Bab 7 - Permintaan Sang Kakek

1K 169 15
                                    

Permintaan Sang Kakek

"Jadi, ini tujuanmu ngundang Kakek sarapan?" tanya Brahmana dengan senyum geli.

"Maaf, Pak, saya hanya berpikir jika cucu Pak Brahmana sudah lama tidak bertemu kakeknya, karena itu ..."

"Nggak perlu bersikap formal. Nggak ada siapa-siapa di sini selain kamu sama Kakek," ucap Brahmana.

Memang. Setelah Ramli dan ketiga temannya pergi tadi, Brahmana juga memerintahkan para stafnya menunggu di luar. Danita menatap Brahmana dan tersenyum.

"Aku cuma mau mempertemukan Kakek sama cucu Kakek, apa itu salah?" Danita tak mau mengakui.

Brahmana tersenyum geli. "Kamu pikir, Kakek nggak mengenal kamu?"

Danita menghela napas berat. "Kakek lihat sendiri gimana dia. Dia lebih tertarik makan nasi goreng daripada sama aku."

Brahmana terkekeh. "Kakek kan, udah bilang, cucu Kakek itu bodoh. Tapi, dia baik."

"Tadi Kakek bilang dia nggak tahu diri," Danita mengingatkan.

Brahmana berdehem. "Tadi kan, memang dia yang nggak tahu diri."

Danita mengangkat alis.

"Kakek melakukan ini untuk dia. Maaf, ya, karena Kakek memintamu melakukan hal-hal seperti ini." Brahmana menghela napas. "Anak itu nggak punya masa depan. Dia nggak tahu apa yang mau dia lakuin. Kerjaannya di rumah aja, nggak ngapa-ngapain. Kadang dia keluar main sama teman-temannya. Kakek nggak mungkin mercayain perusahaan ke dia dengan keadaan dia seperti itu, Ta. Karena itu, Kakek perlu kamu di sampingnya."

Danita menghela napas. "Kapan Kakek mau ngasih tahu dia tentang penunjukkan dia sebagai CEO Be Wonderland? Apa dia bahkan bisa ngejalanin tugas itu?"

"Itu nanti biar ibunya yang bicara ke dia. Dia paling takut sama ayah-ibunya, bukan sama Kakek," jawab Brahmana.

Danita mengerutkan kening. "Kenapa gitu?"

Brahmana tersenyum geli. "Karena dia tinggal di rumah ayah sama ibunya, bukan di rumah kakeknya."

Danita ternganga. Logika macam apa yang dipakai pria itu ...

"Dia paling takut diusir dari rumah tanpa uang sepeser pun," urai Brahmana. "Dia tahu dia nggak punya kemampuan apa pun. Dia tahu, di luar sana, dia nggak bisa hidup sendirian." Brahmana terkekeh. "Ramli ... nggak kayak keturunan konglomerat yang biasa kamu tahu, kan?"

Danita meringis. Teringat bagaimana penampilan pria itu ketika pertama kali datang kemari.

"Ibunya tahu betapa terkekangnya hidup sebagai putriku, jadi dia pasti membesarkan anaknya dengan cara yang berbeda," ungkap Brahmana. "Tapi, tetap aja, Ramli masih keturunanku. Meski Kakek ngerasa kasihan akan apa yang harus dia hadapi ke depannya. Tapi, kalau kamu ada di sampingnya, Kakek bisa merasa lebih tenang, Ta."

Danita mendesis pelan. "Kakek dulu bawa aku pergi dari panti asuhan pasti udah ngerencanain ini, kan?"

Brahmana terkekeh. "Tentu aja."

Namun, Danita tahu, bukan itu alasannya. Pria tua itu tampak begitu kuat, tapi Danita tahu dia kesepian tanpa keluarganya. Dua puluh tahun lalu, ketika dia melihat Danita babak-belur ditindas anak-anak panti asuhan lain, dia langsung merangkul Danita dan mengajaknya pulang, mengatakan jika sekarang mereka memiliki satu sama lain.

Pria tua yang ditakuti orang banyak ini, sesungguhnya juga berada di posisi Danita dua puluh tahun lalu. Ketika dia punya banyak musuh, tapi tak ada seorang pun di sampingnya, babak-belur sendirian. Setelah Danita tahu semua itu, bagaimana bisa ia menolak permintaan pria itu?

Sejak Brahmana membawa Danita pulang, pria itu tak pernah meminta apa pun, menuntut apa pun, dari Danita. Ketika Danita menolak diperkenalkan sebagai cucu angkat Brahmana pun, Brahmana menurutinya. Selama dua puluh tahun terakhir, Danita dibesarkan dengan kasih sayang tanpa syarat oleh pria ini, bagaimana bisa Danita menolak permintaan pertama dan satu-satunya dari pria ini pada Danita?

Danita menghela napas. "Cucu Kakek itu beruntung punya Kakek yang masih peduli sama dia meski masa depannya nggak jelas," cibir Danita.

Brahmana manggut-manggut sembari menyilangkan tangan di dada. "Lagian, kamu juga dijodohin sama siapa pun nggak pernah mau, sih. Sekarang malah dapat anak bodoh itu, kan?"

Danita mendengus tak percaya. "Itu karena aku mau fokus berkarir, Kek!"

Brahmana mengibaskan tangan. "Itu masalahmu. Kamu udah nolak semua kandidat terbaik dan sekarang yang ada tinggal kandidat terburuk."

"Kandidat terburuk itu cucu Kakek, tahu?" balas Danita.

"Dan calon suamimu." Brahmana terkekeh puas seraya berdiri. "Omong-omong, tolong kamu urus staf OB yang masak nasi gorengnya tadi. Kirim dia ke rumah calon suamimu."

Danita mengerang kesal. Ia benar-benar tak suka sebutan 'calon suami' itu.

***

Ramli mendengus tak percaya memikirkan kejadian di kantor Danita tadi.

"Berani-beraninya dia ngusir gue pakai Kakek," desis Ramli.

"Menurutku, cara dia ngusir kalian itu udah sopan banget," celetuk Adel. "Kalau itu aku, aku pasti udah manggil security buat nendang kalian."

"Kenapa? Emangnya kami salah apa?" Ramli tak terima.

"Aku tahu kamu nggak pernah makai otakmu, tapi harusnya kamu bisa bedain kan, mana kantor, mana warung?" balas Adel tajam. "Meski nggak ada yang bisa dipakai mikir di kepalamu itu, tapi coba kamu pikirin, deh, apa sopan kamu makan di kantor orang? Itu kantor tempat orang kerja. Dan kamu malah bawa rombongan buat makan ke sana." Adel geleng-geleng kepala.

Meski kata-kata Adel itu nyelekit sampai sum-sum tulang belakang, tapi ada benarnya juga kalau dipikir-pikir.

"Ya, tapi kan, dia yang ngundang juga. Kalau emang nggak boleh, harusnya dari awal dia bilang nggak boleh," cetus Ramli. "Kenapa harus ribet bawa-bawa Kakek segala?"

Adel tampak hendak mendebat, tapi dia menutup mulutnya lagi, lalu menggeleng. "Okelah, emang Danita juga yang salah. Udah tahu lawannya orang kayak kamu, diladenin juga."

Ramli mengangguk setuju. "Tapi, aku lama nggak ketemu Kakek, Kakek makin tua, ya? Makanya makin galak dan makin cerewet."

Awan mendengus takjub. "Lo tuh, bisa-bisanya nggak ada takut-takutnya sama kakek lo. Itu babeh lo bukannya paling takut sama kakek lo, ya?"

"Ya, kan, itu Babeh. Babeh ya Babeh, gue ya gue," debat Ramli. "Kontri ... kontra ... busi?" Ramli menatap Adel meminta bantuan.

"Kontri," beritahu Adel.

"Nah, iya. Kontribusi Kakek di hidup gue apa, coba? Ngapain gue takut sama Kakek kalau dia aja nggak ada kontribusi di hidup gue?" Ramli seketika merasa bangga pada dirinya sendiri karena berhasil menggunakan kata rumit yang tepat. Ia terdengar pintar barusan.

Awan mangap-mangap, tapi tak bisa menjawab. Dia menoleh pada Adel, tapi Adel, sepertinya berniat meminta bantuan, tapi Adel hanya mengedikkan bahu dan berkata,

"Selamat berjuang, Sayang. Aku mau kerja dulu. Sambil awasin Axel, ya? Pastiin dia nggak nelan mainan lagi."

Setelah mengatakan itu, Adel menepuk bahu Awan dan pergi dari apartemen Awan yang menjadi taman bermain Axel.

"Benar kata kakek lo, dasar lo Bocah nggak tahu diri!" Awan memakinya.

Ramli mencibir meledeknya. "Sekalian aja kutuk gue jadi batu."

"Gue kutuk lo jadi batu!" teriak Awan.

"Nggak kena, yeee!" ledek Ramli sambil terbahak-bahak.

Ia pun kemudian asyik bermain dengan Axel. Lebih asyik bermain dengan Axel daripada dengan orang tuanya.

***

Marry Me If You Dare (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang