Calon Jodoh
Danita memperhatikan Ramli Alamsyah Brahmana yang sedang melahap nasi gorengnya seperti orang yang sudah tiga hari tidak makan. Mulai dari rambutnya yang berantakan. Sebenarnya, tadinya rapi, klimis, seperti anak TK yang berangkat sekolah didandani mamanya. Namun, karena insiden kecil tadi ... yah, tidak kecil juga, tapi tidak besar juga.
Bukan salah Danita. Ketika ia tiba tadi, sekretarisnya tidak ada di mejanya dan Danita menemukan pria asing mencurigakan yang memegang fotonya. Tatapan Danita jatuh pada figura foto yang ada di meja kaca di antara mereka. Bahkan di tengah kekacauan tadi, pria itu tidak merusak figura foto itu. Malah, sepertinya ponselnya yang rusak setelah terlempar jauh tadi.
Berikutnya, Danita men-scan pakaian pria itu. Hanya kaus dan jaket hoodie. Meski Danita tahu itu barang bermerek. Namun, siapa yang pergi dengan penampilan seperti itu ke kantor?
Dia juga hanya mengenakan celana jeans dan sepatu converse yang tampak usang. Siapa yang menduga cucu tunggal seorang Brahmana akan muncul dengan penampilan seperti ini?
Danita memijat pelipisnya teringat alasan keberadaan pria itu di sini. Perjodohan mereka. Ia mencoba membuka pembicaraan, "Jadi ... kamu udah tahu kan, alasan kita ketemu hari ini?"
Ramli mengangguk dengan tatapan masih tertuju ke piringnya.
"Menurutmu ... gimana?" tanya Danita hati-hati.
Ramli seketika berhenti mengunyah dan menatap Danita. Apa pria itu tak menginginkan perjodohan ini? Apa pria itu akan menolak setelah apa yang Danita lakukan padanya tadi?
"Minum," ucap pria itu. "Es teh. Tolong pesanin ke karyawan tadi. Tehku udah habis, nih." Dia menunjuk cangkir yang sudah kosong di meja. "Cangkirnya kecil banget." Pria itu nyengir, lalu lanjut melahap nasi gorengnya.
Danita mengerjap. Apa pria itu pikir saat ini dia sedang berada di warung?
Namun, mengingat siapa pria itu, Danita berusaha bersikap tenang dan mengangkat ponsel, menghubungi sekretarisnya.
"Bawakan minuman kemari. Es teh." Danita lalu menutup teleponnya.
"Kamu harusnya bilang 'tolong' kalau minta tolong, dan bilang makasih kalau udah dibantu," celetuk Ramli sembari menggigit kerupuk.
Danita hanya berdehem. Seumur hidup, belum pernah ia bertemu keturunan konglomerat seperti ini. Terlebih, konglomerat itu adalah Brahmana.
"Aku tadinya mau nawarin kamu, tapi aku lapar banget, jadi nanti kamu pesan sendiri aja ke karyawan tadi," kata Ramli lagi.
Danita menghitung sampai sepuluh dalam kepalanya, lalu tersenyum kecil. Ia berusaha mengembalikan percakapan mereka pada topik utama, "Jadi ... gimana menurutmu dengan perjodohan kita?"
Ramli mengedikkan bahu. "Nggak gimana-gimana."
Danita berpikir cepat. "Apa kamu setuju aja dengan perjodohan ini? Gimana dengan kekasihmu?" kejarnya.
Ramli tiba-tiba memasang ekspresi sedih. "Jangan ngeledek orang yang jomblo. Nggak baik," katanya.
Danita kehabisan kata-kata selama beberapa saat, tak menduga tanggapan seperti itu. Terlebih, ekspresi pria itu begitu sedih dan serius ketika mengatakannya. Apa Danita harus meminta maaf? Sial. Ini sungguh situasi terbodoh yang pernah Danita hadapi.
"Dengar, kalau kamu nggak setuju sama perjodohan ini, kamu bisa ngomong sama kakekmu. Kalau kamu yang ngomong ..."
"Kamu nggak setuju sama perjodohan ini, makanya tadi kamu mau bunuh aku, kan?" tuduh pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry Me If You Dare (End)
ComédieRamli adalah anak yang dikorbankan orang tuanya untuk bakti mereka pada sang Kakek. Sebagai anak yang berbakti, Ramli harus menuruti orang tuanya dan pasrah saja ketika dijodohkan. Niat hati ingin kabur, tapi nanti Ramli tak punya uang. Sudah bodoh...