BAB II - PARA SAHABAT KAPAL

386 30 13
                                    

Hujan badai petir dan ombak menerpaku di muka Selat Madura pada tengah malam Kamis, akhir Rabi' al-Awwal 1036 Hijriah, atau awal Desember 1626 tahun Kristen. Lautan serunyam arak dalam guci yang digoncangkan si pemabuk. Gelombang tinggi menghantam Kijang Kencana hingga terpontang-panting, terdongak-dongak, dan terhujam keras. Layar haluannya hancur berantakan. Tiang layar utamanya berderak-derak. Lantai geladaknya terus bergemeretakan.

Basah kuyup kupeluk erat pokok kayu tiang utama layar. Orang-orang pun melakukan hal yang sama, memeluk dan mencengkeram apa saja. Mereka berteriak menyebut nama Allah yang Mahatinggi, memanjatkan selawat kepada sang Nabi--semoga selawat dan salam selalu tercurah untuknya dan keluarganya--dan Nabi Khidir. Terdengar pula lolongan nama Baruna dan Dewi Lanjar.

Malam merambat pelan. Gulita mencekam, berkali-kali robek oleh kilatan petir tak berkesudahan. Berkali-kali pula kutabalkan keyakinan dalam hati aku bisa selamat. Terus kurapal doa Nabi Yunus. Semoga Gusti Allah yang Mahakuasa menyelamatkanku dari segala marabahaya seperti telah diselamatkan-Nya Nabi Yunus dari dalam perut Ikan Nun. Dan semoga tiang layar itu juga tidak patah menimpaku...

"Braaakkkk!"

"Boooommm!"

"Aaaakhhh! Aaa...! Toloooong! Tolong...!"

Terlonjak aku, merasakan tiang utama layar yang kupeluk erat patah, ambruk menembus geladak tepat di samping kananku. Untung ia tidak langsung menghantam kepalaku!

Pekikan dan teriakan minta tolong hanya terdengar sebentar, langsung lenyap oleh hingar-bingar ledakan halilintar serta gemuruh ombak. Tak ada sesuatu pun yang dapat kulakukan. Menggeser tubuh pun aku tak mampu.

Kijang Kencana oleng ke kanan. Semakin berputar-putar tak karuan.

Aku mengira bakal tumpas malam itu. Teringat empat bulan sudah perjalananku: melintasi dua samudra, lima lautan, dan menyinggahi sembilan bandar. Tanah Jawa, tempat yang kutuju, hanya setengah hari lagi di depanku. Mungkin sudah takdirku mati sia-sia dilanun badai. Jasadku akan menyusul Arslan, selamanya terkubur di dasar samudra.

Dan semua ini demi satu nama: Aisyah...

*

"Hooo... Hooo... Bandar Gresiiik...! Cepat! Cepaaat!" Teriak sang nakhoda memerintah para awak kapal, membangunkanku yang duduk terkantuk dengan kedua tangan masih mencengkeram tali-temali tiang utama layar.

Suara-suara camar memecah udara. Fajar menyingsing. Matahari terbit di garis cakrawala. Tak ada setitik pun mendung di langit. Sejauh mata memandang, muka lautan setenang hamparan kaca. Ajaib! Kami dapat selamat. Badai benar-benar telah reda!

Kusaksikan para awak kapal sigap mengembangkan layar di buritan, membenahi layar haluan yang remuk, dan mengurus barang dagangan sang pemilik kapal. Sementara tiang layar utama yang patah separuh masih tetap di sana, menukik miring ke kanan, menjebol geladak tak sampai dua depa dari tempatku berjongkok! Sedikit lagi, ia dapat menimpaku, menyeret tubuhku ikut terperosok ke dasar lambung kapal! Membayangkannya saja membuatku langsung bergidik. Monumen kengerian badai semalam itu semakin lengkap oleh bergulung-gulung kain berwarna Hindustan, kain-kain sutra dan teh Cina, serta berpikul-pikul lada Sumatera yang berserak di sepanjang geladak, bercampur pecahan-pecahan porselen. Para penumpang berjalan gontai, mengais-ngais barang dagangan mereka yang masih bisa diselamatkan.

Terseok-seok, Kijang Kencana berlayar mendekati Bandar Gresik. Nun jauh di sebaliknya, gunung-gemunung Tanah Jawa tampak kelabu.

Terakhir aku di sana empat belas tahun yang lalu. Dulu Gresik pelabuhan utama milik Surabaya. Jung-jung Jawa, Cina, serta galiung-galiung Eropa biasa membuang sauh di lepas pantainya sementara kapal-kapal yang lebih kecil dapat bersandar di dermaga. Ramai orang membongkar dan mengangkut muatan. Juga para ahli perkapalan dan tukang-tukang kayu, sibuk membuat dan merawat kapal-kapal pada belasan galangan yang berjajar di sepanjang pantai.

Legenda NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang