BAB III - LEGENDA NAGA

282 31 3
                                    

Azan Asar sudah lama berkumandang. Kuarahkan kudaku ke utara, melintasi jalanan becek nan lengang di tepi barat Sungai Mas. Rumah-rumah kayu berpekarangan luas berjajar di sebelah kiriku. Rumah-rumah serupa juga kulihat di seberang sungai. Agaknya pemukiman baru di Surabaya dibangun mengikuti pola alur sungai, memanjang berkelok-kelok dari selatan ke utara.

Selain para pengemis yang berkeliaran di jalan-jalan, banyak orang lebih memilih menghabiskan waktu di beranda atau kebun sekitar rumah mereka saja. Tak banyak juga tempat yang bisa mereka tuju. Surabaya sudah bukan kota besar lagi. Ini seperti desa yang muncul dari tumpukan arang. Wilayah luas di balik pemukiman yang dulu ramai kini hanya menyisakan ruang kosong dipenuhi gelondongan kayu: menghitam, berlumut serta berjamur oleh terik matahari dan guyuran hujan.

Pada persimpangan antara Alun-alun dan Pasar Besar, kuhentikan kudaku di ujung sebuah jembatan. Itu Jembatan Besar Surabaya, membentang di atas Sungai Mas, satu-satunya jembatan yang menghubungkan dua sisi kota.

Lagi, kudapati kertas bergambar perempuan Naga, bersanding dengan kertas bergambar Naga Laut, serta kertas-kertas lain berisi kewajiban, larangan, dan ancaman yang sama seperti di Bandar Gresik, tertempel di papan pengumuman tak jauh dari sisi utara pangkal pembatas jembatan.

Pada kayu pembatas jembatan itu dulu, aku, Wong Fei, dan Damar biasa berkumpul jelang sore di hari Sabtu. Kami biasa melakukannya selepas kesibukan masing-masing. Wong Fei putra dari Paman Wong, saudagar sutra dan porselen Cina yang tinggal di utara kota, sedangkan Damar adalah putra Paman Truno, pandai besi yang tinggal di tenggara kota. Keduanya sahabat karibku semasa belajar di Pesantren Ampel.

Kudekati kayu pembatas itu dan mendudukinya. Aku tak ingat siapa dari kami yang memulai lebih dulu, tapi kayu pembatas di sisi utara itu memang tempat paling pas untuk mengamati segala kesibukan di Pasar Besar.

Berjarak kurang dari seratus langkah, tampak ratusan kios sepi belaka. Kios-kios itu malah ditinggali para pengemis yang sedang tidur atau cuma duduk melamun saja. Hanya belasan kios di pinggir jalan yang ditempati para pedagang. Mereka menjual pacul, sabit, jaring, jala dan alat-alat pertanian serta menangkap ikan lainnya, sayur-mayur, ikan, ayam, sukun, pisang, serta ketela. Satu kios menjual beras. Kios beras itu paling ramai. Puluhan orang membentuk antrian panjang di depannya. Terdapat enam prajurit bersenjata mengawal antrian itu.

Dulu pasar itu sangat ramai. Para penjual dan pembeli memadati ratusan kios yang menyediakan beraneka ragam barang dagangan mulai dari barang-barang mahal seperti kain sutra dan porselen Cina, minyak wangi Negeri Parsi, batu mulia dari Bacan, cengkih serta buah pala dari Banda, lada dari Sumatera, hingga peralatan pertanian dan menangkap ikan serta bahan-bahan makanan. Sebagian barang-barang dagangan itu didaratkan melalui Sungai Mas yang mengalir penuh di bawahku.

Sejenak aku teringat pada peristiwa di Pasar Besar. Peristiwa yang dengan penuh perasaan sudah diceritakan Aisyah padaku. Pertemuan antara dirinya dengan Arslan. Nyatanya itu adalah pertemuan mereka yang pertama, sekaligus yang terakhir.

*

Jarak dari Jembatan Besar Surabaya ke Paneleh tidak lebih dari tiga ratus depa. Pusat pemakaman Kota Surabaya itu terletak di sisi timur Sungai Mas. Kuhela kudaku menembus jajaran pemukiman penduduk, terus hingga jauh memasuki padang arang berjamur. Di depan gerbang kayunya yang doyong aku turun, menambatkan kuda, dan berjalan memasuki areal pemakaman.

Seorang tua berjanggut putih yang duduk terkantuk mengunyah sirih di bawah pohon beringin raksasa langsung bangkit begitu melihat kedatanganku. Surjannya lusuh berwarna pucat abu-abu. Kurasa dulu surjan itu berwarna hitam pekat sebelum pudar dimakan usia. Dia menyebut dirinya sebagai Ki Tambir, juru kunci pemakaman. Langsung kuberikan sekeping dirham padanya, dan menyebutkan nama Ma Yuan sang Naga.

Legenda NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang