Innielicious Part 2

993 158 38
                                    

Demi Tuhan, Jeongin membutuhkan kekuatan teleportasi. Kemana pun tidak masalah.

Jeongin melangkah malu-malu untuk lebih dekat dengan meja. Kedua iris matanya menatap arah lain, berusaha menghindari tatapan intimadasi wakil ketua dewan. Sayangnya tidak ada obyek lain yang pantas dilihat kecuali tirai merah di sekitar mereka yang menghalang pandangan mata lain untuk mengintip. Meja makan ini cukup tertutup, sukses kian memacu detak jantung yang hasilnya sungguh melemaskan kedua tungkai kaki.

Hyunjin bersidekap. Tubuhnya yang tegap menyandar pada sandaran sofa serta kedua tungkai kaki saling menimpa, "tidak kusangka murid yang baru mendapat ranking nomor satu di kelas 3-D benar-benar seorang pembohong."

Dengan aksen gemetar, sang pemuda rubah berusaha menjawab, "m-maaf, Tuan."

"Tuan? Tidak buruk untuk seekor siluman."

Dua iris emas akhirnya berani menatap sosok pria dewasa—tepat pada tangannya yang tampak kekar. Oh, ia bisa mati jika berani menatap wajahnya.

Harga dirinya kembali jatuh akibat dikatai siluman. Tepatnya, siluman rubah malang yang tidak pernah bisa berpikir untuk main setelah pulang sekolah. Langkah lelahnya akan selalu menuju tempat kerja dan bertugas hingga langit berubah hitam pekat.

Kesunyian menyelinap. Hyunjin tidak lagi melontarkan sesuatu yang dapat mengikis nyawa dan harga diri sang bocah. Begitu pun Jeongin yang kini tampak sibuk menyiapkan niat untuk membeli koran sebelum pulang—mencari lowongan kerja baru, untuk jaga-jaga.

Karena ia yakin setelah ini, ia akan kembali dihukum oleh wakil ketua dewan. Selain dititah untuk merapikan berkas, mungkin ia juga akan bertransformasi menjadi tukang bersih-bersih seantero SOPA. Well, itu pun jika ia masih diizinkan lanjut bersekolah walau sudah dua kali kepergok tidak taat aturan.

Napas berat terhembus pelan, Hyunjin mulai bosan. "Kau ingin aku permalukan di depan orang lain?"

"Maksud anda?"

"Seperti memberi tahu semua orang di sini bahwa kau bersekolah di tempat yang sama sekali tidak memberikan izin untuk bekerja."

Jujur. Hyunjin suka melihat orang yang berlutut.

Daging di atas tulang pipi memerah. Menahan sesak di dada. Tanpa sadar Jeongin mengepalkan tangan disamping kedua tubuh. Lalu spontan berkata, "Maafkan saya karena sudah berbohong dan melanggar peraturan untuk yang kedua kali, Tuan!"

Hyunjin menatap dengan salah satu alis terangkat, "Maaf?"

Buah adam mendadak terasa menghalangi jalur ludah yang sudah ditelan paksa, "Ya. Sungguh. Banyak alasan penting yang harus anda ketahui jika saya tidak mendapat pekerjaan. Seperti—"

"Tidak usah banyak bicara." Salah satu tangan terangkat. Membetulkan letak kotak tisu bergaya klasik yang tadi sempat terjatuh akibat tubrukan tubuh mungil bocah surai merah, "saya hanya memiliki sedikit waktu untuk mengunjungi tempat ini. Yang tidak kusangka adalah tempat pelarianmu selama ini. Berhubung saya masih memiliki urusan di tempat lain, lebih baik kau segera menjalankan tugas hinamu itu."

Kedua mata rubah akhirnya berani menatap garis wajah wakil ketua dewan, "... jadi?"

"Layani saya seperti tugasmu yang seharusnya. Untuk masalah pekerjaan akan kita urus di sekolah. Karena saya masih dapat memandang tempat."

Perasaan lega—walau sedikit—cukup menenangkan jantung yang sedari tadi sibuk berpacu tak karuan. Untuk menunjukkan rasa hormat dan setidaknya rasa terima kasih, Jeongin membungkuk terlampau dalam sehingga bandana foxie ears jatuh membentur lantai.

Pendengaran Jeongin tidak mungkin salah. Tapi baru saja ia mendengar suara tawa kecil dari wakil ketua dewan. Sayang Jeongin bukanlah bocah yang peka sehingga tidak sadar bahwa tawa barusan tersirat ledekan.

Scenario (s)Where stories live. Discover now