BAB XIV - TEKA-TEKI RENGGANIS

119 27 1
                                    

Keselamatan kami sepenuhnya tergantung pada Rengganis dan kelompoknya. Sementara kami bersembunyi di rumah aman, seluruh penjuru Kotaraja telah dikepung rapat dan diawasi oleh Tohpati beserta para anak buahnya. Apalagi mereka juga melibatkan pasukan Mataram, menyisir rumah-rumah penduduk untuk mencari kami, memastikan tak ada selobang jarum pun jalan meloloskan diri. Serangan pisau terbang di depan Markas Kalapati itu pun kemudian kuketahui telah dilakukan oleh kelompok Kalacakra, sebagai upaya terakhir menyelamatkan kami.

Posisi kami benar-benar terjepit. Gao Huan, Tejo, dan Bejo telah gugur, menyisakan duka dan murka bagi kami. Terpaksa kami menguburkan mereka di ruang bawah tanah rumah aman milik kelompok Kalacakra. Teringat olehku betapa keinginan Bejo untuk mencapai Kotaraja Mataram sudah terlaksana. Namun sayang, untuk itu dia harus merelakan nyawanya.

Wong Chun, Soma, dan Dipo bertetap hati hendak membuat perhitungan dengan Tohpati. Tapi aku harus menahan mereka. Berani menantang Tohpati dalam situasi seperti ini sama saja dengan bunuh diri. Aku tak ingin kehilangan para sahabatku lagi.

"Kami tak dapat berlama-lama menyembunyikan kalian di sini," ucap Rengganis mengagetkanku. Ini adalah kali kedua dia datang menemuiku, selang dua hari sejak peristiwa pembebasan Dipo dan Bejo. Kedatangannya yang pertama mengabarkan situasi darurat di Kotaraja seperti yang sudah kusebutkan. Kali ini, sengaja dia mengajakku bicara berdua saja, sebab yang lain sedang tersulut emosi.

"Apakah engkau akan menyerahkan kami?" tanyaku memastikan.

"Jangan berpikir seburuk itu!" sergahnya. "Tak pernah terpikir olehku untuk mengkhianatimu," jawabnya meyakinkan.

"Lalu apa yang akan kau lakukan? Keadaan kami jelas sangat bergantung pada kebaikanmu..."

"Saat ini Tohpati sedang getol mencari bukti keterlibatan Kalacakra pada serangan di depan markasnya lusa kemarin. Walau dia sudah tahu kenyataannya, tanpa menemukan bukti, boleh dianggap itu hanya dugaannya saja.

"Sejak kemarin aku berusaha keras mencari cara agar kalian dapat aman keluar dari Kotaraja. Rencana pelarian lewat selatan sudah aku batalkan. Perahu-perahu sudah aku suruh pulang. Aku tak ingin Tohpati tahu keberadaan kami di muara Kali Opak.

"Saat ini, satu-satunya jalan yang kira-kira dapat ditembus adalah dengan meloloskan diri ke barat. Aku katakan 'kira-kira' karena ini pun sebenarnya sulit. Namun bila dapat mencapai Kali Progo dan menyeberanginya, untuk sementara kalian aman. Selanjutnya kalian dapat menemukan perlindungan dalam desa-desa pemukiman bekas penduduk Surabaya dan Madura. Di sana mereka tersebar sepanjang Pantai Selatan, Perbukitan Menoreh, hingga Budur. Para Pendekar Naga tentu dapat menemukannya. Mereka punya banyak koneksi di sana," jelasnya.

Aku teringat cerita Wong Chun bahwa terdapat mantan murid-murid Perguruan Silat Naga di pemukiman-pemukiman bekas penduduk Surabaya yang masih loyal pada Kirana. Dipo juga masih perlu mencari kepastian nasib kerabatnya, sekaligus kerabat almarhum Ki Sujana dan Bejo. Menyambangi desa-desa bekas penduduk Surabaya dapat menjadi jalan keluar yang tepat.

"Kapan kami harus pergi ke sana?"

"Malam ini juga. Tepat tengah malam nanti. Sudah kupersiapkan segala yang mungkin untuk mengamankan pelarian kalian," jawab Rengganis. "Bulan Perbani malam nanti masih cukup terang untuk menuntun jalan kalian. Jangan sekali-kali menyalakan obor atau membuat perapian. Berhati-hatilah dan selalu waspada, para pemburu kalian bukan orang sembarangan," ingatnya.

"Baiklah... kami akan bersiap," jawabku menatap langsung padanya. Sejujurnya aku sangat khawatir pada keselamatanku dan para sahabatku. Dan entah mengapa, menatap mata Rengganis membuatku merasa lebih tenang.

Namun Rengganis biasa saja membalas tatapanku. Lalu dia berbalik, melangkah pergi begitu saja. Sedikit aku kecewa. Tapi kutahu, dia sudah berusaha keras melindungi kami.

Legenda NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang