36. Obsession

17 6 0
                                    

"Eh gimana gimana tadi maksudnya?"

"Bentar-bentar gue mikir dulu."

"Ra usah mikir, utekem ra di takdirno nggo mikir, Cok!" sembur Jun yang ternyata udah ada disamping Chan.
(Gak usah mikir, otak Lo gak ditakdirkan buat mikir, Cok!)

Chan melirik Jun sebentar, "Lo udah kayak jamet aja Jun, muncul gak diundang jangan bilang nanti mau ngilang lagi, nih."

"Mon maap bapak Mahendra Chandrawinata, itu namanya Jelangkung bukan jamet. Kalo jamet itu nama lainnya Chittaphon Leechaiyapornkul aka Ten ensiti," ralat Jae yang disertai kakakan di akhir.

"Nahlo si Dilan ada disini juga."

"Gue dari tadi ngikutin Lo bangsat!" teriak Jae tepat di telinga Chan yang mengakibatkan empu menggosok telinganya, gendang telinganya enggak rusak kan ya?

"Btw, Lan. Kok Lo tau nama boiben Kuriyah?"

"Si Dilan ngepens sama mbak ayu nih!" tuduh Jun.

"Lah! Lo juga tau IU, Jun?"

"Terkenal kale."

"Gue enggak tau tuh!"

"Iyadah yang penboi!"

Dan obrolan unfaedah mereka larut sampai di depan kelas, palingan juga ke kantin nanti. Yakin deh, orang kek mereka tuh gak bakalan kerasan di dalem kelas, apalagi sekarang gak ada pelajaran yekan.

"Lin."

Panggilan Sung hanya dibalas deheman sama Jeje, posisinya mereka lagi jalan ke kelas—tadi ditinggal gengnya Chan, biadab emang.

"Kamu yakin alasan mau pindah rumah hanya itu saja?"

"Maksudnya?" Jeje berhenti didepan kelas, tepatnya di bangku yang emang udah ada disitu.

Ngerti maksud Jeje akhirnya Sung inisiatif buat duduk yang kemudian diikuti sama Jeje. "Saya takut malah jadi obsesi," Sung menjeda kalimatnya. "Pernah berpikir seandainya menjadi ayah kamu yang katanya menentang keinginanmu atau kalau tidak, pernah memposisikan kamu sebagai nenekmu?"

Jeje menggeleng. "Gue cuma mau pindah, udah gak kuat sama omongan-omongan mereka, Sung."

"Iya saya tahu, yang saya tanya apa kamu pernah berpikir seandainya kamu ada diposisi ayah kamu, Lin?"

Lagi, Jeje menggeleng. "Kemarin bapak juga bilang gini," adunya.

"Ayah kamu sudah tahu tentang ini?"

Jeje melirik Sung sekilas kemudian mengangguk.













Malam setelah pengambilan raport di rumah Jeje

Hari itu bapaknya Jeje pulang cepet, katanya habis ketemu sama beberapa koleganya. Waktu masuk rumah beliau mendengar suara rintihan yang dapat dipastikan bahwa itu adalah Jeje.

Ya, Jeje menangis kalau sebabnya tidak perlu ditanya lagi, uangnya hilang.

"Ada apa?" tanya bapak begitu masuk kamar Jeje.

Rina—ibunya Jeje— melirik Jeje sekilas guna mempertimbangkan untuk memberi tahu masalahnya atau tidak. "Uangnya Jesslyn hilang," katanya pada akhirnya.

Bapaknya Jeje mendekat dan mengusap pelan rambut anak semata wayangnya itu, rasanya enggak perlu ragu lagi kalau Jeje memang bener-bener anak kesayangannya bapak Hindra.

"Bapak tahu maksud kamu, Lin. Bapak juga tau kalau kamu pengin pindah rumah. Bapak tidak pernah melarang kamu. Mau kamu pindah rumah atau apapun itu, asal tidak melanggar aturan. Bapak cuma bisa menyetir dan mengawasi kamu dari belakang. Kamu sudah besar, bapak yakin kamu sudah bisa menentukan mana yang baik dan mana yang tidak.

One Class | LengkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang