Dua Puluh Lima

28 11 8
                                    

__________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

__________________________

Karena terlalu sempurna itu ...

Dosa.
__________________________

Tirai mata cowok itu terbuka. Manik kelabu bergulir ke kanan dan kiri memindai keadaan sekitar.

Dia berada di dalam kamarnya.

Padahal yang terakhir dia ingat, dia sedang makan di cafetaria sekolah bersama Andrian dan Aru.

Cowok berkaus biru muda itu turun dari ranjangnya. Kemudian merenggangkan otot-otot tangan.

Ah, rasanya seperti habis tertidur berhari-hari.

"Tidur berhari-hari?" Buru-buru Deven mengecek ponselnya, melihat hari dan tanggal yang tertera di sana. "Hari senin. Itu artinya udah tujuh hari sejak gue makan di cafetaria," desis cowok itu. Dia mendongak, berteriak cukup keras lalu melempar ponselnya hingga menghantam dinding.

"Deven?"

Deven menoleh saat seseorang tiba-tiba saja berada di dalam kamarnya.

"Nona Clara ... ada apa?"

"Saya ingin mengobrol sebentar, bisa?"

Deven mengangguk kecil.

"Mari duduk," ajak Deven, setelah duduk lebih dulu di sofa tunggal.

Mereka duduk saling berhadapan. Keduanya sama-sama mengukir senyum.

"Bagaimana perasaanmu saat ini?" Suara lembut Clara menjadi membuka topik pembicaraan mereka.

"Ngh ... tidak terlalu buruk," jawab Deven sembilu. Dia menatap Clara lalu berkata, "Padahal awal bulan ini mereka berdua sama sekali tidak muncul. Kenapa dipertengahan bulan mereka justru sering sekali muncul?" tanya cowok itu penasaran.

"Selama seminggu ini Dion menguasai tubuh kamu. Saya mengobrol cukup banyak dengannya." Lagi, Clara mengukir senyum.

"Apa saja yang Dion katakan?"

"Apa yang mengganggu pikiranmu saat ini?" Psikiater cantik itu balik bertanya.

Deven terdiam beberapa menit sebelum akhirnya menjawab, "Banyak. Banyak yang saya pikirkan."

"Mau membaginya dengan saya?"

Sulung Chao Fa mengangguk dua kali. "Saya berniat untuk menjadi mualaf. Tapi saya tahu baik mama maupun papa pasti akan menentang keputusan saya."

Clara tentu sangat terkejut mendengar mendengar pengakuan Deven. Tapi sebagai seorang psikiater dia tidak mungkin menghakimi Deven begitu saja. "Boleh saya tahu alasannya?"

"Cinta." Singkat, padat, akurat.

Valid no debat!

Diam tanpa kata. Clara sama sekali tidak berkomentar perihal niat Deven untuk pindah agama. Dia juga tidak akan meragukan cinta seorang Alfonsus Randeven.

Identity [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang