Bab 4 - Bakat Terpendam

1.2K 184 18
                                    

Bakat Terpendam

"Kenapa ekspresimu gitu?" tanya Adel ketika Ramli menyantap dessert-nya dengan tak semangat. Danita jadi ikut menoleh menatap calon suami yang tak diinginkannya itu.

"Dia masih lapar," jawab Awan, sahabat Ramli.

Ramli mendecak tak puas. "Kita tadi cuma mkan sepotong daging seuprit. Mana ada orang yang kenyang makan itu?" Ramli menoleh pada Danita. "Iya, kan?"

Danita yang agak kaget karena tiba-tiba diajak bicara, tak menanggapi.

"Kalau cewek diam, itu artinya 'ya'," Ramli menyimpulkan.

Enak sekali menjadi otak Ramli. Sepertinya otaknya tidak perlu bekerja sama sekali.

"Aku biasanya kalau ngumpul sama anak-anak, manggang daging sendiri." Ramli menatap Adel. "Tuh, stok yang dulu kamu beliin buat Awan siapa yang ngabisin kalau bukan aku sama anak-anak?" sebut Ramli, meski Danita tak tahu apa maksudnya.

Awan hanya tersenyum geli dan Adel geleng-geleng kepala prihatin.

"Tapi, dibanding makan malam ini tadi, lebih enak nasi goreng di kantormu," ucap Ramli sembari menatap Danita.

Nasi goreng di kantornya. Seolah kantor Danita adalah warung nasi goreng. Dasar pria gila tidak tahu diri!

"Kamu makan nasi goreng di kantor dia?" tanya Adel geli.

Ramli mengangguk. "Itu beli atau bikin sendiri?" tanya Ramli pada Danita.

Danita mengerjap. Ia tak tahu harus menjawab apa karena ia sendiri tak tahu dari mana sekretarisnya mendapatkan itu. Meski itu dari makanan sisa karyawan lain pun Danita tak akan tahu.

"Besok aku sarapan di kantormu, boleh?" tanya Ramli lagi.

"Ap-apa?" Apa Danita salah dengar?

"Besok aku mau sarapan di kantormu aja. Biar aku ajak teman-temanku sekalian," ungkap pria itu dengan santainya.

Danita menatap batok kepala pria itu, sungguh penasaran dengan isinya. Tidak. Ia penasaran, apakah di dalamnya benar-benar ada isinya?

"Kenapa kamu ngelihatin aku kayak gitu?" tanya Ramli polos.

"Aku penasaran aja. Gimana kamu bisa ... se–" bodoh, "simple ini cara berpikirnya." Danita hampir saja keceplosan.

Hebatnya, di depannya, Ramli tersenyum lebar, bangga. "Itu bakat terpendamku kalau kata teman-temanku. Aku orang yang simple, nggak pernah ribet."

Danita manggut-manggut. "Bakat terpendam, ya?" gumamnya.

"Sebenarnya, lebih baik dipendam aja, sih, kalau menurut gue, Bro," celetuk Awan.

Danita setuju dengan itu, tapi hanya berani mengungkapkan persetujuannya dengan anggukan kecil, nyaris tak kentara.

Ramli mendengus sinis pada Awan. "Jangan ngeledek."

Danita melirik waspada. Apa pria itu sadar jika Danita sedang meledeknya tadi?

"Nggak baik ngeledek orang yang punya bakat lebih dari lo," ucap Ramli pada Awan. "Iri bilang, Bos!"

Apa? Bagaimana? Iri dari mananya? Semua tanya itu bersemburat di kepala Danita, tak berani ia lontarkan.

"Gue kan, simple, nggak kayak lo, orangnya ribet," cibir Ramli. "Makanya kisah cinta lo dulu ruwet. Elonya ribet, Adel ribet, semuanya ribet."

Detik berikutnya, di depan matanya, Danita melihat bagaimana Adel melempar sendoknya, tepat mengenai kening Ramli. Sementara Ramli mengerang kesakitan memegangi keningnya, anak Adel dan Awan malah bersorak.

"Kamu udah berani ngatain aku?" tantang Adel.

Ramli mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

"Maklumin, Sayang, dia kalau ngomong kan suka nggak pakai otak," Awan menenangkan istrinya.

"Namanya ngomong, ya pakai mulut, nggak pakai otak. Kalau pakai otak namanya bukan ngomong, tapi mikir," cerocos Ramli.

