Bab 2 - Mr. Baby Sitter

1.4K 196 53
                                    

Mr. Baby Sitter

"Ini calon istrimu langit-bumi banget sama kamu," celetuk Adel yang sedang membaca berkas yang tadi diantar Siska, sekretarisnya.

Ramli yang menjalani hari pertamanya sebagai baby sitter dengan menyuapi Axel makan, menatap Adel penasaran. "Langit-bumi gimana?"

"Ya, dia super sempurna, kamu super ..." Adel menatap Ramli, "nggak berguna."

Ramli melotot protes, tapi Awan yang duduk di sebelah Adel hanya manggut-manggut. Teman tidak berguna! Awan selalu mengatai Ramli tidak berguna, padahal sendirinya juga sama saja! Bucin istri level iblis!

Gigitan di tangannya membuat Ramli menjerit kesakitan. Ketika menoleh, dilihatnya Axel, sang Pelaku, hanya menatap Ramli tanpa dosa, itu pun masih sambil menggigit jari telunjuk Ramli. Hebatnya, ketika melepas gigitannya, bayi satu tahun itu malah tertawa puas. Ini sekeluarga kompak sekali tiada akhlaknya.

"Kalau nyuapin yang benar, makanya," tegur Awan. "Axel paling nggak suka acara makannya terganggu."

"Emang dasar anak lo ya, nggak anak, nggak bapak ..." Ramli menghentikan kalimatnya ketika melihat tatapan membunuh Adel.

"Kamu ... nyumpahin anakku?" Mata Adel menyipit tajam.

"Eng-enggak, kok!" Ramli mengelus-elus kepala Axel, lalu menyuapinya. "Tuh, anak pintar, anak baik, cuma jari telunjuk ini yang digigit, ya, Xel? Nggak masalah. Gigit sampai putus pun, nggak masalah."

Ribet memang berurusan sama Adel. Salah ngomong sedikit bukan cuma jari yang hilang, kepala seisi-isinya auto lenyap.

"Trus, gimana sama misi kita?" Ramli mengalihkan pembicaraan ke jalan yang benar. "Kamu beneran bakal bantu aku, kan, bikin cewek itu mundur dari perjodohaan ini?"

Adel mengangguk. "Pertama, kamu ajak dia makan malam nanti malam," ucap Adel.

"Oke," jawab Ramli. Ia langsung meletakkan mangkuk berisi makanan Axel dan mengambil ponselnya. Namun, detik berikutnya, sebuah bantal yang dilempar menghantam kepalanya.

"Suapin dulu anak gue! Kalau kerja lo nggak benar, gue pecat juga lo!" seru Awan.

Ramli mendesis kesal. "Iya, iya! Sabar, dong! Satu-satu! Gue kan nggak bisa multi ... itu tuh, multi apa namanya? Multi level?"

"Itu MLM, Tolol! Multitasking!" sembur Awan.

"Iya, itu. Sama-sama multi, kan? Nggak usah rese, deh!" balas Ramli kesal sembari mengambil sendok dan menyendokkannya ke mangkuk di tangannya.

"Hebat juga kamu," celetuk Adel. "Sekarang jadi baby sitter HP juga, ya? Disuapin makan segala HP-nya."

Ramli menunduk dan kaget melihat sendok makan Axel di atas ponselnya, membuat bubur bayi Axel belepotan di layar ponselnya.

"Makanya, kerja yang benar, jangan sambil main HP. Otak fungsi separuh aja sok-sokan multitasking!" ledek Awan.

"Akhlak lo tuh, nggak ada fungsinya semua!" sembur Ramli.

Di tengah keributan itu, tiba-tiba terdengar suara tawa Axel. Lalu, Ramli mendengar Adel mendecak kesal.

"Lihat! Kamu ngasih dia tontonan yang buruk!" protes Adel.

Tontonan yang buruk? Adel pikir, Ramli di sini untuk menjadi tontonan Axel?

Ugh! Sudahlah! Satu keluarga tiada berakhlak semua!

***

Danita sempat curiga dan khawatir ketika Ramli meneleponnya tadi pagi. Pria itu mengajaknya makan malam. Meski ragu, tapi akhirnya Danita memutuskan untuk datang juga ke restoran tempat pria itu mengundangnya.

Ketika turun dari mobilnya di pelataran parkir restoran, Danita heran melihat pelataran parkir yang kosong. Pun ketika masuk ke restoran, ia hanya melihat satu meja yang terisi. Meja di tengah ruangan. Ada Ramli, seorang pria dan wanita yang tak dikenal Danita, dan seorang bayi yang duduk di pangkuan Ramli.

Jangan bilang ... itu anak Ramli.

Ketika Danita tiba di meja itu, Ramli langsung berdiri sambil menggendong bayi tadi di depan tubuhnya.

"Ini anak kamu?" tanya Danita refleks.

Ramli langsung menggeleng. "Bukan, bukan. Ini anak mereka." Pria itu mengedik ke pasangan yang dudu di kursi depan kursinya.

"Trus ... ngapain kamu yang gendong anak ini?" tanya Danita heran.

"Dia lagi jadi baby sitter," jawab si Wanita.

Danita akhirnya bisa melihat jelas wajah wanita itu. Dan ia mengenal wanita itu. Adelia Wiratmadja. Bagaimana Ramli bisa kenal dengannya? Dari yang Danita dengar, Adel tidak pernah sudi berteman dengan siapa pun.

"Duduk, deh," ajak Ramli sembari mendudukkan bayi di gendongannya ke kursi bayi di samping tempat duduknya.

Begitu Danita duduk, Ramli menunjuk pria yang duduk di depan kursinya dan berkata, "Kenalin, ini Awan, sahabatku." Lalu dia menunjuk Adel. "Dan ini istrinya Awan, Adel."

"Dalam satu detik kamu nggak nurunin tanganmu, aku patahin jarimu," ancam Adel.

Ramli seketika langsung menarik tangannya dan menumpukan kedua tangannya di atas meja, seperti murid TK yang siap mendengarkan gurunya. Ini sungguh ... tak terduga.

"Kamu nggak keberatan kan, makan malam bareng kita?" tanya Adel.

Danita hanya mengangguk. Meski ia penasaran apa alasan Ramli menggundang Danita makan malam dengan pasangan ini, tapi Danita harus menahan diri. Ia berhadapan dengan Adelia Wiratmadja.

"Omong-omong, kamu tahu kan, kalau IQ Ramli cuma sekitar 40?" tanya Adel tiba-tiba.

"Ha? Apa?" Danita tidak salah dengar, kan? Memangnya ada manusia dengan IQ serendah itu?

Danita sampai menoleh ke samping, memastikan jika yang diucapkan Adel itu adalah candaan. Namun, melihat ekspresi datar Ramli, sepertinya itu bukan sekadar candaan. Yah, meski itu menjelaskan cara berpikir pria itu yang ... aneh.

"Meski kamu sekarang tahu IQ dia segitu, kamu masih mau dijodohin sama dia?" tanya Adel lagi.

Danita mengerjap, berusaha menguasai keterkejutan karena serangan IQ barusan. "Maaf, perjodohan itu di luar kuasaku. Aku nggak punya hak buat nolak itu."

"Kenapa gitu?" Kali ini Ramli yang protes. "Itu melanggar hak asasi manusia. Kalau kamu dipaksa Kakek, kamu bisa ngelaporin Kakek."

Danita terbelalak. Pria ini ... apa dia benar-benar tak punya otak untuk digunakan berpikir? Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu tentang kakeknya.

"Ini salah satu bukti pendukung pernyataanku tadi," ucap Adel. "Sekarang, kamu percaya, kan?"

Danita berdehem dan menyelipkan rambutnya ke belakang telinga untuk mengurangi serangan paniknya. Dia menatap Adel tegas. "Buatku, itu nggak masalah. Sejak awal, perjodohan ini bukan masalah buat aku. Kalau dia nggak setuju, dia bisa minta kakeknya buat batalin perjodohan ini."

Ramli mengerang protes. "Kan, udah aku bilang, aku harus berbakti sama orang tuaku!"

"Aku juga!" balas Danita.

"Kamu juga mau berbakti sama orang tuaku?" tanya Ramli kaget.

"Sama kakekmu," koreksi Danita. Astaga, otak pria ini di mana sebenarnya?!

Ramli menghela napas, lalu tiba-tiba mengeluarkan kertas dan bolpoin dari saku kemejanya, meletakkannya di meja. Kertas itu berisi sesuatu seperti daftar ... entah daftar apa. Danita melihat Ramli mencoret daftar nomor satu. Danita melongokkan kepalanya sedikit untuk ikut membaca.

1. IQ rendah

Ha? Apa maksudnya?

Namun, ketika membaca daftar nomor berikutnya, Danita akhirnya paham itu daftar tentang apa.

2. Mudah lapar

3. Suka tidur

4. Pengangguran

Sungguh, ke mana perginya pria ini ketika pembagian otak?

***

Marry Me If You Dare (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang