BAB IX - MISTERI DI PUNCAK LAWU

153 27 1
                                    

Sore keesokan harinya Kirana tidak ikut melatih para muridnya di perguruan. Dia memintaku menemaninya berkuda ke luar kota. Kami berkuda lurus ke utara, melintasi areal persawahan dan ladang-ladang, hingga sampai di punggung Gunung Muria.

"Selama bencana gagal panen, Pati masih bertahan. Adipati Pragola tidak sekeras Susuhunan Agung yang memaksa rakyatnya terus-terusan berperang. Meski tidak banyak, hasil panen tiap tahun masih bisa mencegah rakyat negeri ini menderita kelaparan," ucapnya memutar kuda, menghadapi hamparan petak-petak padi mahaluas di bawah kami. Kota Pati dengan balok-balok kayu pertahanannya yang hampir selesai terlihat jauh di bawah sana.

"Kini padi sudah ditanam, lumbung-lumbung dibersihkan, dan mimpi kesejahteraan hampir menjadi nyata. Tapi Mataram malah mau merampas hasil panen itu..." lanjutnya antara sesal dan kesal.

Apa yang dikatakan Kirana itu benar. Selama menjelajahi Kota Pati dan desa-desa di sekitarnya, sedikit sekali kudapati pengemis kurus kering berkeliaran seperti di Gresik dan Surabaya. Bila di sana banyak orang cukup puas dengan memakan sukun dan ketela, orang-orang di sini, setidaknya sehari sekali, masih dapat menikmati kemewahan memakan nasi.

"Kata Ibu Aisyah, Kakang punya pengetahuan luas karena senang membaca..." Tiba-tiba Kirana membelokkan arah pembicaraan.

"Apa yang sudah diceritakan bibi padamu?" tanyaku terkejut, tak menyangka Aisyah pernah menyinggung diriku di hadapan Kirana.

"Tidak banyak. Tapi ibu sering mengatakan itu padaku, dan membuatku cemburu. Kurasa dia tak pernah benar-benar dapat melupakanmu..." jawabnya. Tatapan matanya menerawang jauh.

"Itu hal yang aku tidak tahu kapan mulai menyukainya. Kurasa bapakku sudah membiasakannya sejak aku belum mampu mengingat..." ucapku sekenanya, tak mengira kalau Aisyah masih mengingatku.

"Aku punya satu pertanyaan buatmu," ujarnya mengerling padaku. "Mengapa bulan di langit dapat muncul dalam bentuk yang berbeda-beda setiap malam? Pertama muncul ia melengkung serupa seutas benang, lalu menebal seperti sabit, kemudian perlahan jadi separuh, sampai akhirnya bulat penuh. Kemudian ia jadi separuh lagi dalam arah yang berlawanan, lalu menyabit, melengkung menyerupai seutas benang lagi, dan akhirnya kembali menghilang?"

"Waktu belajar di Istanbul, aku pernah membacai kitab-kitab astronomi yang ditulis Muhammad Albiruni, seorang ahli perbintangan dari bangsa Turkistan. Di sana disebutkan bulan mendapatkan cahayanya dari pantulan sinar matahari. Bulan bergerak mengelilingi bumi. Satu putarannya sama dengan satu bulan dalam kalender Qomariyah. Bulan menjadi sabit, penuh, dan menghilang didasarkan dari pantulan sinar matahari yang diperolehnya selama mengitari bumi..."

Kirana mengernyit bingung.

Aku turun dari punggung kuda, mencari tiga buah batu dan menatanya seperti gambar yang pernah kulihat dalam kitab karya Albiruni. Kirana pun ikut turun dari kudanya, duduk bertongkat lutut memperhatikan.

Lalu kuputar batu yang kukatakan sebagai bulan, seraya menjelaskan fase siang-malam di bumi. Dari situ, dapat kujelaskan bagaimana penampakan bulan pada setiap tahap putarannya. Usahaku ini berhasil membuat Kirana paham.

"Itukah penjelasannya mengapa setiap kali gerhana bulan adalah saat purnama? Dan yang pelan-pelan menutupi bulan itu adalah bayangan bumi?"

"Benar sekali. Gerhana bulan mensyaratkan posisi matahari, bumi, dan bulan tepat berada pada satu garis lurus. Ini memang tidak terjadi di setiap purnama. Sebab lingkar edar benda-benda langit tidak sungguh-sungguh teratur dalam satu garis lurus, melainkan saling silang-menyilang beberapa derajat..."

"Jadi itu bukan disebabkan Batara Kala yang memakannya? Yang membuat orang-orang ribut memukul kentongan?"

"Sama sekali bukan. Itu karena mereka masih belum tahu."

Legenda NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang