Lea menghampiri Ara yang masih berada didalam uks. Raka masih setia menunggu Ara sampai terbangun. Ia menatap Lea sekilas, lalu memainkan ponselnya kembali.
"Ngapain lo kesini?"
"Terserah gue lah. Dia sahabat gue," ujar Lea ketus.
"Lo tau penyebab Ara pingsan?" Lea menggeleng.
"Katanya sahabat kok gak tau," Raka terkekeh sinis.
"Ya-ya gak tau lah. Dia tadi bilang gakpapa kok, lagian ngapain lo disini? Bukannya lo itu orang yang udah nyekap Ara digudang?" Raka menatap tajam Lea, perihal itu semuanya sudah kembali normal. Mengapa Lea membahasnya lagi.
"LO GAK TAU APA-APA! BERHENTI NYUDUTIN GUE KAYAK GITU. PERGI LO DARI SINI," ucap Raka menggebu-gebu, dadanya naik turun, nafasnya tidak beraturan. Ia gampang sekali terpancing emosi.
Lea mengerjapkan matanya tak percaya, padahal ia hanya bertanya kenapa responnya sangat berlebihan?
"Enghh," lenguhan Ara membuat mereka menoleh ke arahnya.
"Raka, Lea, kenapa pada marah-marah? Kan jadinya Ara ke ganggu," ujarnya sembari mengucek matanya.
"Maaf, Ra. Dia dulu nih," ujar Lea menunjuk Raka.
Raka yang mendapatkan tuduhan pun melotot tajam, ingin membalas perkataan Lea tetapi dengan cepat Ara mencegahnya.
"Stop stopp! Kalian udah dewasa 'kan? Plis Ara lagi nggak pengen liat keributan. Ayok saling memaafkan!" titahnya.
Lea dan Raka saling tatap lalu membuang muka kembali. Ara jengah melihatnya, ia mengambil tangan Raka dan Lea lalu menyatukannya.
"Maaf-maaf an yaa," dengan terpaksa Raka mengiyakan dan Lea tersenyum simpul.
"Lea, Raka baik kok. Dia udah minta maaf buat kejadian kemarin-kemarin," ujarnya. "Kamu jangan gitu lagi yaa. Oh ya kamu kenapa kesini?" tanyanya.
"Gue mau jenguk lo, Ra," Ara tersenyum, meski ia harus merasakan sesak kembali ketika mengingat Lea dan Hanafi.
"Aku gakpapa Le. Tenang aja, ke kelas yuk," baru saja Ara ingin beranjak dari brankar, bahunya ditahan oleh Raka.
"Gak boleh. Lo masih sakit, Ra," Lea mengangguk menyetujui ucapan Raka. Memang benar wajah Ara masih pucat dan terlihat sangat lemas.
"Aku gakpapa," ketusnya. Lalu menepis tangan Raka.
"Kalo dibilangin gak pernah nurut," cibir Raka.
"Dunia serasa milik berdua, yang laen ngontrak," sindir Lea. Ara dan Raka menoleh ke arahnya, Lea pura-pura tidak tahu saja dan matanya menatap kesambarang arah.
"Bacot lo," ujar Raka.
"Raka jangan kasar ucapannya, aku gak suka yaa!"
Raka menyengir, menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Ayok ke kelas, kamu sana gih masuk ke kelas kamu Raka," titahnya. Raka mengangguk dan langsung beranjak dari uks.
•••
Hanafi sedang mencari keberadaan Lea sekarang, ia sudah keliling menelusuri sekolah tetapi hasilnya nihil. Sama sekali tidak ditemukan.
"Kemana sih tuh bocah," ujarnya kesal.
Ia menyipitkan mata nya kala melihat seseorang yang ia cari sedari tadi.
Hanafi menghampiri Lea dan kebetulan ada Ara juga disampingnya.
Lea yang menemukan Hanafi dihadapannya terkejut bukan maen.
"Ka-kak ngapain," Lea gelisah, pasalnya disampingnya ialah Ara.
"Nyariin lo lah. Lagian lo kemana aja sih," mata Lea menatap Ara sekilas. Ara membuang wajahnya asal, membuat Lea semakin bersalah.
"Tadi aku jenguk Ara, dia masuk uks," sahutnya.
Hanafi berdecak sebal. "Lo lagi, lo lagi," sindirnya. Ara yang tadinya mengarah ke arah lain kini menatap manik mata Hanafi.
"Apa kak? Aku gak minta Lea buat jenguk aku kok. Lea sendiri yang ke uks," jelas Ara.
"Bisa gak sih lo gak usah masuk uks tiap hari, lebay tau gak!" ujar Hanafi.
"Kak stopp!" pekik Lea. "Ada apa nyariin aku?" tanyanya. Lea mengalihkan pembicaraan mereka berdua. Ia tidak ingin Ara sakit hati karena ucapan Hanafi.
"Gue mau ngobrol sama lo. Ikut gue!" Hanafi langsung menarik Lea dan meninggalkan Ara sendiri dengan sakit hati yang telah Hanafi buat.
"Harus bisa ngiklasin ya Ra. Kamu pasti bisa kok, banyak yang sayang kok sama kamu," ujaranya pada diri sendiri. Lalu Ara bergegas menuju kelasnya dengan mata yang layu.
Mengikhlaskan segala sesuatu memang kadang membutuhkan waktu yang lama. Semakin kita ikhlas, semakin terbiasa dengan semuanya.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Syahdan Hanafi (On Going)
Teen Fiction"Apa yang lo suka dari gue?". Tanya Hanafi. "Kamu manis". Jawab Zahra dengan malu-malu. ---