Waktu Untuk Berpikir
"Jika aku tidak bisa membuat diriku bahagia, setidaknya orang lain bisa bahagia dengan apa yang aku lakukan" Reyana
🍀
"Ya ampun Tom, harus berapa kali gue jelasin. Tadi mobil gue mogok." Sentak Jaya pada orang yang berbicara diseberang sana. Tidak perduli jika seorang wanita yang didalam lift bersamanya kaget mendengar itu.
"Pihak stadiun TV kecewa Vin." terdengar geraman dari seberang. " Semua orang berharap lo datang diacara talkshow itu. Sekerang para crew diteror fans lo di sosial media mereka karena dianggap menipu untuk menaikan rating, termasuk gue. Loe kebiasaan ya bikin gue susah."
Jaya mendengkus. Lalu, "Ya udah, gue minta maaf."
"Aaahh, udahlah Vin! capek gue, Plis, akhir-akhir ini lo sangat gak menghargai waktu. Lo mau, dianggap gak profesional dalam bekerja, ha! Artis papan atas yang menganggap enteng suatu pekerjaan begitu?!"
Telinga Jaya panas, lantas ia menjauhkan ponsel itu dari telinganya. "Berisik banget nih anak."
Berdecak, ia lantas memencel tombol merah pada ponselnya itu, mengakhiri panggilan secara sepihak. Kepalanya pusing, ia sangat malas berdebat saat ini. Seketika pintu lif terbuka, ia bergegas keluar melangkah cepat menuju apartemen miliknya.
Sudah pukul sebelas malam dan Jaya baru sampai setelah melalui kejadian panjang hari ini.
Memencet tombol passcode, lantas ia bergegas masuk kedalam apartemen mewah itu. Apartemen yang ia beli menggunakan uang dari hasil jerih payahnya selama bekerja di dunia entertainment.
Lelaki itu menghempas tubuhnya di dalam kamar dengan amarah. Hari ini sungguh melelahkan. Jaya merasakan sekujur tubuhnya terasa sangat sakit, ia ingat dirinya juga sempat dibanting dengan kasar oleh beberapa pengawal ayah dari Reyana.
Ringisan akan rasa sakit diwajah masih ia rasakan. Penasaran akan bentuk wajahnya saat ini Jaya beranjak dari ranjang, lalu duduk dan menganadap cermin. Parah, dia baru kali ini melihat wajahnya benar-benar rusak.
Lalu tiba-tiba ia ingat perkataan kakek-kakek itu tadi.
Menikah?
Dan- raut wajah ayah Reynand saat itu adalah sangat tidak dia mengerti. Karena sesungguhnya memang itu yang ayah inginkan, menikahkan Reyana dengannya.
****
Sementara itu di rumah, Reyana yang merasa tubuhnya sedikit membaik pun terbangun. Ia sadar apa yang terjadi. Gadis itu sedikit menyayangkan dirinya yang terlalu lemah.
Memang semenjak kejadian sekitar hampir dua tahun yang lalu, entah kenapa tubuhnya memang sangat gampang terkena serangan seperti ini.
Rasa trauma itu sangat sulit dihilangkan, bahkan walau dengan sekuat tenaga ia melupakan terkadang ingatan itu akan kembali datang disaat-saat tertentu.
Sayup-sayup, pada pintu kamarnya yang sedikit terbuka, Reyana dapat menangkap obrolan serius dari ruangan bawah. Gadis itu perlahan beranjak menuruni ranjang. Lantas berjalan untuk keluar kamar.
Dari atas ia dapat melihat semua keluarga tengah berbicara serius dibawah sana. Nampaknya dia tidak perlu menebak, samar-samar obrolan itu dapat dia dengar.
"Pemandangan tadi itu sudah nggak wajar. Aku melihat dengan sangat jelas bagaimana dia memeluk cucuku dengan tubuh telanjang." Dengkus nenek Adel yang duduk bersebelahan dengan mama Nayla yang tengah memegang kepalanya pusing.
Sementara itu sejak kepulangan Jaya tadi, Ayah Reynand tidak banyak bersuara. Laki-laki itu terdiam dengan sekelebat pikiran dikepala.
"Dia itu laki-laki normal Reynand, mana kita tahu apa yang sebenarnya ia lakukan pada Reyana. Anak kamu sedang dalam keadaan lemah, apa saja bisa terjadi saat itu." nenek Adel kembali berujar.
Kakek yang nampak ngantuk pun berdehem sejenak. "Kamu bilang kamu memang berniat mencarikan suami untuk anak kamu, oleh kejadian malam itu. Kalau memang anak muda itu sengaja kamu minta untuk mendekati anakmu, nikahkan saja mereka. Pastikan juga dia dapat membuat Reyana bahagia."
Suasana hening sesaat. Agaknya semua orang mulai paham dengan situasi saat ini.
"Apa lagi pria itu menerima bantuan yang cukup besar dari perusahaan Prasaja. Tidak ada alasan untuk dia menolak." nenek Adel kembali menimpali.
"Tapi Reyana bagaimana kek? Sampai sekarang saja dia belum mau membuka diri. Dia takut ditolak, di takut dipandang sebelah mata jika ada laki-laki yang mengetahui keadaan dia yang sebenarnya." mama Nayla pun menyahut. "Laki-laki itu bahkan belum tau tentang keadaan anak aku yang sebenarnya."
"Itu bukan hal penting jika mereka berdua nantinya sudah saling jatuh cinta." akhirnya nenek Miska yang sedari tadi diam angkat bicara.
Ayah Reynand terus terdiam, sepertinya kejadian ini memang merubah rencana awalnya kali ini. Mungkin saja ini adalah jalan bagi kesembuhan rasa sakit putrinya. Cara ini bahkan lebih mudah daripada menunggu mereka harus jatuh cinta.
Lalu ia menghela nafas berat. "Kita akan bicarakan ini pada Reyana besok pagi."
"Bicarakan saja sekarang."
Semua orang lantas menoleh ke sumber suara. Menatap Reyana yang tengah berdiri pada anak tangga. Langkah gadis itu kemudian mendekat.
"Sayang sudah bangun...." Mama Nayla beranjak untuk menghampiri putrinya. Lalu menuntunya berjalan dan duduk di sofa.
Keheningan kembali terjadi dan sejenak menetralisir suasana. Sampai akhirnya siap memulai kembali untuk membahas tujuan seorang ayah kepada anaknya.
"Kamu mau, menikah dengannya?" sang Ayah langsung menanyai putrinya. "Dinikahkan dengan Jaya, kamu mau nak?" tanyanya kembali hati-hati.
Reyana menggeleng. "Aku gak berniat, aku gak punya keinginan untuk menikah ayah. Seharusnya ayah tau soal itu."
Sepertinya semua orang kecewa akan jawaban tersebut dan Reyana tentu menyadarinya.
"Selain itu, Jaya adalah lelaki yang baik dan aku tidak ingin membuatnya kecewa dengan kekurangan yang aku punya." Reyana menambahkan dengan senyuman.
Pada dasarnya, mungkin Reyana tidak sadar kalau inilah yang membuat seluruh anggota keluarga bersedih akan keadaannya. Rasa ketidak percayaan diri gadis itu telah sirna sebagai seorang wanita.
"Kalau mama yang meminta, kamu mau?" tatap mama Nayla penuh harap sembari mengelus punggung anaknya.
Reyana menoleh kearah ibunya. "Ma?"
"Mama hanya ingin kamu bahagia, nak. Tolong jangan menyakiti diri seperti ini. Kamu berhak merasakan bahagia dan berumah tangga, jangan menghukum diri terus. Masalah cinta itu akan datang dengan sendirinya, seperi ayah dan mama dulu. Yakin saja, bahwa dia akan bisa menerima kamu apa adanya nanti, ya?"
Reyana dapat menangkap kesedihan pada bola mata mamanya. Ia tidak tega melihat mata itu. Ternyata benar kata orang, jika seorang anak tersakit maka orang tua akan merasa lebih tersakiti lagi melihatnya. Mamanya sudah lama bersedih memikirkan dirinya.
Reyana lalu menghela nafas dan tersenyum. Ia yakin senyum yang terulas dari wajah itu akan menenangkan orang-orang disekitarnya
Sehingga terbesit sebuah keputusan dalam hatinya yang kemudian ia utarakan.
"Mama bisa kasih Reya waktu, untuk memikirkan semua ini?"
Mata mama pun berkaca-kaca, lalu mengangguk memeluk anaknya erat.
****
Happy Reading!
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA UNTUK REYANA (END) [Hiatus]
RomanceCerita ini telah diadaptasi ke dalam cerita bergambar (Webto*n) dengan judul yang sama. ____________________ Cinta Untuk Reyana. Warning 21++ Sementara Reyana menyetujui pernikahan demi kebahagiaan orang tuanya, sedangkan Jaya harus menikah demi...