BAB VII - JURUS PAMUNGKAS NAGA HITAM

142 30 2
                                    

Bahkan setelah mendekam semalaman dalam penjara, niatanku bertemu Perempuan Naga belum berjalan mulus. Saka dan Wong Chun memberitahuku bahwa pemimpin mereka itu, bersama tiga saudara seperguruan mereka, kini sedang menjalankan tugas rahasia dari Adipati Pragola. Kalau lancar, paling tidak masih satu minggu lagi aku dapat bertemu dengannya.

Selama menunggu, aku tinggal di Perguruan Silat Naga. Lokasinya tepat di pinggir utara kota, beberapa puluh depa jaraknya dari proyek pembangunan benteng dan parit perlindungan. Di kejauhan terlihat Gunung Muria yang rimbun. Sesungguhnya itu lebih layak disebut bukit ketimbang gunung-orang Jawa biasa menyebut setiap tempat yang lebih tinggi sebagai gunung. Pada puncaknya terdapat pesantren dan makam Sunan Muria, salah satu ulama yang dijunjung tinggi selain Sunan Ampel dan Sunan Giri. Muria salah satu bukit keramat di Pesisir selain Giri.

Perguruan Silat Naga lebih tepat disebut markas ketimbang perguruan karena tidak menerima murid baru. Perguruan itu sebuah bangunan kayu megah dikelilingi pagar gelondongan setinggi tiga depa. Terdapat sebuah pendopo besar bersambung rumah utama dengan lima rumah gandok pada masing-masing kiri dan kanannya. Halaman depannya seluas sepuluh kali dua belas depa, setiap pagi digunakan para Pendekar Naga, demikian bekas murid-murid kakekku itu dijuluki, berlatih silat. Melintasi halaman belakang, terdapat bangunan limasan memanjang tempat dapur, kamar mandi, serta kandang kuda.

"Seluruh murid-murid Mahaguru Ma yang mengungsi di sini ada lima belas orang termasuk Guru Kirana," terang Saka pada malam hari ketika kami semua berkumpul di rumah utama. "Sebagian masuk perguruan ketika engkau sudah pergi."

Memang aku tidak mengenali semuanya, hanya empat orang lagi yang kukenali selain Wong Chun dan Saka, mereka adalah Gao Huan, Soma, Ma Wanfu, dan Ma Rulong. Seperti Wong Chun dan Saka, dahulu mereka juga biasa berlatih denganku di perguruan Ma Yuan. Namun saat ini Ma Wanfu dan Ma Rulong sedang menyertai Kirana.

"Setahuku dulu murid Kakek Ma tidak kurang dari tujuh puluh orang, ke mana yang lainnya?"

"Terakhir sebelum pengepungan Mataram, jumlah kami ada lima puluh enam orang, hampir sepertiganya tumpas oleh kolera dan busung lapar. Enam orang gugur ketika kami menyerang rombongan Tumenggung Mangun Oneng di Surabaya, selebihnya terpaksa mengikuti keluarga mereka pindah ke Negara Agung Mataram. Kami bisa mengungsi kemari karena sudah tidak ada tanggungan keluarga dekat lagi..." timpal Soma getir.

Perang menyisakan duka, tapi manusia tak bosan mengulanginya.

Ketika kutanyakan tentang Aisyah, mereka mengaku tak tahu keberadaannya. Kirana tak memberitahu mereka. Alasannya, sosok yang juga masih mereka anggap sebagai guru itu sedang ingin menyepi, tidak mau diusik oleh siapa pun.

Mereka bertanya tentang pengalamanku selama di Negeri Utsmani. Seperti terhadap Wong Fei, kuceritakan yang penting-penting saja, terutama pengalamanku sebagai prajurit Janissari, tentang pertempuran-pertempuran yang sulit dan lawan-lawan yang tangguh.

Tanpa kuduga, Wong Chun, yang paling senior di antara mereka sekaligus wakil dari Perempuan Naga, memintaku menunjukkan bagaimana cara prajurit Janissari bertempur. "Kehebatan para prajurit Negeri Rum sudah masyhur di sini. Aku yakin engkau pasti lebih hebat dari para prajurit Mataram dan Pati. Kami ingin menyaksikannya esok pagi," pintanya.

"Mungkin... Tapi aku tidak yakin bila harus menunjukkan kemampuanku di hadapan kalian. Aku tahu bagaimana hebatnya murid-murid sang Naga. Lagi pula kami para prajurit hanya hebat bila bertempur dalam barisan karena begitulah kami dilatih. Dalam pertarungan tunggal, kalian para pendekar jelas lebih berpengalaman." Aku tidak sepenuhnya merendah, kurang lebih seperti itulah kenyataannya.

"Aku tidak percaya sebelum engkau menunjukkan kemampuanmu besok," Wong Chun tetap berkeras.

Semua yang hadir juga bersorak setuju. Aku tahu mereka sedang menggiringku masuk dalam perangkap. Golongan pendekar sering punya pandangan sinis pada para prajurit. Bagi mereka, para prajurit tak lebih dari badut penggembira bagi tuan mereka. Para prajurit hanyalah alat kekuasaan tanpa jiwa merdeka. Seringkali bahkan payah dalam berduel. Nama prajurit Janissari yang melegenda di antara kesultanan-kesultanan Nusantara rupanya bukan pengecualian. Tunggu saja, akan kuberi mereka sedikit pelajaran.

Legenda NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang