Hard to Believe: Part 1

1.3K 150 17
                                    

Deru mobil menyala, nyaris tidak bersuara. Jeongin segera mengunci seluruh pintu mobil Fisker Karma barunya. Sebelum menginjak pedal gas, ia memastikan bahwa sabuk pengaman sudah melingkari tubuh Hyunwoo di jajaran bangku belakang. Sedangkan tas sekolah imutnya sudah tersimpan manis di atas jok samping pengemudi.

"Lapar, hm?"

Mobil sudah melaju. Hyunwoo menjawab semangat, "Lapar! Es krim!"

Jeongin, dengan fitur wajah bundar dan senyum manisnya itu, tertawa kecil disertai kedua mata yang menyipit mungil.

"Es krim? Hanya itu tidak akan mengenyangkanmu, Hyunwoo."

"Kalau begitu kentang goreng!"

Telapak tangan mengusap rambut-menyingkirkan beberapa helai poni yang mulai memanjang. Jeongin membiarkan putra semata wayangnya mengoceh ria. Pikirannya sibuk memikirkan menu makan siang apa yang pantas untuk perut kecil Hyunwoo. Kemudian, dering ponsel mengalun lembut. Jeongin melirik iPhone 11 barunya yang bersandar pada penyangga di atas dasbor.

Panggilan masuk.

Hwang Hyunjin.

Dengan sangat terpaksa, Jeogin menjawab panggilan. Suara dijadikan mode speaker agar terdengar jelas untuknya dan Hyunwoo di belakang.

'Jeongin sayaaaang.' Terdengar tawa. Jeongin memutar kedua bola mata.

"Mau apa kau, Hyu-"

"AYAH?!" Kedua tangan mungil Hyunwoo menggapai ke depan. Sedangkan tubuh kecilnya masih tersangkut sabuk yang lentur. Anak itu tidak mampu membendung rindu pada sosok ayah yang sudah satu minggu ke belakang tidak berkunjung ke rumah. Terakhir mereka berbicara di telepon, Hyunjin mengatakan bahwa ia sedang sibuk mengurus pekerjaan bersama paman Minho dan paman Changbin.

Jeongin menghela napas gusar. Keadaan di dalam mobil mendadak sangat gaduh. Hati kecilnya sedikit menggerutu. Hyunjin menelepon di saat yang sangat tidak tepat.

"Hahaha. Apa ayah baru saja mendengar suara Hyunwoo?"

"Iya! Di sini ada Hyunwoo!" Kedua pipi memerah bak stroberi dan kaki tidak mau diam. Hyunwoo sudah menyerupai cacing kepanasan. Anak itu ingin sekali merampas ponsel dari dasbor dan mengoceh tentang harinya di TK hingga Hyunjin tidak sanggup lagi membalas-seperti biasa.

Hyunjin, dengan sabar merespon segala penuturan yang keluar dari sang anak semata wayang. Ia sadar betul telah mengusik Jeongin yang sedang menyetir. Bagaimana pun, Jeongin baru bisa menyetir dan masih relatif sensitif-takut-takut salah ambil langkah dalam mengemudi karena konsentrasinya terusik.

Mengabaikan celoteh imut Hyunwoo bersama Hyunjin, Jeongin berusaha mencari tempat makan terdekat. Tujuan awalnya adalah McD-namun rupanya masih agak jauh. Yang terlihat dalam jarak dekat hanyalah supermarket besar. Tanpa pikir dua kali, Jeongin segera menuju lokasi dan memasuki basement parkir.

.

Virus bernama risau senang sekali menyerang. Jeongin lelah untuk sekedar melihat layar ponsel. Pikirannya kalut dan kusut seperti untaian permen kapas. Kau tahu, menjaga anak seorang diri itu sangatlah sulit.

Anak kecil mana yang tidak mengalami fase tidak mau diam ke sana dan ke mari? Rasanya sudah pegal jika mengingat langkah lincah Hyunwoo di siang hari. Mengajak mandi bersama bebek kuning saja harus disertai rajukan, ocehan, dan kejar-kejaran. Padahal, jagoan kecilnya itu sudah masuk TK.

Tanpa Jeongin sadari, Hyunwoo adalah pantulan cermin atas dirinya di masa dulu. Sesuai mitos, kelak ketika anak laki-laki kian tumbuh dan berkembang, sifat dan perawakannya akan mengikuti sosok sang ayah. Mungkin... Jeongin harus menikmati hari di mana Hyunwoo masih kekanakan dan imut seperti ini. Ia belum siap melihat Hyunwoo tumbuh menjadi sosok seperti dia yang sudah tidak ingin lagi Jeongin jumpai dalam berbagai relung zaman.

Scenario (s)Where stories live. Discover now