BAB XIII - MAUT MENARI DI MARKAS KALAPATI

157 24 7
                                    

Aku, Wong Chun, Soma, Gao Huan, dan Tejo beranjak keluar dari Rumah Bahagia sebelum matahari tepat di atas kepala. Kami terus memacu kuda meninggalkan Madiun, melewati dua desa besar Maospati dan Ngawi, sebelum mulai memasuki Hutan Gending pada sore hari.

Pohon-pohon sonokeling dan beringin tumbuh meraksasa, ditemani sengon yang menjulang tinggi, meneduhi banyak pepohonan lain di bawah mereka. Gelap menyusup. Suara-suara serangga hutan makin ribut. Perlahan, sisa-sisa cahaya mentari yang terbenam menghilang di balik rimbun pepohonan. Hanya cahaya obor dalam genggaman Wong Chun dan Tejo menerangi jalan kami-ini berani kami lakukan hanya karena percaya pada jaminan keselamatan dari Rengganis. Selebihnya adalah kegelapan total.

Beruntung Wong Chun, Soma, dan Gao Huan pernah beberapa kali melintasi Hutan Gending. Mereka peluang terbaik kami agar tidak tersesat. Wong Chun berada paling depan, disusul Soma, aku, Gao Huan, dan Tejo di paling belakang. Penasaran, aku bertanya pada Soma alasan dirinya sampai berkali-kali melintasi hutan kekuasaan Banaspati yang tersohor buas dan tak kenal ampun itu.

"Beberapa memang penting. Tapi selebihnya, hanya karena keinginan yang remeh he he he... Benar tidak, Kak Wong?" teriak Soma pada Wong Chun.

Yang diteriaki hanya diam saja tidak menanggapi.

"Yah, gimana lagi... Waktu di Kotaraja, tiba-tiba muncul keinginanku untuk menyambangi Rumah Bahagia... Kau tahu lah, itu rumah pelacuran paling berkelas di Tanah Jawa..." lanjut Soma. "Untungnya, Kakang Wong juga punya niatan yang sama."

"Apa di Kotaraja tidak ada tempat pelacuran seperti Rumah Bahagia?" tanyaku.

"Tempat pelacuran ada banyak di sana. Tapi yang sekelas Rumah Bahagia? Tidak satu pun. Kau harus tahu, wahai Attair, tempat yang bermalam-malam kau tiduri itu adalah tempat paling panas dan berkelas di Tanah Jawa!" jawab Soma bersemangat.

"Paling berkelas itu bukannya juga berarti paling mahal?"

Soma diam, tidak langsung menjawab pertanyanku. Dia menghentikan kudanya, semata demi dapat menyejajariku. Sang pemilik Jurus Naga Hitam itu menatapku lekat-lekat. "Ah, kamu, pura-pura tidak tahu saja. Kau pasti sudah meniduri beberapa lonte di sana, bukan? Hah... hah...! Ayolaaah... tak usah sungkan mengaku padaku!" todongnya.

"Aku belum meniduri satu pun perempuan penghibur di sana," kilahku.

Tentu saja tak bisa kukatakan padanya bahwa aku sudah tidur dengan Rengganis. Sebab pasti aku akan menjadi bulan-bulanan dirinya. Lagi pula, aku ragu dia bakal percaya bila mengatakannya.

"Ahhh... Betapa bodohnya dirimu!" sergahnya, tepat seperti perkiraanku.

Namun yang kuherani, betapa cepat dia mempercayai perkataanku. Apakah memang wajahku terlihat polos di matanya?

"Memang betul kata orang, ada harga ada rupa. Dan harga lonte-lonte di sana memang sangat tinggi bila dibandingkan dengan pendapatan kami, pendekar miskin yang hidup hanya dari kemurahan hati Adipati Pragola. Untungnya, Kakak Wong punya cara cerdik untuk mengakalinya..." jawab Soma.

Dan kepada Wong Chun dia berseru meminta, "Hai Kak Wong, ceritakanlah pada sahabat kita ini bagaimana cerdiknya akalmu itu!"

"Terserah kau saja!" seru yang diminta malas menanggapi.

"Untuk dapat mabuk dan meniduri satu pelacur di Rumah Bahagia..." Soma langsung melanjutkan tanpa mengacuhkan keengganan Wong Chun, "Setidaknya seseorang harus membawa uang satu real emas. Sedangkan aku waktu itu hanya membawa uang tiga peku. Kak Wong masih lebih baik..."

Soma membentuk separuh corong di mulut dengan satu tangan, berkata lebih dekat padaku dengan merendahkan suara, "Dia kan seniooor... punya uang enam peku!"

Legenda NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang