BAB V - SEBUAH KISAH CINTA YANG TRAGIS

196 27 1
                                    

Lepas subuh aku berpamitan pada Paman Syarif. Ingin segera kutuju Bandar Gresik. Dari sana aku dapat menaiki perahu dagang menuju Pati. Yang kutahu saat ini hanya Kirana seorang dapat menunjukkan padaku di mana Aisyah berada.

Namun saat menyeberangi Sungai Mas, di antara riak-riak air dan angin yang berhembus ke utara, terlintas hal lain di pikiranku. Kenangan pada Wong Fei dan Damar menyeruak hadir. Kupikir perlu juga mengumpulkan warta dari orang-orang yang pernah kukenal. Siapa tahu akan berguna. Tak ada salahnya sejenak mampir ke rumah Wong Fei.

Turun dari perahu penyeberangan, kuhela kudaku lurus menuju rumah sahabat lamaku itu. Selain kabar tentang dirinya, aku juga ingin tahu tentang Damar. Semoga seperti Wong Fei, Damar juga selamat.

Langkah kudaku berhenti di depan gerbang besar. Tembok batunya kusam tak terawat, dipenuhi tanaman rambat. Pintu gerbangnya tertutup rapat, tampaknya terkunci dari dalam. Aku ingat dulu pernah cukup sering berkunjung ke tempat ini. Waktu itu tembok pagarnya begitu bersih, juga gerbangnya selalu terbuka.

Kuketuk pintu gerbang itu dengan membentur-benturkan besi bulat yang menggantung di sana. Lama aku menunggu. Tak ada jawaban. Dua-tiga kali ketukan lagi, baru jendela kecil pada gerbang itu terbuka, memunculkan sepasang mata dan separuh hidung seorang lelaki yang menanyakan nama dan tujuanku. Kujawab pertanyaannya. Jendela kecil itu pun tertutup lagi.

Kembali aku menunggu, kali ini tidak lama. Gerbang itu terbuka dan memunculkan sesosok lelaki Cina jangkung berbaju rompi putih. Wajahnya cerah. Dia tersenyum lebar, berseru padaku: "Sulaiman Attair... Akhirnya engkau tiba!"

Lelaki yang tak lain adalah Wong Fei itu langsung memelukku. Tubuhnya masih kurus seperti dulu.

"Wong Fei..." ucapku balas memeluknya.

"Banyak yang sudah berubah kawan... Beruntung aku masih dapat melihatmu..." ucapnya lirih.

"Aku pun merasa beruntung dapat melihatmu," ujarku.

Mendadak dia melepas pelukan. Berjalan mundur beberapa langkah, bibirnya menyungging senyuman aneh. "Tunggu dulu, aku harus memperkenalkanmu pada istriku!" serunya mengejutkan.

Berbalik, cepat dia melangkah masuk.

Kupandangi kepergiannya dengan isi kepala penuh tanda tanya: ada apa dengan istrinya?

Tak lama kemudian Wong Fei kembali bersama seorang perempuan bersanggul dan berkebaya. Seorang bocah lelaki berjalan mengiringi mereka, sementara seorang pelayan perempuan membawa nampan besar menuju bungalow di tengah kolam.

Perempuan bersanggul itu berkulit lansat, lebih cerah dari kebanyakan perempuan Jawa. Tapi dia jelas bukan perempuan Cina. Matanya bulat, berhidung mancung, dan berwajah oval. Kurasa dia tidak murni berdarah Jawa. Mungkin berdarah campuran, seperti banyak orang dari Tanah Pedikan Ampel.

Wong Fei menatapku dengan sorot mata aneh. Aku membalasnya dengan tatapan bingung.

"Kenalkan istriku!" ucapnya yakin.

Perempuan berkebaya itu menjura padaku, berkata menyebutkan namanya: "Nuraini binti Hasan".

Terhenyak, aku langsung paham apa maksud Wong Fei. Ingin aku tertawa saat itu juga tapi segera kutahan; demi kepantasan di hadapan sang Gadis Puri Ampel...

"Sulaiman Attair..." ucapku balas menjura.

Nuraini terdiam, menatapku. Keningnya berkernyit, lalu berpaling pada Wong Fei. Aku pun mengikutinya, menatap Wong Fei yang sedang nyengir menahan tawa. Tiba-tiba aku jadi kikuk. Apa yang sudah dikatakan Wong Fei pada Nuraini perihal diriku? Apakah...

Mendadak raut wajah Nuraini berubah aneh, ikut-ikutan tersenyum menahan tawa, meski tak sampai nyengir seperti suaminya.

"Selamat datang di rumah kami Kakang Attair. Senang melihat Kakang kembali ke Surabaya. Jangan sungkan bila memerlukan sesuatu. Kakang dapat menyampaikannya pada suami saya," cepat-cepat dia berkata. Lalu dikenalkannya Husain, putra mereka yang berusia tujuh tahun. Dia menjura berpamitan, dan sekali lagi melirik aneh pada Wong Fei sebelum berjalan masuk. Husain mengikutinya dari belakang.

Legenda NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang