BAB XI - NASIB PARA SAHABAT KAPAL

156 26 3
                                    

Ketika aku sudah merasa cukup pulih, Rengganis mengajakku berjalan-jalan. Kami menyusuri jalan setapak di bawah rindang pepohonan sonokeling di halaman belakang Rumah Bahagia, markas pusat kelompok Kalacakra sekaligus rumah minum dan komplek pelacuran terbesar di Kota Madiun. Lemah cahaya matahari sore menyusup di balik dedaunan, mencipta garis-garis lembut yang terus memudar di rerumputan hijau. Angin sepoi bertiup, menguarkan harum aroma tanah sehabis hujan siang tadi, bercampur wangi melati dari tubuh Rengganis. Sang Ratu Penghibur itu berjalan santai di sampingku dalam balutan kebaya putih berenda. Setiap kali dia melangkah, kain jarit batik merah yang dikenakannya tersibak, menampakkan kuning lansat betisnya yang molek.

"Kakang Attair, demi keamanan, aku terpaksa membawamu kemari. Tapi Kakang jangan merasa seperti tahanan. Kakang bebas berjalan-jalan. Selama masih di lingkungan Kota Madiun, kujamin Kakang tetap aman. Kalapati memang memiliki mata-mata di sini, tapi tak akan berani sembarangan bertindak," ucap Rengganis membuka perbincangan, setelah lama kami saling diam. Kami sedang berada jauh dari bangunan utama tempat segala keriuhan berlangsung. Di sini terasa hening menentramkan.

"Aku tak bisa di sini terus. Aku harus menyelamatkan teman-temanku..."

"Jangan khawatirkan teman-temanmu. Paling lambat, besok lusa mereka sudah sampai di sini," ucap Rengganis yakin.

"Bagaimana kamu bisa seyakin itu?" tanyaku ragu, masih tidak habis pikir bagaimana dia bisa begitu yakin.

"Orang-orangku sedang mengusahakannya. Tak pernah kuragukan kemampuan mereka."

"Sehebat itukah kelompok Kalacakra? Dapat mengatasi Banaspati dan Tohpati sekaligus?" Aku sungguh penasaran pada kelompok sindikat pelacuran dan rumah minum ini. Sepertinya mereka jauh lebih hebat dari sekadar centeng penjaga rumah hiburan biasa. Terlebih lagi, Rengganis seperti sengaja merahasiakannya.

"Hoooiii, Rengganis! Itu kekasih barumu ya?" Mendadak terdengar suara mengejutkan dari balik rerimbunan semak.

Lalu muncul sosok lelaki kurus paruh baya bertongkat kayu dan berkepala polos, sepolos penampilannya yang hanya memakai kancut saja.

"Oh, Paman Subali!" pekik Rengganis. "Sejak kapan Paman di situ? Awas kalau menguping pembicaraan kami!" ancamnya manyun.

"Enak saja. Kalian itu yang mengganggu konsentrasiku buang tahi!" sergah Subali.

"Paman ini, kan sudah Rengganis ingatkan, kalau buang hajat ya di jamban! Jangan di semak-semak!" balas Rengganis ngotot.

"Heh! Anak kecil bau kencur, tahu apa kamu soal buang tahi? Heh! Itu semak-semak butuh tahiku untuk tumbuh lebat!" balas Subali tak mau kalah.

"Ah, dasar! Bilang saja malas kena air! Jadinya daun-daun itu yang jadi sasaran!"

"Ha ha ha! Ha ha ha!" Subali terkakak. "Masih kecil sudah berani atur-atur orang tua! Terserah akulah, mau berak di semak atau di jamban... asal tidak di kepalamu saja," rutuknya, lalu menoleh kepadaku.

"Hei, anak muda, hati-hati sama Rengganis itu, cantik-cantik begitu, cerewet orangnya... bisa cepat mati kalau jadi suaminya!" serunya.

"Eh... Paman, kalau bicara hati-hati ya! Memangnya siapa juga yang mau jadi suamiku?" sahut Rengganis makin sewot.

"Ha ha ha! Ha ha ha! Lha kalau kamu mau, aku juga boleh," jawab Subali cengar-cengir.

"Dasar edan! Emoh!"

"Ha ha ha ha ha ha... Belum tahu rasa jimatku ini saja sudah bilang emoh... coba kalau sudah, pasti ketagihan. Ha ha ha ha ha!"

Subali menggaruk-garuk selangkangannya, lalu pergi begitu saja. Dia terus tertawa dan bersiul riang saat berjalan melintasi taman, menuju rumah gandok di samping bangunan utama.

Legenda NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang