Tujuh Belas

53 14 3
                                    

Karena menekan bintang di langit terlalu sulit, jadi tolong tekan bintang di pojok kiri saja.

Sankyuuu♡

__________________________

So, what do you recognize the most? laughter or hurt?
__________________________

Ini adalah hari ke tujuh Nazwa berada di rumah sakit.

Deven tampak uring-uringan dengan wajah pucat dan kantung mata yang hitam. Berdiri di ruang tamu dengan sang papa yang memandangnya tajam.

"Dev, Papa nggak suka liat kamu kayak gini. Ada apa sebenernya, hm?" Deven menunduk dalam, sama sekali tidak berniat untuk menjawab. "Jangan bilang kamu kayak gini karena cewek? Putus cinta? Tugas kamu itu cuma belajar, nggak ada cinta-cintaan buat anak kecil!" tegas pria itu.

Deven mengangguk. "Deven nggak pacaran, Pa."

"Bagus kalo gitu, sekarang kamu tidur. Besok harus bangun lebih awal buat belajar."

"Iya, Pa," sahut Deven singkat.

Saat Deven nyaris melangkah menuju kamarnya, sang Papa kembali mengintrupsi.

"Satu lagi, jangan sampe badminton bikin nilai kamu turun. Sejak awal Papa nggak pernah ngizinin kamu jadi atlet badminton," ucap pria berusia tiga puluh tahun itu dengan wajah otoriternya. "Dasar anak keras kepala." Lalu kepala keluarga Chao Fa pergi meninggalkan si sulung.

Deven mengepalkan kedua tangannya erat, kepalanya kian menunduk dalam demi menyembunyikan wajahnya yang mengeras.

Bertha setengah berlari menghampiri putranya, merangkul pundak cowok itu penuh kasih sayang. "Jangan diambil hati, ya. Papa cuma mau yang terbaik buat Deven," kata Bertha.

Tubuh Deven bergetar, kedua tangannya terangkat memegangi sisi kepala.

"Sayang, ada apa? Kepala kamu sakit?" tanya Bertha panik. Wanita cantik itu menarik satu per satu tangan Deven yang mulai menjambaki rambutnya sendiri.

Cukup lama Bertha berusaha untuk menjauhkan tangan Deven agar berhenti menjambaki rambut, sampai akhirnya Deven menurunkan tangannya sendiri.

Deven mendongak, memandang sang Mama dengan tatapan polos, maniknya berkaca-kaca.

"Mama," panggil Deven dengan suara bergetar. "Papa nyakitin Deven, lagi?"

Manik Bertha membola. Cepat-cepat dia meraih telepon rumah di atas nakas, menghubungi seseorang yang sudah begitu akrab dengan keluarga Chao Fa.

***

Untuk yang kesekian kalinya gadis cantik itu terbaring lemah di ruangan bernuansa putih.

Sunyi senyap tanpa tanda-tanda kehidupan yang berarti. Hanya ada suara alat medis dan embusan napas dari seorang cowok berseragam SMA.

Cowok jangkung itu dilanda kekhawatiran juga kebimbangan. Di satu sisi dia ingin menemani sahabatnya, tetapi di sisi lain dia juga ingin dan harus menemani si gadis cantik.

Setelah perdebatan sengit antara logika dan hati akhirnya dia memilih untuk tetap di sini menemani gadis cantik yang masih setia menutup mata.

Alasannya tentu karena gadis itu lebih membutuhkan kehadirannya. Tidak ada keluarga atau kerabat yang menunggui gadis itu, hanya dia yang memiliki kemungkinan paling besar untuk menemani si gadis.

Lagi pula, ada Aru yang akan menemani sahabatnya, dia tidak perlu terlalu khawatir.

"Naz, cepet sadar, gue nggak tahu sampai kapan bisa bertahan liat kondisi lo kayak gini." Andrian menatap wajah pucat Nazwa dengan mata berkaca-kaca, dadanya sesak, seolah tidak ada oksigen yang berhasil masuk ke dalam paru-parunya.

Identity [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang