BAB VI - JARING KEKUASAAN PARA PENDEKAR NAGA

164 29 2
                                    

Seperti yang dijanjikan Wong Fei, pagi-pagi kami sudah bertolak dari Bandar Gresik menuju Juwana. Lama perjalanan dua hari satu malam. Wong Fei berkata, dari Juwana aku dapat menuju Pati dengan menyewa perahu menyusuri Sungai Silungonggo selama tiga jam.

Semilir angin memeluk lautan, menemani perjalanan kami menyusuri Pesisir Jawa. Nun jauh di selatan, gunung-gemunung kelabu menjelma latar bagi bukit-bukit berbatu, sementara hutan-hutan bakau dan pantai berpasir terhampar di hadapanku.

Perjalanan kali ini dapat menjadi tamasya yang menenteramkan, seandainya saja gelagat para awak perahu tidak berlaku sebaliknya. Mereka bersiaga dengan golok, kelewang, dan keris di pinggang. Sebagian dari mereka menggenggam tombak di tangan dan lainnya bersenapan sundut terselempang di punggung.

"Lautan tidak setenang penampakannya," terang Wong Fei. "Sejak perang-perang penaklukkan terus dilancarkan Mataram untuk menguasai Tanah Jawa, situasinya menjadi tidak aman. Para nelayan yang kelaparan di sepanjang garis pantai bisa nekat berbuat apa saja, termasuk merompak jung dan perahu dagang.

"Jung-jung dagang dapat berlayar cukup jauh ke tengah lautan. Itu membuat mereka lebih aman, meski bisa juga bernasib sial bila bertemu bajak laut. Sementara perahu dagang kecil semacam kami sering menjadi sasaran empuk para nelayan-perompak. Mereka biasa menggunakan beberapa perahu nelayan, mengisinya dengan lima-enam orang."

Perahu dagang Wong Fei memuat lada dan kain berwarna. Tak seperti biasa, kali ini dia menakhodai perahunya sendiri. Khusus untuk mengantarku, katanya.

Kusiapkan pistolku. Membersihkan laras dan mengisinya dengan mesiu dari salah satu selongsong kayu ek bertutup perunggu yang berderet di kantong chokha-ku. Setiap saat tinggal memasukkan peluru dan menembakkannya saja.

Hidup dalam kewaspadaan tinggi dan berlangsung sepanjang waktu bukan hal baru bagiku. Pengalaman bertahun-tahun berlatih tempur di Kastil Yedikule serta terlibat dalam beberapa pertempuran besar cukup mengasah naluri tempurku untuk mampu bertindak dan berpikir cepat dalam situasi darurat.

"Dulu di Malaka pernah kusaksikan senapan pendek seperti itu dibawa oleh seorang kapten kapal bangsa Peranggi," ucap Wong Fei melirik ke arah pistol picu terselip di sabukku.

"Seperti apa rasanya berkubang dalam pertempuran besar yang melibatkan ratusan ribu prajurit?" tanyanya.

"Itu membuatmu merasa hidup ini sama sekali tidak berarti..." jawabku sekenanya.

"Tidakkah engkau merasa jadi bagian dari suatu peristiwa mahapenting dalam sejarah umat manusia?" kembali dia bertanya, seperti tidak puas pada jawabanku yang biasa saja.

"Pada mulanya iya. Tapi ketika pertempuran tengah berkecamuk dengan hebatnya, semua itu tak lebih dari sekadar omong kosong..."

Aku teringat pertempuran Kayseri, sewaktu bergabung bersama lebih seratus ribu pasukan yang dipimpin Wazir Agung Mehmed Pasha melawan pemberontakan Abkaz Pasha, Gubernur Erzurum. Kami bertemu pasukan Abkaz dalam jumlah yang sebanding di luar Kota Kayseri. Satu bulan baku hantam, kami berhasil mendesak para pemberontak itu hingga ke bentengnya di Erzurum. Tapi benteng itu terlalu kuat hingga gagal kami taklukkan.

Itu adalah salah satu pertempuran terberat yang kualami selain di Hottin dan Baghdad. Aku banyak kehilangan sahabat-sahabat terbaikku. Bahkan sebutir peluru sempat menghantam dada kiriku dari jarak dekat, meremukkan baju besi yang kukenakan, dan membuatku tak sadarkan diri. Saat itu sama sekali aku tidak berharap untuk bangun. Tidak ingin aku hidup untuk menyaksikan lebih banyak kematian lagi.

Dasar sial, berkat tangan dingin dokter yang mengobatiku, akhirnya aku siuman juga. Sang dokter berkata bahwa aku beruntung karena mengenakan baju besi yang tebal, membuatku ingat sudah memutuskan mengenakan pelindung badan yang lebih tebal dari biasanya karena berpikir pengepungan benteng tidak mengharuskanku bergerak cepat seperti ketika bertempur di medan terbuka.

Legenda NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang