Dua Puluh Empat

36 10 6
                                    

__________________________

"Since the beginning, happiness was never mine ...."
__________________________

Harapan Nazwa untuk bertemu Deven di sekolah ternyata masih tetap menjadi sebuah harapan, bahkan sampai satu minggu lamanya.

Deven tidak ke sekolah lagi setelah Nazwa tahu semuanya. Setelah Nazwa dibuat menangis setiap malam karena mengkhawatirkan cowok itu.

Seperti malam ini.

Air mata kembali menghiasi pipi Nazwa yang masih memiliki lemak bayi. Mengalir deras seolah tidak ada lagi hari esok untuk menangis.

Di kusen jendela kamarnya gadis bersurai hitam menatap gulita malam yang saat ini tidak dihiasi gemintang. Bintang-bintang yang selalu menemaninya, hilang ditelan kegelapan sang malam.

"Deven ...." panggil Nazwa lirih. "Gue selalu berpikir kalo hidup gue paling menyedihkan, paling menderita dan paling cacat." Tetes-tetes air mata jatuh lagi di pipi chuby-nya, turun menyusuri dagu lalu membasahi leher. "Ternyata gue salah. Tuhan maha adil. Bahkan untuk lo yang dikenal banyak orang sebagai sosok yang nyaris sempurna ... punya sisi gelap dan sakit yang gue sendiri pun belum tentu sanggup merasakannya."

Pandangannya kabur terhalang air mata.

Matanya sembab juga memerah. Gadis itu benar-benar terlihat kacau.

Nazwa menunduk. "Sekarang lo pacar gue. Harusnya gue ada di samping lo disaat-saat tersulit," lirihnya sendu.

"Besok gue harus ketemu sama lo."

Bagaimana pun caranya Nazwa harus bertemu Deven. Dia tidak akan menunggu lagi. Sudah cukup adegan tunggu-menunggunya. Sekarang sudah saatnya Nazwa 'bergerak'.

"Gue pasti ketemu sama lo. Nggak peduli walau harus berhadapan sama papa lo."

Ya, Nazwa memang sudah mengetahui semuanya dari Andrian. Termasuk perihal kepala keluarga Chao Fa yang menjadi tersangka utama—sumber penderitaan Deven.

Nazwa mencoba bernapas santai. Mengontrol diri agar berhenti menangis.

***

"Yan, cepetan dikit!" teriak Nazwa agar Andrian bisa mendengarnya.

Andrian balas berteriak, "Ini juga udah cepet, Naz. Sabaaar!" Walau begitu tangannya bergerak tancap gas, membuat Nazwa yang tidak siap nyaris terjungkal.

"MATI LO, YAN. MA-TI!" teriak Nazwa dengan mata terpejam.

Andrian tertawa. "Ya, jangan, dong. Gampang banget main mati-mati aja!" ujarnya sewot. Nazwa mendengkus.

Hanya butuh hitungan menit untuk dua remaja berseragam sekolah itu sampai di tempat tujuan.

Andrian berjalan cepat mengusul Nazwa setelah memarkirkan motornya seenak jidat. Sudah biasa. Nanti juga ada orang yang membenahinya—memarkirkan motor Andrian dengan benar di tempat seharusnya.

"Nyantai, sih, Naz. Ekspresi sama cara jalan lo malah bikin orang takut tahu!"

Mendengar itu Nazwa menghentikan langkah. Manik hitam mendelik ke arah si cowok jangkung. "Mending lo diem." Lalu gadis itu kembali melangkah.

Menekan bel tiga kali, akhirnya pintu raksasa di hadapan Nazwa terbuka. Memperlihatkan cowok berkaus biru muda dengan wajah kucal khas bangun tidur.

Cowok itu menguap lebar. Sebelum manik abunya ikut melebar tatkala menyadari keberadaan Nazwa.

"Nazwa?" panggil Deven sesantai mungkin. Dia tersenyum kikuk. Membuka pintu lebih lebar agar Nazwa melangkah masuk.

Pagi-pagi sekali dia bermaksud untuk menemui mamanya yang tengah sarapan di taman bunga bagian selatan rumahnya. Namun, dia justru dikejutkan dengan kedatangan Nazwa beserta Andrian yang mengekor seperti anak bebek.

Identity [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang