BAB XVIII - JERAT MUSLIHAT TOHPATI

154 27 5
                                    

Tepat tengah hari, kami bergerak meninggalkan Budur. Dibutuhkan waktu empat jam berjalan kaki untuk mencapai Sambharabhudhara. Aku hapal betul jalur menuju ke sana. Letaknya berada di lembah, lebih ke bawah dari Desa Budur. Tak terpikir olehku dulu-tiga kali pernah bolak-balik menyambanginya-akhirnya aku bakal tumpas di pelataran reruntuhan candi Buddha itu.

Setidaknya ini dapat menjadi akhir yang romantis, naif aku berpikir, bahwa darah kami akan menyepuh satu bangunan megah Tanah Jawa di masa lampau. Dan di sana, selamanya aku dapat berbagi kesedihan bersama Arslan.

Dua jam sebelum mencapainya, reruntuhan Sambharabhudhara sudah terlihat dari lereng terakhir yang hendak kami turuni. Aku mulai bercerita pada Kirana tentang kemegahan candi itu di masa lampau.

"Sambharabhudhara terdiri dari sepuluh tingkat," ucapku lepas begitu saja, "Kamadathu dua tingkat; Rupadathu empat tingkat; Arupadathu tiga tingkat; dan Arupa, stupa raksasa di tingkat tertinggi. Wangsa Syailendra membutuhkan waktu lebih dari lima puluh tahun untuk membangunnya. Panel-panel relief pada Kamadathu menggambarkan tentang kehidupan bergelimang dosa karena manusia masih diperbudak hawa nafsu; Rupadathu menggambarkan manusia sudah dapat membebaskan diri dari hawa nafsu tapi masih terikat pada rupa dan bentuk; Arupadhatu melambangkan manusia yang telah terbebaskan dari nafsu, rupa, dan bentuk; dan Arupa melambangkan nirwana, padam yang sempurna..."

"Dari mana Kakang tahu... sejarah dan ajaran pada candi yang megah itu?" tanya Kirana, tak menutupi kekagumannya padaku.

"Dulu bapakku pernah cerita. Lalu karena penasaran, aku berusaha mencarinya sendiri di antara lontara-lontara berbahasa Sansekerta koleksinya..."

"Dalam hal ini aku benar-benar iri padamu, Kakangmas... Telah kau jelajahi rupa-rupa dunia, dan telah kaubacai seluk-beluk pengetahuan, baik di masa lalu dan masa kini. Bila benar hidup kita berakhir hari ini, engkau akan mengakhirinya dalam kehidupan yang penuh, lebih dari kami semua..." Kirana tersenyum dalam padaku.

Senyumnya kali ini begitu lain dari sebelum-sebelumnya: tulus lepas dari dasar hati, tertuju hanya untukku. Dan tatapan matanya itu... Ahhh... Apakah benar Kirana sedang menaruh perhatian padaku?

Teringat pada pertanyaan naif Dipo tempo hari tentang bagaimana caranya mendapatkan perhatian Perempuan Naga, kuingat-ingat kembali kapan Kirana mulai memberi perhatian padaku. Dia mulai memanggilku "Kakangmas" sejak aku berhasil mengobati lukanya di pondok Ki Wage. Sejak itu, "Kakangmas" kadang digunakannya selain panggilan "Kakang". Sikapnya juga lebih bersahaja padaku; kami jadi lebih sering bertemu pandang dan bertukar senyum. Apakah ini wajar?

Tiba-tiba aku teringat pada Damar. Tidakkah Kirana pernah sedikit saja membukakan pintu hatinya untuk Damar? Betapa semua itu ingin kutanyakan padanya... Tapi sepertinya itu tidak mungkin kulakukan saat ini.

Sudahlah, toh itu bukanlah satu-satunya rasa penasaran yang hendak kubawa ke akhirat. Keinginan terbesarku untuk bertemu Aisyah saja belum terlaksana. Juga keinginan naif untuk kembali menjelajahi tempat-tempat yang dulu pernah kulintasi bersama Arslan, tempat-tempat yang hilang timbul dalam kenangan, hingga sampai ke kampung halaman almarhum Turakhan, ibuku yang malang. Dia yang sudah mempertaruhkan nyawa demi melahirkanku...

Ingin kembali kurasakan gelora cinta Arslan pada Turakhan di Kashgar, kota besar bangsa Uighur, oase di pinggiran padang pasir Taklamakhan. Juga padang-padang rumput di kaki Pegunungan Tien Shan yang puncaknya berselimut salju abadi, mata air bagi sungai-sungai yang menghidupi bangsa Uighur. Sebagian darahku adalah darah mereka...

Ada juga keinginanku yang lain, yaitu menjelajahi Dunia Baru. Tempat aku dapat menyombongkan diri pada Arslan, tentang dunia yang sama sekali di luar jangkauannya... Di sana aku dapat menjadi sosok yang berbeda dengan dirinya... melalui penjelajahan yang jauh melampaui bayangannya...

Legenda NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang