BAB XXVI - ANTARA KESEDIHAN DAN KEBAHAGIAAN

335 33 18
                                    

Sejak pertemuan di malam itu, Kirana dan Damar terlihat dekat. Mereka kerap menghabiskan waktu bersama di anjungan, geladak, atau haluan. Kadang mereka berkumpul bersama kami, kadang hanya berdua saja, menatap matahari terbit dan terbenam. Dan semua itu tak lepas dari pengamatan Dipo.

"Bagaimana mereka bisa langsung akrab, Bang? Padahal kan baru kenal?" tanya Dipo padaku dengan rasa cemburu yang sangat.

Saat itu sore hari ketiga pelayaran, kami sedang berada di anjungan.

"Aku tak tahu Dipo... Mengapa tak kau tanyakan langsung saja pada Kirana?" jawabku serba salah, merasa punya andil pada kedekatan Kirana dan Damar. Walau nyatanya aku pun tak benar-benar tahu, apa yang mereka berdua bicarakan malam itu. Bagaimana ceritanya hingga Kirana yang katanya dulu tak mengangap Damar kini bisa langsung lengket padanya?

"Ya tak bisa begitu lah, Bang... Atau jangan-jangan, Kirana ini sebenarnya hanya pelacur saja... Tak lebih baik dari Rengganis!" tuduhnya seketika, membuatku langsung naik pitam.

"Jaga mulutmu, Dipo! Bukan begitu caranya mendapatkan cinta seorang wanita!" dampratku. Kedua tanganku sampai terkepal, hampir-hampir melabraknya.

Bagaimana bisa dia langsung menuduh Kirana sebagai pelacur? Dan apa hubungannya dengan Rengganis? Kalau saja tak kuingat persahabatan kami selama ini...

"Maafkan, Bang! Tapi aku benar-benar sakit hati pada sikapnya. Nanti turun dari kapal, aku akan bikin perhitungan dengan Naga Laut!" serunya geram, langsung berbalik pergi meninggalkanku.

"Dipo!" seruku memanggil. Tapi dia terus saja melangkah pergi.

Dasar kepala batu! Rutukku geram bercampur khawatir. Apa jadinya bila Dipo dan Damar sampai bentrok gara-gara Kirana? Dasar sial!

Aku terus memikirkan ancaman Dipo itu. Malamnya, beberapa kali kucoba mengajaknya berbicara dengan kepala dingin, tapi dia tetap diam seribu bahasa. Hingga lewat waktu subuh, ketika juru pandang di atas menara tiang layar utama mengabarkan kapal kami mendekati Pulau Halimun, pikiranku masih tidak tenang.

Saat fajar menyingsing, kusaksikan ketujuh kapal perompak Naga Laut memasuki gumpalan kabut tebal. Saat itu juga aku paham, mengapa pulau markas pusat perompak Naga Laut ini dinamakan sebagai Pulau Halimun. Lebih dua jam lamanya kami dikepung kabut pekat, sampai-sampai tak terlihat enam kapal lainnya yang berlayar bersama kami. Jarak pandang tak sampai lima depa! Aku yang di anjungan saja tak mampu melihat haluan kapal. Lalu bagaimana mereka bisa tahu arah kapal, dan menghindari tabrakan dengan batu karang atau kapal-kapal lainnya?

Kemudian pelan-pelan kabut menipis, hingga terang sama sekali. Jajaran bukit-bukit nan hijau tampak di depan mata, jauh memanjang hingga kelabu di kiri-kananku. Perlahan kami memasuki teluk yang tenang, melewati perahu-perahu nelayan. Tampaknya pulau itu cukup besar dan ramai. Titik-titik asap mengepul di antara kepadatan rumah-rumah penduduk yang samar di kejauhan.

"Booom...! Booom...! Booom...!" Tiga salvo meriam ditembakkan dari geladak Naga Samudra.

"Booom...! Booom...! Booom...! Booom...! Booom...!" Lima salvo balasan dilepaskan di lima tempat berbeda dari arah pulau, menandakan betapa pulau ini dipertahankan dengan sangat baik.

Melintasi satu bukit batu menjulang, kusaksikan menara dermaga berdiri di kejauhan, agak masuk ke dalam satu muara sungai besar. Tak jauh dari dermaga itu, lima Jung Jawa tampak membuang sauh. Kapal-kapal kami pun membauang sauh di belakang kelima kapal itu. Lalu perahu-perahu diturunkan.

Naga Samudra menurunkan tiga perahu. Satu perahu berisi Naga Laut, Kirana, Wong Fei, Saka, Ma Rulong, dan Ma Wanfu. Aku berada di perahu lainnya bersama Dipo, Chu Bo, dan tiga Pendekar Naga, sementara perahu lainnya berisi tiga Pendekar Naga dan tiga awak kapal Naga Samudra.

Legenda NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang