup seperti tertangkap basah berbohong.
“Eng-Enggak Pah!”
“Yaudah kamu mandi trus dandan yah. Oh ya rambutnya jangan dikepang sama kacamata kamu dilepas aja,” ucap Lucas.
“Tapi Pah—”
“Adelia...” Baiklah, jika sang Papa sudah memanggilnya seperti itu maka Adel tidak bisa membantah lagi. Dengan terpaksa ia harus menuruti permintaan Papanya itu.
2 Jam kemudian...
“Nah gini kamu kan kelihatan cantik,” puji Lucas melihat tampilan Adel yang begitu cantiknya. Dengan rambut disanggul, kemeja bermotif bunganya dan sedikit polesan make up, Adel terlihat sangat mempesona.
“Makasih Pah,” jawab Adel seadanya.
“Ayok kita ke sana, udah ditungguin soalnya,” ucap Diana.
***
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Adel tiba di sebuah restoran mewah dengan interior yang begitu cantik dan terkesan mewah. Selama ini ia jarang sekali ke restoran walaupun memang keluarganya kaya raya.
Keluarga Adel lebih senang menghabiskan makan malam di rumah saja ketimbang di restoran mewah seperti ini. Dan terlebih lagi mengapa tidak ada pengunjung yang datang?
“Lucas my bro!” seorang pria tiba-tiba menghampiri Lucas dan memeluknya. Pria itu kira-kira seumuran dengan Papa Adel itu.
Dan di belakang pria itu ada wanita yang juga berpelukan dengan Diana.
“Lama banget gak ketemu ya Na,” ucap wanita itu selepas melepaskan pelukannya.
“Iya, udah 10 tahun kayaknya.”
“Eh ini Adel ya? Kamu cantik banget sih,” puji wanita itu. Ia kemudian memeluk Adel dengan akrabnya.
“Hehe makasih Tante.”
“Eh ayo duduk yuk. Sambil cerita-cerita,” ajak pria berumur itu.
“Pasti Mas Ravid yang booking restorannya kan?” tebak Diana.
“Haha, bener. Makan malam ini kan penting banget buat kita,” jawab pria bernama Ravid itu.
“Penting?” tanya Adel dalam hati. Ini kan hanya makan malam mengapa Om Ravid mengatakannya penting? Mungkin saja penting karena ini pertemuan mereka setelah sekian lama bukan?
“Oh ya, anak kamu mana? Udah lama gak ketemu,” tanya Lucas.
“Dia ke toilet tadi. Bentar lagi ke sini kok,” jawab Emeli, istri Ravid.
Entah mengapa perasaan Adel seketika tidak enak. Terlebih lagi ketika mendengar jika sahabat orang tuanya ini memiliki anak yang kemungkinan besar seumuran dengannya.
“Mohon maaf Tante, anak Tante kelas berapa ya kalo boleh tau? Cowok atau cewek?” tanya Adel penasaran. Dan melihat sang Mama dan Tante Emeli yang cekikikan semakin membuat Adel merasa ada sesuatu yang janggal.
“Anak Tante cowok, dia udah kelas 12.”
“Tuhkan mencurigakan banget sih. Ini cuma makan malam doang kan? Apa perlu ya aku kabur?” batin Adel gelisah.
“Malam Om, Tante..”
Tunggu, suara ini terdengar begitu familiar di telinga Adel. Mungkin kah?