Ketika Adel mengangkat garpu, Ramli tiba-tiba menarik Danita ke arahnya. Pria itu menyembunyikan kepala di belakang tubuh Danita. Danita mengerjap, shock, tak menduga ia akan dijadikan tameng oleh manusia model Ramli. Seumur hidupnya, ini adalah pengalaman paling ... tak masuk akal bagi Danita.

"Sori, yang itu juga bakat terpendamnya Ramli dan nggak semua orang punya," kata Awan sembari meringis. "Nggak punya urat malu."

Yang ini juga ... sepertinya bakat terpendam yang sebaiknya dipendam saja.

***

Usai makan malam, baru saja Adel, Awan, dan Ramli yang menggendong Axel masuk mobil, Ramli langsung menceploskan tanya,

"Gimana menurut kalian? Dia pasti nggak bakalan mau nikah sama aku, kan?"

"Kalau dia masih waras, sih, jelas dia nggak akan pernah mau nikah sama kamu," celetuk Adel.

Hebat sekali mulut Adel itu. Stok cabenya tak pernah habis.

"Kamu pikir, aku tadi di dalam sana nunjukin diriku yang sebenarnya?" sembur Ramli. "Aku nggak sebodoh itu. Aku tadi sengaja aja biar dia ilfeel."

"Bagian mana yang kamu sebutin sengaja itu? Di mananya kamu nggak nunjukin dirimu yang sebenarnya?" tuntut Adel.

"Pas aku bilang kamu sama Awan sama-sama ribet. Itu tadi aku nggak serius, kali. Ya kali aku ngomong kayak gitu tanpa mikir dulu," ucap Ramli bangga. "Untung tadi cuma dilempar sendok sama kamu, bukan pisau."

Adel menatap Ramli dengan kening berkerut. "Itu tadi ... kamu sengaja?"

Ramli mengangguk. "Aku nyindir si Danita itu. Dia kan, orangnya juga ribet. Kalian lihat sendiri, kan?"

"Lihat apa?" Adel tampak bingung.

"Kalau Danita itu ribet," jawab Ramli. "Dia nggak mau nikah sama aku, tapi nggak mau nolak perjodohan kami ke Kakek. Padahal, kan, tinggal ngomong doang. Apa susahnya?"

"Kenapa bukan lo aja yang ngomong ke Kakek lo?" tembak Awan.

"Ya, nggak bisa, dong. Gue kan, harus berbakti."

"Dia juga kan, mau berbakti," sambar Adel.

Ramli menggeleng. "Dia kan, bukan cucu atau anak kandungnya Kakek. Nggak ada kewajiban buat gitu."

Adel menghela napas, lalu menoleh pada Awan. "Selama ini, gimana kamu bisa kuat temenan sama dia?"

Awan mengedik. "Sebelum ketemu kamu, dia sumber danaku."

Ramli mendesis kesal. "Udah gue duga, itu anggapan lo tentang gue. Emang dasar lo teman nggak ada akhlak."

"Sama-sama, Ram," balas Awan cuek.

"Dasar lo ..." Kalimat Ramli terhenti ketika ia melihat sesuatu berjalan ke arah mobil Awan dari depan. "Eh, eh, itu dia ngapain ke sini?" Ramli menunjuk ke depan, tepat ke arah Danita.

Awan memukul tangan Ramli dengan keras, memaksanya turun. "Kebiasaan lo nuding-nuding ini nggak sopan tahu, Ram!" tegurnya.

"Dih, orang kita biasa tuding-tuding sama anak-anak biasa aja," desis Ramli.

"Ya, kan, sama anak-anak! Nggak sama calon bini lo!" sembur Awan.

Ramli tak bisa mendebat karena Danita sudah berhenti di samping pintu mobil tempat Adel duduk. Adel menurunkan jendela.

"Ada yang mau kamu sampaiin ke Ramli?" tanya Adel.

Danita mengangguk. "Tolong bilang ke dia, besok dia bisa sarapan di kantorku sama teman-temannya. Biar aku siapin."

"Kamu ... nggak berniat ngeracunin mereka, kan?" tanya Adel curiga. "Bukan apa-apa, tapi sayangnya, salah satu dari temannya itu adalah suamiku. Jadi, aku harus mastiin itu."

"Nggak, kok. Nggak perlu khawatir. Kalaupun ada yang mati keracunan, aku bisa pastiin itu cuma satu orang dan itu bukan suamimu." Danita tersenyum, lalu menoleh ke arah Ramli.

Senyum psikopat! Dia pikir Ramli tidak mengerti jika dia berniat meracuni Ramli?

Dasar psikopat!

***

Marry Me If You Dare (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang