Hari minggu memang hari yang paling di nantikan oleh Ara. Ia akan bertemu dengan Ayahnya yang sedang berada dalam perjalanan pulang.
Bunda dan Aldo sedang berada didapur menyiapkan makanan untuk sang Ayah tercinta.
"Bunda, kira-kira Ayah sampe mana ya?" tanya Ara sembari menuangkan air putih kedalam gelas lalu meneguknya.
"Loh kok tanya Bunda sih, kamu coba gih tanya Ayah udah sampe mana?"
"Oke," Ara berlari menaiki tangga, sesampainya dikamar segera ia membuka ponselnya dan menghubungi Ayahnya.
Sambungan terhubung, Ara mengembangkan senyumnya.
"Halo Ayah, sampe mana? Masih lama nggak?" tanyanya dengan rasa girang.
"Bentar lagi sayang. Sepuluh menit lagi kayaknya sampe,"
"Oke, Ara tutup ya bye Ayah,"
Ara segera menuruni anak tangga dan menghampiri Bunda dan Aldo.
"Ayah sepuluh menit lagi sampe," ujarnya.
"Wah serius, Dek!" Ara hanya berdehem.
"Bunda udah selesai belom masak nya?"
"Bentar lagi," Karissa sangat sibuk menyiapkan makanan untuk menyambut kedatangan suaminya.
Ara dan Aldo sudah berada dimeja makan sembari memainkan ponselnya.
"Kak?" Aldo berdehem.
"Liat sini ishh, lagi ngomong juga," ketus Ara. Aldo masih saja mengotak-atik ponselnya, Ara penasaran ada apa didalam ponselnya sampai Ara dihiraukan.
"Cieeee kepoin Kak Lara," ujar Ara sembari menoel pipi Aldo.
Larasati adalah pengurus osis yang seangkatan dengan Aldo. Ara baru tau jika Aldo menyukai Lara.
Aldo menepisnya, ia melirik sinis ke arah Adiknya. "Apaansih gak sopan tau gak!" ucapnya sembari membuang muka kearah lain.
"Ya lagian kalo ada orang ngajak ngobrol itu liat kedepan bukan maen handphone!" Ara mencibikkan bibirnya kesal. Aldo mengidikkan bahu acuh.
"Berantemm terus kerjaannya! Pusing Bunda liatnya," ucap Karissa sewot. Mereka berdua jika di satukan pasti selalu cekcok.
"Kak Aldo tuhh Bundaaaaaa," rengek Ara.
"Ngaduan terr--" ucapan Aldo terhenti mendengar suara salam dari sang Ayah.
"Assalamualaikum Bunda, Ara, Aldo," ucapnya sembari merentangkan tangan. Melihat itu Karissa, Ara dan Aldo pun segera berlari memeluknya.
"Kesayangan Ayah semua," ujarnya lagi mengecup puncak kepala mereka bertiga.
"Ayah lama sih pulangnya!" rengek Ara.
"Udah yuk kemeja makan, Ayah pasti laper," ujar Karissa diangguki oleh ketiga nya.
Mereka berkumpul bersama dimeja makan yang telah dihidangkan makanan oleh Karissa.
Ara senang sekali akhirnya bisa berkumpul lagi, setelah sekian lama tidak berkumpul semenjak Ayahnya pergi keluar kota untuk pekerjaannya.
"Ara seneng deh bisa kumpul bareng lagi," ujarnya. Mereka tersenyum, Aldo juga bahagia begitupun Karissa.
"Iya, maafin Ayah ya Ara,"
"Gak papa kok Yah,"
"Sebagai gantinya gimana kita pergi ke mall?" Mata Ara berbinar, ia sudah lama tidak mengunjungi mall.
Ara mengangguk 'kan kepalanya antusias.
"Mau mau mau!" girangnya. Mereka hanya terkekeh melihat tingkah Ara.
Selesai acara makan mereka langsung menyiapkan diri untuk pergi ke mall bersama Ayah dan Bunda nya.
•••
Mereka sudah mengelilingi mall mencari baju,tas bahkan celana panjang.
Ara memang menyukai mall tetapi ia jarang mengunjunginya.
Ara berhenti ia merasa seperti ada yang ingin ia keluarkan. Ara pamit pada Ayah, Bunda dan Aldo untuk ke toilet sebentar.
Ara terburu-buru hingga menabrak bahu seseorang dengan keras.
"Duhh," ringisnya, Ara terjatuh sehingga tidak tau siapa yang baru saja ia tabrak.
"Kalo jalan tuh liat-liat!" ujar seseorang yang baru saja Ara tabrak.
Ara mendongak, betapa terkejutnya melihat Hanafi dan Lea bergandengan tangan. Lea yang menyadari itu segera melepaskan tangan nya.
"Le-a kok bisa sama Kak Hanafi?" tanyanya dengan raut bingung.
Lea gelagapan mencari alasan yang tepat untuk pertanyaan Ara. Hanafi berdehem mencairkan suasana.
"Ekhem," Ara menoleh ke sumber suara.
"Gue yang ajak Lea kesini, lo sendiri ngapain disini? Sendirian lagi," ujarnya.
Melihat Lea dan Hanafi rasanya sakit sekali. Bukan 'kah Lea akan mendukung apapun tentangnya dan Hanafi? Mengapa sekarang ia melihat Lea berjalan berdua dengan Hanafi dan bergandengan tangan pula.
Astaga Ara ingin menangis rasanya.
"A-ara sama keluarga kok," sahutnya menahan air mata yang akan terjatuh.
Melihat itu Lea tidak tega, ini semua gara-gara Hanafi!. Ia memaksa Lea untuk pergi bersamanya mencari baju untuk sehari-hari, padahal Hanafi bisa saja pergi sendiri. Lea sempat menolak tetapi Hanafi memaksanya!
'Ra, gue bisa jelasin kok,"
"Jelasin apa sih! Gak guna tau ga!" Sarkas Hanafi. Ia tampak tidak suka dengan Lea yang selalu saja mengutamakan perasaan Ara!
"I-iya apaan sih Lea gak guna tauu," Ara terkekeh, ia sampai lupa tujuan utamanya!
"Gakpapa Lea santai aja kali hehe," ujarnya lagi. Ara masih tersenyum, bukan senyum bahagia melainkan senyum menyedihkan.
Hanafi terlihat tidak perduli dengan perdebatan kecil ini!
"Aku ke toilet dulu ya, Le," ujarnya.
Baru saja Ara ingin melangkahkan kakinya, tangannya dicekal oleh Lea.
"Kenapa, Le?"
"Gue bakal jelasin semuanya Ra, lo nggak marah 'kan?"
Ara terkekeh, untuk apa ia marah? Sudah dari awal Hanafi memang tidak menyukainya bukan?
"Gakpapa, santai aja. Aku ke toilet dulu. Bye!" Ara langsung melenggang pergi, Lea menatap dengan sedih sedangkan Hanafi? Ia terlihat seperti manusia yang tidak punya perasaan!
"Ini semua gara-gara Kakak!" Pekiknya.
"Lebay! Gue biasa aja tuh," ujarnya. Lea berlari meninggalkan Hanafi dengan airmata yang terus menetes.
•••
"Hahaha Ara-ara kamu kok berharap banget sama Kak Hanafi sih," kekehnya, ia masih berada ditoilet. Tangannya menyangga wastafel dengan menatap wajahnya yang berada dipantulan kaca.
Airmata yang terus mengalir dan dadanya begitu sesak. Bagaimana bisa Lea berbuat seperti ini?.
"Gak boleh marah Ara! Inget dia berhak mencintai orang lain oke," senyum Ara merekah menyemangati dirinya sendiri.
Ia segera keluar dari sana dan segera menemui keluarganya.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Syahdan Hanafi (On Going)
Roman pour Adolescents"Apa yang lo suka dari gue?". Tanya Hanafi. "Kamu manis". Jawab Zahra dengan malu-malu. ---