Bab 3 - Dinner Mess

1.2K 186 21
                                    

Dinner Mess

"Aku gampang lapar dan makanku banyak," kata Ramli sembari menoleh pada Danita. "Kalau nggak percaya, tanya aja sama mereka." Ramli menunjuk Awan dan Adel bergantian.

"Hobinya kalau ke rumah teman minta makan," timpal Awan. "Dia cuma punya duit, nggak punya makanan banyak."

Ramli manggut-manggut. "Soalnya di rumah sama Babeh nggak boleh banyak-banyak ngabisin beras. Kata Babeh, aku cuma di rumah aja, nggak ngapa-ngapain, jadi nggak butuh makan banyak karena energiku nggak kepakai."

"Aku setuju sama babehmu," celetuk Adel.

"Aku juga," sahut Ramli. "Makanya, aku jadi gampang lapar kalau di luar."

"Trus?" Danita menatap Ramli dengan ekspresi datar.

"Ya, kalau kita nikah, trus aku ngabisin beras di rumah, gimana?" tanya Ramli.

"Trus kenapa? Toh kamu bisa beli gudang beras seisinya kalau kamu mau. Kan, kamu punya uang banyak," jawab Danita santai.

Ramli mendecak tak puas. Benar juga. Ia mencoret daftar nomor duanya dan melanjutkan ke nomor tiga.

"Aku suka tidur," ucap Ramli.

"Aku suka kerja," balas Danita.

"Kenapa?" tanya Ramli.

Danita mengerjap. "Kenapa apanya?"

"Kenapa kamu suka kerja?" tanya Ramli lebih jelas lagi.

"Ya ... emangnya ada yang salah kalau aku suka kerja?" Danita tampak bingung.

"Trus, kalau kamu suka kerja, kamu suka aku nggak?" tembak Ramli.

"Jelas eng–"

"Enggak, kan?" sambung Ramli sumringah. "Makanya, jangan mau nikah sama aku."

"Kamu juga nggak suka kan, sama aku?" sebut wanita itu.

"Kata siapa?" tantang Ramli.

"Tadi kamu bilang, kamu suka tidur."

"Iya juga, sih ..." Ramli menggaruk kepalanya. Ia menatap Adel, meminta bantuan, tapi wanita itu malah melongo menatap Ramli. Untungnya Ramli terigat daftar nomor empatnya.

"Tapi, aku nggak suka kerja. Aku nggak bisa kerja soalnya," ucap Ramli penuh percaya diri. "Makanya, aku pengangguran."

"Aku tahu," balas Danita, tak sedikit pun tampak terkejut. "Aku bisa lihat itu." Wanita itu mendengus meremehkan. "Aku juga nggak yakin kamu bisa kerja."

Ramli kembali menatap Adel untuk meminta bantuan. Yang kelakuannya seperti Adel begini memang lawannya harusnya Adel. Sejenis mereka. Untungnya kali ini Adel tidak lagi melongo seperti tadi.

"Makanya, meski dia kayak gitu, kamu tetap akan nikah sama dia?" tanya Adel.

Danita menatap Adel tak gentar. "Aku udah bilang ke dia," wanita itu mengedik pada Ramli, "kalau dia nggak mau dijodohin sama aku, dia yang harus ngomong ke kakeknya."

"Siapa bilang aku nggak pengen?" celetuk Ramli, membuat pandangan dua wanita mengerikan itu tertuju padanya. Ramli berdehem. "Orang tuaku pengen aku nikah sama kamu, dan aku pengen berbakti sama orang tuaku. Jadi ... sama aja, kan?"

Adel menghela napas dramatis. "Kamu masih mau nekat nikah sama dia?" tanyanya pada Danita.

Danita berdehem, lalu tiba-tiba berdiri. "Aku permisi dulu ke toilet."

Sepeninggal Danita, Ramli langsung bertepuk tangan senang. "Kamu hebat, Del. Tuh, cewek itu kalah kan, kalau lawannya kamu!"

Adel mendengus pada Ramli. "Kamu lebih hebat lagi," balas wanita itu. "Kalau setelah ini cewek itu masih nekat mau nikah sama kamu ..."Adel menggeleng-gelengkan kepala simpati, lalu menunjuk kepalanya, "pasti ada yang salah di sini."

Ramli manggut-manggut. "Iya, mungkin dia pusing, makanya dia pamit ke toilet."

Adel memutar mata sebal. "Tapi, kenapa kamu nggak mau dijodohin sama dia? Dia cantik, tuh."

Ramli mendecak pelan. "Kecantikan bukan segalanya. Apalagi kalau cuma kecantikan fisik."

"Tumben benar," celetuk Awan.

Bahkan Axel ikut mengoceh tak jelas.

Adel mendengus geli. "Trus, apa yang nggak kamu suka dari dia?"

Ramli menatap sekeliling restoran, memastikan Danita tak ada di dekatnya, lalu ia mencondongkan tubuh ke tengah meja, membuat Adel dan Awan ikut mencondongkan tubuh padanya. Ramli memelankan suara ketika menjawab Adel,

"Dia ... kemarin mau bunuh aku. Nanti kalau kami nikah, trus aku dibunuh dia, gimana?"

Awan ber-oh sambil manggut-manggut, sementara Adel mendengus sambil bertepuk tangan. Keduanya kembali duduk bersandar di kursi mereka.

"Sstt, sstt ..." panggil Ramli, tapi tak satu pun dari mereka mendekat. Namun, itu tak menghentikan Ramli untuk melanjutkan argumennya. "Kayaknya, dia psikopat."

"Aku, maksudmu?" Suara itu membuat Ramli terlonjak kaget sampai dia menyenggol gelas minum di meja dan menumpahkannya ke arah Danita.

Namun, saking paniknya tumpahan air itu akan mengenai Danita, Ramli refleks mendorong Danita hingga wanita itu jatuh ke lantai. Selama setidaknya lima detik, tidak ada yang terjadi. Danita tampak shock di lantai, Adel ternganga kaget, Awan melotot ngeri, bahkan Axel pun ikut diam menonton sambil mengisap jempolnya.

Sementara, Ramli masih bertahan di posisinya dengan satu tangan terulur ke arah tadi ia mendorong Danita. Waktu seolah berhenti selama detik itu, hingga akhirnya waktu kembali berjalan dan tatapan Danita tertuju pada Ramli. Tatapan membunuh.

"Apa kamu lagi balas dendam karena apa yang aku lakuin ke kamu di kantorku?" Wanita itu menyipitkan mata berbahaya.

Khawatir Danita akan mengamuk dan langsung menerjangnya, mencekiknya, menusuknya, Ramli menggerakkan tangannya ke bawah hingga mendarat ke kepala Danita. Ia mengusap kepala wanita itu dengan lembut.

"Tenang, jangan marah-marah dulu. Aku tadi nggak sengaja," aku Ramli. "Aku cuma ... arghhh!!!" Ramli berteriak kesakitan ketika tangannya ditangkap Danita dan tiba-tiba dipelintir.

Saking kesakitannya, Ramli sampai jatuh berlutut di depan Danita. Baru setelahnya, wanita itu melepaskan tangan Ramli. Begitu wanita itu berdiri, dia tiba-tiba mengusap puncak kepala Ramli dan berkata,

"Hal kayak gini harusnya cuma kamu lakuin ke hewan peliharaanmu."

Adel terang-terangan mendengus geli, sementara Awan tampak menahan tawa. Begitu Danita duduk di kursinya, Ramli berdiri dan akan duduk di kursinya. Namun, kursi yang tadi ada di tempatnya, tiba-tiba menghilang, membuat Ramli kembali mendarat di lantai dengan jatuh yang memalukan.

Ramli menatap Danita kesal. "Kamu sengaja, kan?" Jelas wanita itu yang menendang kursinya.

Danita mengedikkan bahu. "Makanya, kalau duduk, perhatiin kursimu. Kamu nggak pernah tahu, di kursimu ada duri, pisau, atau lem. Iya kan?"

Ramli bergidik ngeri mendengar kalimat wanita itu. Sudah Ramli duga, wanita ini psikopat. Lihat rencana yang sudah dia siapkan untuk membunuh Ramli.

***

Marry Me If You Dare (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang