BAB 14. Sabarlah, Mila

428 27 0
                                    


Sudah seminggu Mila tinggal di rumah Bu Ida, ibu Keenan. Selama itu juga Hani memperlakukan Mila dengan baik. Namun tidak dengan Bu Ida yang sejak kedatangan Mila hatinya berat menerima Mila.

Siang itu, Bu Ida sedang menyiapkan sop iga yang baru matang, menata rapi ke dari panci ke mangkuk. Hani datang menghampiri ibunya di dapur sambil membawa sayuran yang baru dibeli di pasar.

"Wah, kayaknya ada yang masak-masak enak nih." Hani dengan ceria menggandeng tangan ibunya.

Bu Ida menarik tangannya tidak sabar. "Haduh, kamu ini. Ya awas, nggak lihat apa ibunya lagi sibuk nyiapin makanan."

"Tumben masak sop iga, Bu. Kan kita di rumah nggak ada yang doyan." Hani menatap bingung sop iga.

Bu Ida tersenyum sambil mengambil rantang empat susun dan mulai menempatkan sog iga ke salah satu rantang. "Ya memang bukan buat kita. Ini kan buat menantu ibu Khanza."

Hani tersenyum. Ia mengerti ibunya begitu menyayangi Khanza kakak iparnya. "Mbak Khanza pasti seneng ini."

"Ya mesti. Masakan Ibu nggak ada lawan. Lagian bagus buat dia biar kehamilannya makin sehat."

Hani tertawa. "Iya deh. Memang Nyonya Ida Kusuma master chef nomor satu se-Jawa Tengah." Hani kemudian ingat sesuatu. Lalu ia mengambil mangkuk dan mau menyendok sop iga ke mangkuk tersebut.

Bu Ida heran dan mencegah Hani. "Lho? Kamu katanya nggak doyan? Kalau mau makan?"

"Bukan buat Hani lho, Buk," ujar Hani. "Buat Mbak Mila. Dia kan juga lagi hamil. Perlu gizi dan nutrisi."

Bu Ida langsung menempis tangan Hani dan merebut mangkok dari tangan gadis itu dengan raut tidak senang. "Halah! Nggak usah! Wong Ibuk masak buat Khanza kok. Bukan buat dia!" ketus Bu Ida.

Hani menarik napas dan menatap ibunya serius. "Lho? Kenapa, Bu? Apa salahnya kalau kita merawat Mbak Mila dengan baik selama dia di sini?"

Bu Ida memberengut. Tepat saat itu Mila berjalan menuju dapur hendak mengambil minuman tanpa diketahui Bu Ida dan Hani.

"Ibuk sebenarnya nggak suka Keenan bawa perempuan itu ke sini. Buat apa to? Dia kan bukan siapa-siapanya Keenan. Bukan istrinya, bukan sedulur kita juga," celetuk Bu Ida.

Deg! Mila langsung berhenti melangkah dan memilih tetap diam sambil mendengarkan Bu Ida dan Hani diam-diam. Hatinya sedih mengetahui Bu Ida tidak menyukainya. Memang sejak awal Bu Ida tidak menyambutnya begitu baik, tidak ada senyuman ataupun tegur sapa. Hanya Hani yang selalu menghiburnya. Bahkan Hani mau berbagi kamar dengan Mila dan membantu jika Mila perlu sesuatu.

"Astaghfirullah, Bu. Jangan ngomong begitu. Kasihan Mbak Mila. Kan Ibu tahu sendiri dia udah nggak punya siapa-siapa makanya Mas Keenan bawa dia ke sini," kata Hani.

"Ibuk nggak percaya sama perempuan itu. Masa dia nggak punya kenalan atau teman sama sekali buat bantu dia? Kok malah numpang di sini? Kan kasihan Khanza to. Gimana coba perasaannya Khanza?"

"Memang kenyataannya begitu, Bu. Mbak Mila nggak punya siapa-siapa lagi buat diandalkan."

"Itu kan kata dia! Ngakunya nggak punya kenalan, tapi kok bisa hamil?"

Hani menggeleng tak percaya ibunya bisa begitu sinis. "Buk, Ibuk kan udah tahu musibah yang dialaminya Mbak Mila. Itu bukan kemauannya dia."

"Udah Ibuk bilang Ibuk nggak percaya. Itu kan cuma akal-akalannya dia. Ngakunya diperkosa. Diperkosa apa emang mau? Zaman sekarang banyak to perempuan modus. Asline yo perempuan nakal. Saiki malah numpang tempat mantannya. Opo ra isin yo? Meh, dasarnya dia mau menggoda anakku, Keenan."

Pesona Suami Kedua (Pernikahan Kontrak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang