BAB XXV - RAHASIA NAGA LAUT

174 24 2
                                    

Kami berkuda melewati Madiun, terus ke timur laut melintasi Perbukitan Kendeng, membelah wilayah Jipang hingga mencapai sebuah kota kecil bernama Lamongan, lalu berbelok ke timur mencapai Gresik. Perjalanan menembus hutan dan perbukitan kapur yang terjal itu memakan waktu enam hari. Kami terpaksa melewatinya karena hendak menghindari kota-kota dan pemukiman padat penduduk sepanjang Madiun-Wirasaba-Japan-Surabaya. Kirana tetap buronan Mataram. Demi menghormati sumpah Aisyah, kami memilih untuk tidak berurusan dengan para prajurit dan kaki tangan Mataram. Keinginanku untuk berpamitan pada Wong Fei, Ma Biao, dan Paman Syarif pun harus kuurungkan.

Namun betapa terkejut aku, setiba kami di Gresik, ternyata Wong Fei sudah bergabung bersama Ma Rulong, Saka, Ma Wanfu, Dipo, Chu Bo, dan enam Pendekar Naga lainnya. Mereka menunggu kami di salah satu rumah aman milik Perkumpulan Naga. Letaknya tak jauh dari Bandar Gresik. Kirana, yang memang tahu betul letak rumah itu, membawa kami ke sana.

"Wong Fei, bagaimana engkau bisa ada di sini?" tanyaku bingung setelah menyapa Dipo dan yang lainnya.

Wong Fei cengar-cengir saja menjawab pertanyaanku.

"Saudagar Wong ini adalah penghubung utama kami dengan Naga Laut," ujar Ma Rulong menjawab kebingunganku.

"Benarkah? Sejak kapan kau mengenalnya?" Kembali aku bertanya, hampir-hampir tidak percaya. Sebab terakhir bertemu dengannya, sahabat lamaku itu sama sekali tidak menyinggung tentang Naga Laut.

"Maafkan aku, wahai Attair... Sebenarnya sudah lama aku mengenal Naga Laut. Aku ditugaskan kemari untuk menjemput kalian," jawab Wong Fei santai saja, seperti tengah bercanda seperti biasanya.

"Jadi selama ini kau sudah tahu siapa sebenarnya dia?" selidikku berbalur rasa kecewa.

"Tidak juga... mungkin istilah 'mengenal' terlalu berlebihan... Lebih tepatnya, aku salah satu penghubung dirinya dengan orang-orang di daratan," ralat Wong Fei.

"Baiklah..." akhirnya aku mencoba mengerti. "Saat ini kami benar-benar membutuhkan pertolongan Naga Laut. Semoga apa yang sudah direncanakan Bibi Aisyah dapat berjalan lancar..."

Sebelumnya, mengenai bagaimana Para Pendekar Naga dan Dipo bisa ada di Gresik dan tengah menanti kami, telah kutanyakan pada Rengganis. Sang Pemimpin Kalacakra itu menjelaskan bahwa ketika Jaka Wulung beserta Tumenggung Wiratama dan balatentaranya sedang menuju Gunung Lawu, Aisyah langsung menulis surat yang ditujukan pada para Pendekar Naga. Dalam surat yang dititipkannya pada Rengganis itu disebutkan agar para Pendekar Naga secara diam-diam segera meninggalkan Pati menuju Gresik dan menunggu aku dan Kirana di sana. Aisyah juga meminta para murid Kirana itu untuk menghubungi Naga Laut, memastikan bahwa dia mau menerima mereka di salah satu pulau di sepanjang Laut Utara yang menjadi wilayah kekuasaannya. Tak cukup itu, Aisyah sendiri pun menulis surat yang ditujukan langsung pada sang Raja Perompak Laut Utara itu agar berkenan menerima Kirana dan para muridnya. Surat yang juga dititipkan pada Rengganis itu kemudian dibawa oleh anggota Kalacakra yang menyampaikannya pada Naga Laut melalui perantara yang biasa mereka gunakan. Jelas, Aisyah mengkhawatirkan keselamatanku dan Kirana bila seandainya dia tak dapat menahan Jaka Wulung serta melindungi Kuil Pusaka Suci dari amukan balatentara Mataram.

"Kapan kami dapat berangkat?" lagi aku bertanya pada Wong Fei.

"Malam ini juga," jawabnya. "Kapal perompak Naga Laut sudah menunggu di muara Bengawan Sala di Ujung Pangkah, kurang setengah hari perjalanan dari sini. Semoga langit malam ini cerah agar tak perlu menyalakan obor. Kita dapat berjalan diam-diam dengan bantuan sinar purnama..."

Mengangguk-angguk, sekilas kutatap Rengganis dan Saka. Keduanya tampak masih diam-diam saja seolah tak saling kenal. Mungkin masih menimbang saat yang tepat untuk memberitahu Kirana perihal Saka yang mendua. Tapi itu bukan urusanku, selama hubungan Kalacakra dan para Pendekar Naga baik-baik saja. Bukankah Aisyah sudah menengahi perselisihan antara Kirana dan Rengganis? Meski masih menjaga gengsi masing-masing, kukira di antara mereka sudah muncul satu kesepahaman-lebih tepatnya Kirana yang sudah insyaf-bahwa mereka tidak akan membela satu penguasa demi melawan penguasa lainnya.

Legenda NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang