06 | Pindah ?

7 4 0
                                    

Assalamu'alaikum temen-temen ^^

Selamat membaca
Semoga suka, ya ^^

--- >•< ---

Terhitung sudah tiga hari She tidak bertemu dengan Diva. Hari ini ia memutuskan untuk menemui Diva sepulang sekolah nanti. Dipulangkannya lebih awal seluruh siswa sebab ada kepentingan dari pihak sekolah memberikan She peluang untuk bisa menemui Diva, anak kecil yang menjadi teman barunya itu.

She mengeluarkan sepeda miliknya dari tepat parkir. Tidak seperti siswa lain yang dengan bebas bisa memarkirkan sepeda motor di tempat parkit utama. She memarkirkan sepeda miliknya di dekat gudang samping kantin tiga.

Itu pilihannya sendiri. Menurutnya, itu tempat yang strategis untuk mengamankan sepeda birunya itu. Lagi pula, tidak aman bagi sepda miliknya itu jika ia memaksakan untuk memarkirkan di barisan sepeda motor milik siswa lain.

She tidak ingin sepedanya di rusak seperti kejadian yang ia alami dua tahun yang lalu. Tepatnya saat ia duduk di bangku kelas sepuluh. Sepedanya hampir rusak sebab di desak oleh beberapa motor siswa-siswi. Bukan hanya itu, sepedanya akan menjadi sasaran empuk siswi yang membullynya jika ia tidak mau menuruti perintah mengerjakan tugas milik siswi itu.

Itulah alasannya mengapa memindahkan sepeda miliknya di tempat yang sekarang. Tenang saja, ia sudah meminta izin pada bapak yang memegang kunci gudang itu. Sampai sekarang, ia masih tidak tahu alasan ia selalu menjadi bahan bullyan. Entahlah dugaannya hanya ada dua, dia bukan dari keluarga kaya raya yang bergelar sultan dan mungkin fisiknya yang tidak secantik siswi di sekolah itu.

She melanjutkan jalannya seraya menuntun sepedanya. Langkah kakinya berhenti pada bapak penjual makanan ringan di depan gang perumahan dekat sekolahnya. She memesan tiga makanan ringan lima ribuan untuk ia makan bersama Diva dan anak panti lainnya. Entahlah ada banyak tidaknya anak yang tinggal di panti itu.

She hanya melihat beberapa anak tidak sampai dengan sepuluh orang saat ia mengantar Diva waktu itu. She menyimpan uang kembalian sebesar liam ribu ke dalam saku rok abu-abunya. Jarak menuju panti yang cukup jauh membuat She memilih menaiki sepedanya.

Sesampainya She, ia menempatkan sepedanya di tempat seperti saat pertama kali ia berkunjung mengantarkan Diva. She mengucapkan salam saat di depan pintu masuk. Disambutlah ia oleh ibu yang mengurus panti tersebut.

"Kak She!" panggil Diva teriak dari kejauhan.

She melambaikan tangannya paa Diva yang berada di ujung sana. Diva berlari mendekat, lalu menarik pergelangan tangan She untuk ikut dengannya.

"E-eh mau kemana?" tanyanya.

"Ke taman kaya kemarin, kak."

"Sebentar."

Atensi She beralih pada ibu panti, "Saya izin keluar sama Diva dulu ya, Bu?"

Ibu itu tersenyum dan mengangguk, "Iya."

Keduanya mendudukkan diri tepat di bawah kursi panjang, diatas rumput hijau. Hari sebelumnya tidak hujan, sehingga rumput yang mereka duduki tidak basah. She meberikan bungkusan makanan kepada yang dibelinya tadi pada Diva.

"Nih, buat kamu. Jangan lupa di bagi sama temen kamu yang lain, ya?"

"Wah terima kasih, kak."

"Maaf, ya, kakak cuma bisa ngasih itu aja."

"Ini udah banyak, Kak. Pasti nanti temen-temen suka."

She tersenum lega mendegar ucapan Diva. Sungguh, rasa bahagianya membuncah kala ia bisa memberi kepada orang terdekatnya. Berkali-kali ia mengucapkan syukur.

°°°•°°°

Bian memasang wajah masam. Di letakkannya tas hitam miliknya dengan sedikit kasar. Arfa pura-pura tidak memperhatikan kedatangan Bian di café saat itu. Dia dapat menebak bahwa usaha Bian untuk pindah sekolah gagal seratus persen. Bian mengambil kembali yang ia buang asal tadi. Menyimpannya pada tempat tas dan mengannti seragamnya dengan pakaian yang lebih santai.

Tanggannya mengampil apron barista, lalu memakaiannya pada tubuhnya sendiri. Masih dengan wajah masamnya, Bian membantu Arfa melayani pelanggan di café itu.

"Gagal?" tanya Arfa membuka percakapan.

"Ck, lo enggak asik, ah. Basa-basi dulu lah tadi gimaan gitu. To the point banget lo."

"Kebanyakan basa-basi! Dari raut wajah lo aja udah kelihatan."

"Ck, enggak gitu juga kali ah."

"Lo juga aneh-aneh aja. Udah tahu bentar lagi lulus nekat pindah sekolah lo."

"Kalau bukan karena saudara tiri laknat gue itu ogah banget gue ngurusin berkas ujung-ujungnya gagal."

"Udah, jalanin aja. Sebentar lagi lo lulus. banyakin waktu buat belajar dan fokus rawat ibu lo, Bi."

"Gimana mau fokus belajar, Fa? Pagi gue sekolah, siang kerja, sore jaa Ibu di rumah sakit."

"Lo masih pengen lanjut kuliah, kan?"

Bian mengangguk yakin, "Pengenlah!"

"Minta ridha Ibu lo. Kalau lo belum bisa maksimalin lewat belajar. Insyaallah lo bisa dikasih jalan sama Allah atas ridha Ibu lo, Bi. Kuncinya cuma satu, jangan ngeluh saat rawat Ibu lo."

"Thanks, Fa."

"Gimana kabar ibu lo?" tanya Arfa.

Bian tersenyum getir. Tangannya masih sibuk meracik kopi pesanan pelanggan. Pertanyaan Arfa sederhana, tapi itu sumber luka baginya.

"Sorry," ucap Arfa yang tak kunjung mendapat balasan dari Bian.

"Sans."

"Lo pulang aja, jaga ibu lo, Bi."

"Gue baru aja kerja malah lo suruh pulang. Gue masih butuh uang bray!"

"Gue tahu lo pasti capek, nanti masih jagain ibu lo di rumah sakit, kan?"

"Terus kenapa? Kan emang itu tugas gue setiap hari."

"Muka lo kelihatan lelah, bray. Udah sono pulang."

"Lo kalau pengen pulang sono, ah! Gue kerja jangan ganggu gue."

"Emang kepala batu lo."

Bian tidak mengubris ucapan Arfa. Dirinya tengah sibuk membuat pesanan pelanggan serta bergerak kesana kemari untuk mengantarkan pesanan pelanggan. Bian melihat jam yang menempel pada dinding café. Tiga belas menit lagi durasi bekerjanya selesai.

"Gue duluan, Fa. Kalau Isham kesini, titip salam buat dia."

"Hati-hati lo di jalan. Awas ngijak semut."

"Ga lucu. Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam."

Bian mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Motornya melaju membelah jalanan yang ramai sebab jam pulang kerja. Laju motornya yang berarah ke arah barat, kilauan warna emas menjadi pusat perhatiannya kini.

Bibir Bian tertarik ke atas membentuk lengkungan. Warna jingga masih menjadi warna kesukaannya. Terlebih memori ingatannya tertuju pada sahabat kecilnya sepuluh tahun yang lalu. Bian makin melebarkan senyumnya. Masih bisakah ia bertemu dengan gadis cantik teman kecilnya itu?

Senyum Bian luntur kala mengingat peristiwa kebakaran waktu itu. selain ia kehilangan teman sama kecilnya, peristiwa itu juga yang membuatnya hanya tinggal bersama ibunya. Bian mengucap istigfar dalam hati. Tak sepantasnya ia menyalahkan takdir yang telah di tetapkan oleh-Nya.

Meski begitu, besar harapannya bertemu dengan gadis cantik yang entah berada di mana sekarang. Harapnya hanya satu, ia tidak kehilangan ibunya yang sekarang berbaring melawan sakitnya di rumah sakit. Sudah cukup ia kehilangan Ayah dan juga teman masa kecilnya meski ia sendiri tidak tahu kapan akan bertemu.

--- >•< ---

To be continue
See u next part

Terima kasih yang sudah baca ^^

Senja di Ujung KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang