01 | Hal biasa

97 10 0
                                    

Assalamu'alaikum temen-temen ^^

SELAMAT MEMBACA

SEMOGA SUKA, YA ^^

--- >•< ---

Lagi-lagi momen yang ia benci harus ia rasakan lagi. Sungguh, Shezan ingin berteriak kesal rasanya. Untuk cuaca cerah sore hari ia tak masalah jika harus merasakan momen seperti ini. Pasalnya cuaca kali ini tidak sangat tidak mendukung di momen yang di rasakannya detik itu.

Langit yang mulai mendung, jalanan yang mulai sepi, di tambah lagi ponselnya mati. Lalu ia harus merasakan momen yang sangat tidak ia inginkan sama sekali, rantai sepeda yang lepas. Sore ini, dengan cuaca yang sangat tidak mendukung, ia harus beralih peran dari siswi menjadi bengkel dadakan untuk sepedanya.

Helaan nafas lelah menjadi salah satu cara ia melepaskan penat. Sejujurnya ia sangat pusing. Tapi ia tahan, ia harus sampai rumah sebelum jam lima sore untuk membantu Ibunya tutup toko roti.

"Ya Allah, semoga sepedanya mau di ajak kerja sama. She pengen cepet pulang biar bisa bantuin Ibu di toko," ucapnya lirih hampir mengeluarkan air mata.

Mau tak mau, ia harus mengutak-atik sepeda warna birunya itu. Sepeda pemberian Ayahnya sekitar dua tahun yang lalu sebelum Ayahnya meninggal dunia.

Setiap sepedanya rusak seperti ini, ia selalu ingin menangis. Teringat Ayahnya yang harus bekerja keras waktu itu untuk membelikannya sepeda yang sekarang ia gunakan untuk berangkat dan pulang ke sekolah. Rasa semangat kembali mencuat jika teringat kisah memilukan itu. Sekarang, hanya Ibu yang ia punya. Ia harus belajar rajin agar bisa sukses dan membahagiakan Ibunya.

Meskipun Shezan tak punya sepeda motor layaknya teman-temannya yang lain untuk pergi ke sekolah, tak apa. Ia tidak akan meminta pada Ibunya. Sepeda ini lebih dari cukup untuknya. Lebih baik uangnya ia tabung untuk keperluan kuliah nanti.

Setelah berkutat dengan rantai sepeda yang penuh dengan oli, akhirnya rantai yang lepas bisa di benahi. Ia melempar rantai yang ia gunakan untuk memasang rantai sepedanya tadi. Lalu menatap telapak tangannya yang menghitam terkena oli.

Shezan kembali tersenyum. Tak apa, ia rasa mungkin ini bagian perjuangannya untuk sukses. Air matanya kembali menetes. Ia tidak bisa bohong pada dirinya sendiri. Capek dan pegal selalu ia rasakan. Tapi tak mau merepotkan Ibunya jika ia meminta sepeda motor.

"Alhamdulillah ya Allah. Sepedanya mau di ajak kerjasama. Saatnya pulang!" ucapnya tersenyum naik keatas sepedanya.

Shezan mengayuh sepedanya dengan semangat. Pokonya, ia harus cepat sampai toko. Ia harus membantu Ibunya kali ini. Saat jarak hampir dekat dengan toko roti tempat Ibunya bekerja, ia memelankan sepeda yang ia tumpangi. Dia menormalkan deru nafasnya yang memburu, masih dengan kaki yang mengayuh sepeda.

Entah ia yang tidak tahu atau memang tidak paham dengan keadaan sekitar, Shezan melajukan sepedanya di samping genangan air.

Srettttt

Detik itu juga sepeda motor melintas. Alhasil genangan air itu mengenai dirinya. Masih dengan rasa terkejutnya atas kejadian yang tiba-tiba, She menepikan sepeda yang ia kendarai ke tepi jalan.

"Makanya, kalau di jalan, tuh, lihat-lihat keadaan sekitar!" ucap seorang remaja laki-laki dengan seragam yang sama dengannya.

"Mana lihat keadaan dia. Pipinya kan gede kaya badannya, makanya sampai nutupin matanya!" sahut siswa lain.

Senja di Ujung KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang