Bab 6 - Brahmana

1K 155 26
                                    

Brahmana

Danita takjub Ramli bisa sampai ke ruangannya tanpa diusir staf keamanan di lobi dengan pakaian seperti itu. Apa mereka datang kemari untuk tampil atraksi dengan kostum seperti itu? Danita pikir, tadi ada pohon berjalan yang masuk ke ruangannya. Meski ternyata itu Ramli dan jas hijaunya.

"Sarapannya udah siap?" tanya Ramli dengan senyum lebar.

Danita yakin, pria itu benar-benar berpikir jika kantor ini adalah warung. Meski begitu, Danita tersenyum kecil dan menjawab, "Sedang disiapkan. Duduklah dulu."

Ramli tanpa sungkan langsung duduk di sofa, tepat di hadapan Danita, lalu melambaikan tangan mengundang ketiga temannya yang masih tampak sungkan. Ramli bahkan berani bertanya pada keitga temannya,

"Kalian minumnya apa? Aku es teh."

Ketiga teman Ramli refleks menatap Danita dengan waspada.

Danita memaksakan senyum. "Sebutin aja, mau minum apa. Aku nggak perlu nyiapin buku menu, kan?"

Ketiga teman Ramli tertawa canggung sambil menggeleng. Lalu, mereka kompak menjawab, "Es teh."

Sabar, Danita, sabar. Danita kembali memaksakan senyum kecil sembari mengangkat ponsel untuk menelepon sekretarisnya yang sedang menyiapkan nasi gorengnya. Ketika sekretarisnya mengangkat teleponnya, Danita berkata,

"Minumnya es teh empat."

Danita sudah akan menutup teleponnya ketika mendapat tatapan lekat Ramli. Sial, pria itu akan menasehati Danita lagi. Maka, dari sudut bibirnya Danita mendesiskan lewat telepon, "Terima kasih."

Baru setelahnya Danita menutup telepon, sementara Ramli sudah tersenyum lebar.

"Kamu sekarang udah makin sopan, ya? Udah bisa bilang makasih," komentar pria itu. "Pasti setelah ketemu aku."

Ketiga teman Ramli menatap Ramli dengan tatapan ngeri. Namun, yang ditatap malah nyengir puas. Jika Danita melempar pria itu dari jendela kantornya sekarang, apa itu setimpal?

Tidak. Danita harus menahan diri. Jika ada yang harus melempar Ramli keluar dari jendela ruang kantornya yang berada di lantai lima belas itu, maka Ramli sendirilah orangnya. Karena itulah Danita repot-repot mengundang pria itu kemari.

Begitu sekretarisnya tiba bersama beberapa orang karyawan OB dengan beberapa piring nasi goreng dan es teh di nampan-nampan yang mereka bawa, Ramli langsung berseru bersemangat,

"Akhirnya datang juga pesananku!"

Namun, Ramli kemudian menatap Danita curiga. "Ini yang diracunin yang mana, nih?"

Danita menarik napas sabar. "Nggak ada. Kamu nggak perlu khawatir tentang hal kayak gitu."

"Kamu berani sumpah nggak ada racunnya?" tuntut Ramli.

"Ya, aku berani sumpah itu nggak ada racunnya." Danita heran pada dirinya yang mau saja menuruti permintaan bodoh pria itu.

Setelah memastikan nasi goreng itu tak beracun, layaknya tuan rumah, begitu piring-piring nasi goreng disajikan di meja kaca di depan sofa tempat mereka duduk, Ramli langsung menawari ketiga temannya, "Ayo, makan, makan. Enak banget, seriusan!"

Ketiga teman Ramli menatap Danita, seolah meminta persetujuan. Danita melemparkan senyum tipis dan mengangguk. "Silakan," ia mengizinkan.

Namun, salah satu dari ketiga teman Ramli yang tak dikenal Danita, tiba-tiba bertanya, "Ini kok ada enam piring? Selain kita, ada yang mau ikut sarapan di sini juga?"

Marry Me If You Dare (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang