BAB XV - KETABAHAN HATI KI TRUNO WESI

122 25 4
                                    

Kami menghabiskan waktu tiga malam di perkampungan nelayan sebelah barat muara Kali Progo. Sebagian besar penduduknya bekas orang-orang Surabaya. Soma dan almarhum Gao Huan pernah sekali mengunjungi perkampungan ini. Wong Chun dan Soma mengenal beberapa kepala kampungnya. Dari lima orang kepala kampung, dua orang bekas murid Perguruan Silat Naga, dan seorang lagi dulu satu kampung dengan Soma. Melalui ketiganya, ditambah perkenalan Soma dengan beberapa penduduk, kami membantu melacak anggota keluarga Dipo, keluarga almarhum Ki Sujana, dan juga almarhum Bejo. Sayang, hasilnya nihil. Tidak ada penduduk kampung yang berasal dari Kampung Kemlaten dan Kampung Kedungsari-tempat tinggal Bejo dulu-di Surabaya. Sementara aku juga tidak menemukan jejak Paman Truno dan keluarganya. Tidak seorang pun berasal dari Kampung Pandean, tempat tinggal Damar dulu di Surabaya.

Merasa cukup mengumpulkan warta dan beristirahat, kami memutuskan melanjutkan perjalanan ke utara, menuju Perbukitan Menoreh dengan berjalan kaki. Kami bergerak melintasi hutan-hutan dan perbukitan terjal, menghindari jalan utama, dan hanya singgah di suatu tempat tidak lebih dari semalam. Para pengintai Kalapati terkenal lihai melacak jejak sekecil apa pun.

Desa pertama yang kami temui bernama Kalibiru, sebuah pemukiman terpencil terdiri dari dua puluh enam rumah, dikelilingi ladang-ladang terasiring di lembah landai, dekat anak sungai Kali Progo. Baik Soma maupun Wong Chun tidak terlalu akrab dengan ketua kampungnya. Tapi Soma pernah sekali mengunjungi daerah ini bersama almarhum Gao Huan. Baru kuketahui, hampir seluruh perkampungan bekas penduduk Surabaya dan Madura di perbatasan Negara Agung Mataram pernah dikunjungi para Pendekar Naga setidaknya sekali saja. Itu merupakan bagian dari upaya membangun kembali jaringan kekuatan Pesisir, mendukung gerakan Perkumpulan Naga.

Wong Chun berkata padaku bahwa terdapat lebih dari empat puluh desa besar dan kecil semacam ini, tempat pemukiman bekas penduduk Surabaya dan Madura yang tersebar di seluruh Perbukitan Menoreh hingga Budur. Rata-rata berjarak sehari semalam berjalan kaki dengan kondisi jalan yang sulit dilalui.

Kami hanya menginap semalam di Kalibiru. Baik Dipo dan aku sendiri tidak menemukan apa yang kami cari, sementara Soma terus merasa khawatir pada keselamatan kami bila terlalu lama tinggal di desa itu. Melanjutkan perjalanan dengan kembali melintasi medan-medan berat berlereng terjal dan berhutan lebat, selama sepuluh hari kemudian kami menyinggahi tiga belas desa, dan menginap barang semalam di empat desa. Sengaja kami menghabiskan waktu cukup lama berputar-putar menyinggahi desa-desa bekas penduduk Surabaya di Perbukitan Menoreh untuk mencari kabar keberadaan keluarga Dipo dan almarhum Damar, Ki Sujana, serta Bejo. Tapi semuanya nihil. Aku sudah hampir putus asa. Demikian pula dengan Dipo.

*

Pada malam kesebelas sampailah kami di Budur, desa besar bekas penduduk Surabaya yang terletak di lereng perbukitan, sebelah selatan reruntuhan Candi Sambharabhudhara. Dengan jumlah ratusan rumah, Budur menjadi pusat jaring kehidupan yang menaungi lima desa kecil lain yang berdekatan, berjarak antara setengah sampai satu hari perjalanan. Di Budur, Wong Chun berniat menginap lebih lama.

"Terdapat lima orang bekas murid Perguruan Silat Naga di Budur, dan enam lagi tersebar di lima desa sekitarnya. Mereka berhasil menduduki posisi-posisi penting, baik sebagai Kepala Desa maupun Jagabaya. Untuk Budur sendiri, Kepala Desa dan Jagabaya-nya adalah dari mereka. Nanti ketika bertemu, kau pasti terkejut. Mereka adalah murid Perguruan Silat Naga sewaktu dulu engkau biasa mampir. Kau pasti mengenalnya," ujar Wong Chun. Dia baru dapat bernafas lega ketika kami berhasil melintasi pematang, berjalan memasuki desa itu lepas waktu isya, sementara aku terjebak penasaran, menebak-nebak siapakah kedua orang itu.

Kami melewati jalanan kampung dengan rumah-rumah beratap jerami berjajar renggang di kiri-kanan. Remang lampu-lampu minyak dalam kotak kaca berkerlap-kerlip ditiup angin akhir Januari, tercantel pada tiang-tiang kayu setiap jarak sepuluh langkah. Bulan sabit menggantung di pungung langit berlatar kerlip bintang-bintang. Menurut perhitunganku, saat ini adalah tanggal 8 Jumad al-Awwal tahun 1036 Hijriyah atau 26 Januari 1627 Tahun Kristen.

Legenda NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang